Senin, 01 Agustus 2016

Rabu, 08 Oktober 2014

BUKU BARU


TELAH TERBIT

Judul Buku:                         Renungan Batin Muda-Mudi: Gejolak Kawula Muda
Penulis:                                Daniel Puspo Wardojo
Ukuran:                                12,5 cm x 19 cm
Isi:                                          122 halaman + bookpaper 52 gr
Harga:                                   Rp. 40.000/eksemplar 
Buku dapat diperoleh melalui saya (08122980464) atau hubungi www.literatur.perkantas.net
 Menuliskan pengalaman pribadi untuk dibaca dan diketahui orang lain, bukanlah hal yang mudah. Tapi itu dilakukan oleh Mas Daniel. Beberapa tulisan Mas Daniel menunjukkan perasaan wanita yang jatuh cinta, patah hati dan sebagainya. Tapi di tulisan yang lain, Mas Daniel juga menggambarkan dengan teliti perasaan pria saat jatuh cinta, patahnya jika cinta ditolak, dan seterusnya. Mungkin pelayanan Penulis di kalangan mahasiswa membuatnya punya banyak pesan untuk kaum muda. Jadi buku ini layak dibaca oleh ramaja dan pemuda, pria maupun wanita. Untuk Pembaca, selamat menikmati buku ini. Semoga Anda memperoleh mutiara terpendamnya dan memiliki perspektif baru mengenai pergaulan di antara pria dan wanita.
(Julianto dan Roswitha-Penulis buku, Dosen, Pendiri Lk3, Konselor)
"Relasi dan komunikasi adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.  Keduanya menjadi lebih bermakna ketika dipadu dengan hal-hal rohani. Penulis DPW mengemas kisah-kisah praktis yang renyah untuk dinikmati, namun penuh dengan sentuhan rohani. Hidangan artikel-artikelnya pas untuk berbagai usia"

Dedy S. Ginta, Pengajar, Konselor dan Praktisi di bidang Spiritual Formation-berdomisili di Los Angeles, USA

Saya kagum pada fokus dan konsistensi  Daniel. Ada penulis yang memilih spesialisasi tertentu, dan ia tampaknya memilih untuk secara khusus menyoroti persoalan di seputar perjodohan, pernikahan, dan kehidupan keluarga. Pilihan semacam ini menjanjikan kedalaman. Dalam sejumlah renungan, ia menempatkan diri sebagai sosok perempuan untuk menyelami persoalan tertentu. Menarik!

Arie Saptaji, Pemimpin Redaksi Renungan Harian dan penulis novel Dalam Rinai Hujan dan Warrior : Sepatu untuk sahabat (diterbitkan PT Gramedia)
 

 


Kamis, 06 Desember 2012

Trainer Gratis (Renungan Batin)


 Dulu ketika aku di jalanan mengendarai kendaraan, tidak jarang bertemu atau berpapasan dengan orang-orang yang tidak tertib berkendaraan. Misalnya ketika aku sudah antri panjang berderet karena jalanan padat atau memasuki suatu arena tertentu, tiba-tiba tanpa diduga ada kendaraan lain muncul dan memotong jalanku ingin mendahului entah karena tidak sabar atau memang. Dia mengambil posisi mepet terpaksa aku harus berhenti atau aku agak menepi untuk memberi jalan kepadanya. Kadang aku jadi emosi dan seperti memancing kemarahan. Tidak jarang aku tidak mau mengalah sehingga aku terus maju saja dengan resiko terserempet dan mungkin akan konflik.
Kadang-kadang ada kendaraan dari arah berlawanan mengambil jalur kendaraan yang dari arah sebaliknya karena menyalip kendaraan lain di depannya. Hal ini juga cukup membuat berdebar-debar. Aku jadi jengkel dan seringpula aku marah-marah dan sengaja aku tidak mau meminggirkan kendaraanku. Sebenarnya resikonya sangat berbahaya yaitu kecelakaan. Namun karena aku sedang marah, maka jadi tidak berpikir waras.
Menemui orang yang menjengkelkan tidak hanya di jalanan. Bisa saja ada orang yang memfitnah aku dengan mengatakan tindakanku begini begitu padahal aku tidak demikian. Atau orang itu mengabarkan info yang tidak benar tentang aku dan apa yang aku lakukan, padahal menurutku itu salah sama sekali. Biasanya responku adalah segera menemui orang itu siapapun dia dan mencoba mengklarifikasi apa yang dia katakan dan aku akan mencoba menjelaskan panjang lebar siapa aku menurut versiku.
Di rumah juga kadang berbenturan dengan anak-anak, pembantu atau bahkan istri. Mereka bersikap atau berperilaku yang dapat memancing kemarahanku. Maka aku jadi membentak dan memarahi  mereka.
Banyak hal sudah kejadian demi kejadian aku alami bersinggungan dengan orang lain yang aku rasa dan pikirkan mereka tidak beres. Aku merasa akulah yang benar. Aku menuntut orang harus hidup sesuai stadardku. Misalnya mereka harusnya tahu etika berkendaraan, tahu sopan santun, tidak sekedar ngomong tanpa data yang betul dan sebagainya.  
Dengan keadaan itu aku merasa tertekan sendiri, mudah marah, jadi merasa mudah lelah karena emosinya tegang, hubungan dengan orang lain jadi tidak nyaman, aku jadi mudah menuntut orang lain dan sebagainya. Semuanya jadi tidak enak, aku tidak bersukacita dan tidak menikmati hidup.
Setelah aku renung-renung. Persoalanku adalah tidak mencoba memahami bahwa kejadian-kejadian dan adanya orang-orang itu bukan kebetulan untuk dialami. Semua ada maksudnya. Tidak serta merta itu terjadi begitu saja. Kalau aku menangkap sinyal ini bukan sebagai sesuatu yang kebetulan, maka tinggal aku merenungkan ada maksud apa semuanya ini harus ada.
Aku menyadari ternyata sifatku masih egois, aku masih mudah marah, mudah tersinggung untuk perkara remeh sekalipun, aku tidak rendah hati, masih merasa harga diriku penting bahkan naluri perilaku “preman” ku yang ada sebelum bertobat masih bercokol meskipun aku sudah sekian lama bertumbuh dan melayani juga. Hah ! lalu aku ini manusia apa? Bagaimana mau melayani kalau diperlakukan sebagai pelayan saja aku gusar? Bagaimana mau memberi diri pada orang lain kalau difitnah aja sudah mau membenarkan diri? Bagaimana akan menjadi hamba yang melayani kalau bibirnya tidak tersungging senyum tapi justru mudah tersinggung? Malu aku…
Padahal…
“kerendahan hati adalah ketenangan hati yang sempurna yang tidak pernah merasa dilukai atau disakiti atau dikecewakan; yang tidak mengharapkan suatu apapun; tidak heran terhadap apapun yang terjadi atas dirinya; yang selalu tenang meski tidak seorangpun yang memuji; atau meski difitnah dan dihina sekalipun.” (Andrew Murray)
Rasa-rasanya aku masih jauh dari sifat itu. Tapi sepertinya Tuhan mau membentuk aku supaya aku menjadi rendah hati, dengan cara mengirimkan “trainer-trainer gratis” itu. Luar biasa, aku tidak perlu mengundang mereka, tidak perlu membayar mereka dan tidak perlu menjamu mereka tapi mereka dipakai untuk melatih aku secara gratis. Ternyata trainer tidak harus menyampaikan materi dalam ruangan, tidak harus penampilan sopan dan baik hati tapi juga ada yang memiliki sifat yang tidak baik dan langsung diajak praktek.  Trainer itu bisa siapapun. Seharusnya aku senang ya…
Jadi aku belajar merubah cara pandangku. Aku memandang mereka sebagai trainer gratis diutus dari surga untuk mengubah watakku yang masih tidak baik. Dan kalau aku rendah hati, oh alangkah nyamannya hidup ini karena aku dapat menikmati sukacita tanpa tergantung bagaimana sikap dan perilaku orang terhadapku. Selamat datang trainer gratis !!

Selasa, 18 September 2012

Bila tiba saatnya (Renungan Batin)


 Baru saja aku menerima SMS dari seseorang yang membuatku terhenyak, seakan tidak percaya. Aku mencoba mengkonfirmasi apakah memang benar berita yang baru saja aku baca tersebut. Dan ternyata memang benar. Aku masih bengong belum begitu sadar bahwa memang kejadiannya begitu. Aku telp seseorang lagi dan menanyakan hal sama. Jawabannya tidak berbeda, ya memang benar demikian.
Baru saja telah dipanggil Tuhan atau tepatnya Bapa di surga. Seorang sahabat, saudara seiman, saudara seperjuangan di dunia ini, seorang hamba Tuhan. Setelah sempat melewati sakit beberapa waktu dan sempat dirawat di rumah sakit.
Banyak pertanyaan muncul di benak, ada apa? Padahal dia masih muda dan sedang giat-giatnya melayani Tuhan? Masih banyak pekerjaan yang belum selesai dilakukannya. Tapi memang itu realitanya. Aku mencoba bergelut dengan segala pikiranku.
Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku sendiri. Ada kesedihan, ada pengharapan, ada kerelaan, ada kebingungan, ada ketakutan dan sebagainya namun jujur aku tidak tahu.
Namun memang harus terus aku sadari bahwa bila tiba saatnya bagi seseorang untuk dipanggil pulang, hal itu kadang bisa mengagetkan bagi orang-orang yang ditinggalkan. Ada ketidaksiapan untuk melepas pergi apalagi bila orang tersebut sangat berarti hidupnya bagi banyak orang. Ada perasaan hilang yang menyeruak tiba-tiba. Ada perasaan asing yang menggelayut di dada. Dan itu hanya dapat dirasakan secara pribadi bagi yang mengalami.
Itu juga menyatakan bahwa bila saatnya tiba maka tak seorangpun bisa menghindar dari panggilan kudusnya tersebut. Bagi orang tersebut perhatiannya sudah tidak lagi pada apa yang ada disekitarnya : keluarganya, hartanya, cita-citanya, pekerjaannya da lain-lain namun yang ada dihadapannya sekarang hanya Tuhan dan hanya Allah saja yang sedang berurusan dengannya. Tak seorangpun bisa mewakili dan tak seprangpun bisa menemani. Sekarang antara dia dan Allah saja.
Apa yang akan dikatakannya kepada Tuhan? Apa yang akan dipertanggungjawabkan pada pencipta alam semesta ini? Apa yang mengikuti perjalanan kekalnya ini? Dan apa juga komentar Tuhan terhadapnya? Apa sambutan Tuhan baginya?
Betapa fananya manusia. Semua memang perlu kembali pada pemilik hidupnya. Dunia ini memang sudah rusak dan menjalani proses kehancurannya. Dunia cemar ini bukanlah rumah tinggal abadi. Tak perlu dipegangi dan tak usah dipertahankan. Semua akan ditinggalkan. Hanya yang perlu terus sadarkan diri untuk menyambut panggilan itu. Siapkan diri sebaik-baiknya. Jangan terlena oleh dosa dan jangan sampai aku hidup seenakku sendiri.
Aku juga tidak berusaha menjadi orang yang menegarkan diri ketika kehilangan. Dan bila aku butuh menangis, aku akan menangis, bila aku akan bertanya pada Tuhan maka itu pula akan kulakukan. Aku membiarkan diriku berproses dalam perasaan secara alamiah dan tidak mencoba menutupinya atau menyangkalinya.
Bila saatnya tiba, biarlah kelak Sang Kekal itu akan mengatakan “sekarang beristirahatlah hai hambaKu yang setia, kamu sudah bekerja melakukan apa yang menyenangkanKu selama di dunia. Biarlah kamu masuk dan menikmati kemuliaanKu. Dan lihatlah jerih lelahmu menyertaimu”
Saudaraku, Saat ini kenangan-kenangan yang baik yang diingat orang. Selamat jalan saudaraku, hamba Tuhan. Saat ini kamu bisa bertemu muka dengan muka dengan Tuhan yang telah kau layani selama ini. Biarlah kami saudara-saudaramu di sini masih berjuang melakukan amanatNya untuk melayani masyarakat di sini seperti yang dulu telah kau perjuangkan juga.
Selamat jalan Sony T.  Putra. Perjalananmu di dunia ini telah usai dan perjuanganmu telah berakhir. Kini tinggal menikmati sukacitamu.
Memo, kamis 21 Juni 2012