BUKU BARU
BAGAIMANA MENGERTI KEHENDAK TUHAN ?
Mutiara Kata
Senin, 01 Agustus 2016
Rabu, 08 Oktober 2014
BUKU BARU
TELAH TERBIT
Judul Buku:
Renungan Batin Muda-Mudi: Gejolak Kawula Muda
Penulis:
Daniel Puspo Wardojo
Ukuran:
12,5 cm x 19 cm
Isi:
122 halaman + bookpaper 52 gr
Harga:
Rp. 40.000/eksemplar
(Julianto dan Roswitha-Penulis
buku, Dosen, Pendiri Lk3, Konselor)
"Relasi dan
komunikasi adalah dua hal yang tak bisa
dipisahkan. Keduanya menjadi lebih bermakna ketika dipadu dengan
hal-hal rohani. Penulis DPW mengemas kisah-kisah praktis yang renyah untuk
dinikmati, namun penuh dengan sentuhan rohani. Hidangan artikel-artikelnya pas
untuk berbagai usia"
Dedy S. Ginta, Pengajar, Konselor dan
Praktisi di bidang Spiritual Formation-berdomisili di Los Angeles, USA
Saya kagum pada fokus dan konsistensi Daniel. Ada penulis yang memilih spesialisasi
tertentu, dan ia tampaknya memilih untuk secara khusus menyoroti persoalan di
seputar perjodohan, pernikahan, dan kehidupan keluarga. Pilihan semacam ini
menjanjikan kedalaman. Dalam sejumlah renungan, ia menempatkan diri sebagai sosok
perempuan untuk menyelami persoalan tertentu. Menarik!
Arie Saptaji, Pemimpin Redaksi Renungan Harian dan penulis novel Dalam Rinai Hujan dan Warrior : Sepatu untuk sahabat (diterbitkan PT Gramedia)
Kamis, 06 Desember 2012
Trainer Gratis (Renungan Batin)
Dulu ketika aku di jalanan
mengendarai kendaraan, tidak jarang bertemu atau berpapasan dengan orang-orang
yang tidak tertib berkendaraan. Misalnya ketika aku sudah antri panjang
berderet karena jalanan padat atau memasuki suatu arena tertentu, tiba-tiba
tanpa diduga ada kendaraan lain muncul dan memotong jalanku ingin mendahului
entah karena tidak sabar atau memang. Dia mengambil posisi mepet terpaksa aku
harus berhenti atau aku agak menepi untuk memberi jalan kepadanya. Kadang aku jadi
emosi dan seperti memancing kemarahan. Tidak jarang aku tidak mau mengalah
sehingga aku terus maju saja dengan resiko terserempet dan mungkin akan
konflik.
Kadang-kadang ada kendaraan dari
arah berlawanan mengambil jalur kendaraan yang dari arah sebaliknya karena
menyalip kendaraan lain di depannya. Hal ini juga cukup membuat berdebar-debar.
Aku jadi jengkel dan seringpula aku marah-marah dan sengaja aku tidak mau
meminggirkan kendaraanku. Sebenarnya resikonya sangat berbahaya yaitu
kecelakaan. Namun karena aku sedang marah, maka jadi tidak berpikir waras.
Menemui orang yang menjengkelkan
tidak hanya di jalanan. Bisa saja ada orang yang memfitnah aku dengan
mengatakan tindakanku begini begitu padahal aku tidak demikian. Atau orang itu
mengabarkan info yang tidak benar tentang aku dan apa yang aku lakukan, padahal
menurutku itu salah sama sekali. Biasanya responku adalah segera menemui orang
itu siapapun dia dan mencoba mengklarifikasi apa yang dia katakan dan aku akan
mencoba menjelaskan panjang lebar siapa aku menurut versiku.
Di rumah juga kadang berbenturan
dengan anak-anak, pembantu atau bahkan istri. Mereka bersikap atau berperilaku
yang dapat memancing kemarahanku. Maka aku jadi membentak dan memarahi mereka.
Banyak hal sudah kejadian demi
kejadian aku alami bersinggungan dengan orang lain yang aku rasa dan pikirkan
mereka tidak beres. Aku merasa akulah yang benar. Aku menuntut orang harus
hidup sesuai stadardku. Misalnya mereka harusnya tahu etika berkendaraan, tahu
sopan santun, tidak sekedar ngomong tanpa data yang betul dan sebagainya.
Dengan keadaan itu aku merasa
tertekan sendiri, mudah marah, jadi merasa mudah lelah karena emosinya tegang,
hubungan dengan orang lain jadi tidak nyaman, aku jadi mudah menuntut orang
lain dan sebagainya. Semuanya jadi tidak enak, aku tidak bersukacita dan tidak
menikmati hidup.
Setelah aku renung-renung. Persoalanku
adalah tidak mencoba memahami bahwa kejadian-kejadian dan adanya orang-orang
itu bukan kebetulan untuk dialami. Semua ada maksudnya. Tidak serta merta itu
terjadi begitu saja. Kalau aku menangkap sinyal ini bukan sebagai sesuatu yang
kebetulan, maka tinggal aku merenungkan ada maksud apa semuanya ini harus ada.
Aku menyadari ternyata sifatku
masih egois, aku masih mudah marah, mudah tersinggung untuk perkara remeh
sekalipun, aku tidak rendah hati, masih merasa harga diriku penting bahkan
naluri perilaku “preman” ku yang ada sebelum bertobat masih bercokol meskipun
aku sudah sekian lama bertumbuh dan melayani juga. Hah ! lalu aku ini manusia
apa? Bagaimana mau melayani kalau diperlakukan sebagai pelayan saja aku gusar? Bagaimana
mau memberi diri pada orang lain kalau difitnah aja sudah mau membenarkan diri?
Bagaimana akan menjadi hamba yang melayani kalau bibirnya tidak tersungging
senyum tapi justru mudah tersinggung? Malu aku…
Padahal…
“kerendahan hati adalah
ketenangan hati yang sempurna yang tidak pernah merasa dilukai atau disakiti
atau dikecewakan; yang tidak mengharapkan suatu apapun; tidak heran terhadap
apapun yang terjadi atas dirinya; yang selalu tenang meski tidak seorangpun yang
memuji; atau meski difitnah dan dihina sekalipun.” (Andrew Murray)
Rasa-rasanya aku masih jauh dari
sifat itu. Tapi sepertinya Tuhan mau membentuk aku supaya aku menjadi rendah
hati, dengan cara mengirimkan “trainer-trainer gratis” itu. Luar biasa, aku
tidak perlu mengundang mereka, tidak perlu membayar mereka dan tidak perlu
menjamu mereka tapi mereka dipakai untuk melatih aku secara gratis. Ternyata trainer
tidak harus menyampaikan materi dalam ruangan, tidak harus penampilan sopan dan
baik hati tapi juga ada yang memiliki sifat yang tidak baik dan langsung diajak
praktek. Trainer itu bisa siapapun. Seharusnya
aku senang ya…
Jadi aku belajar merubah cara
pandangku. Aku memandang mereka sebagai trainer gratis diutus dari surga untuk
mengubah watakku yang masih tidak baik. Dan kalau aku rendah hati, oh alangkah
nyamannya hidup ini karena aku dapat menikmati sukacita tanpa tergantung
bagaimana sikap dan perilaku orang terhadapku. Selamat datang trainer gratis !!
Selasa, 18 September 2012
Bila tiba saatnya (Renungan Batin)
Baru saja aku menerima SMS dari
seseorang yang membuatku terhenyak, seakan tidak percaya. Aku mencoba
mengkonfirmasi apakah memang benar berita yang baru saja aku baca tersebut. Dan
ternyata memang benar. Aku masih bengong belum begitu sadar bahwa memang
kejadiannya begitu. Aku telp seseorang lagi dan menanyakan hal sama. Jawabannya
tidak berbeda, ya memang benar demikian.
Baru saja telah dipanggil Tuhan
atau tepatnya Bapa di surga. Seorang sahabat, saudara seiman, saudara
seperjuangan di dunia ini, seorang hamba Tuhan. Setelah sempat melewati sakit
beberapa waktu dan sempat dirawat di rumah sakit.
Banyak pertanyaan muncul di
benak, ada apa? Padahal dia masih muda dan sedang giat-giatnya melayani Tuhan?
Masih banyak pekerjaan yang belum selesai dilakukannya. Tapi memang itu
realitanya. Aku mencoba bergelut dengan segala pikiranku.
Aku tidak tahu bagaimana
menggambarkan perasaanku sendiri. Ada kesedihan, ada pengharapan, ada kerelaan,
ada kebingungan, ada ketakutan dan sebagainya namun jujur aku tidak tahu.
Namun memang harus terus aku
sadari bahwa bila tiba saatnya bagi seseorang untuk dipanggil pulang, hal itu
kadang bisa mengagetkan bagi orang-orang yang ditinggalkan. Ada ketidaksiapan
untuk melepas pergi apalagi bila orang tersebut sangat berarti hidupnya bagi
banyak orang. Ada perasaan hilang yang menyeruak tiba-tiba. Ada perasaan asing
yang menggelayut di dada. Dan itu hanya dapat dirasakan secara pribadi bagi
yang mengalami.
Itu juga menyatakan bahwa bila
saatnya tiba maka tak seorangpun bisa menghindar dari panggilan kudusnya
tersebut. Bagi orang tersebut perhatiannya sudah tidak lagi pada apa yang ada
disekitarnya : keluarganya, hartanya, cita-citanya, pekerjaannya da lain-lain
namun yang ada dihadapannya sekarang hanya Tuhan dan hanya Allah saja yang
sedang berurusan dengannya. Tak seorangpun bisa mewakili dan tak seprangpun
bisa menemani. Sekarang antara dia dan Allah saja.
Apa yang akan dikatakannya kepada
Tuhan? Apa yang akan dipertanggungjawabkan pada pencipta alam semesta ini? Apa
yang mengikuti perjalanan kekalnya ini? Dan apa juga komentar Tuhan
terhadapnya? Apa sambutan Tuhan baginya?
Betapa fananya manusia. Semua
memang perlu kembali pada pemilik hidupnya. Dunia ini memang sudah rusak dan
menjalani proses kehancurannya. Dunia cemar ini bukanlah rumah tinggal abadi.
Tak perlu dipegangi dan tak usah dipertahankan. Semua akan ditinggalkan. Hanya
yang perlu terus sadarkan diri untuk menyambut panggilan itu. Siapkan diri
sebaik-baiknya. Jangan terlena oleh dosa dan jangan sampai aku hidup seenakku
sendiri.
Aku juga tidak berusaha menjadi
orang yang menegarkan diri ketika kehilangan. Dan bila aku butuh menangis, aku
akan menangis, bila aku akan bertanya pada Tuhan maka itu pula akan kulakukan.
Aku membiarkan diriku berproses dalam perasaan secara alamiah dan tidak mencoba
menutupinya atau menyangkalinya.
Bila saatnya tiba, biarlah kelak
Sang Kekal itu akan mengatakan “sekarang beristirahatlah hai hambaKu yang
setia, kamu sudah bekerja melakukan apa yang menyenangkanKu selama di dunia.
Biarlah kamu masuk dan menikmati kemuliaanKu. Dan lihatlah jerih lelahmu
menyertaimu”
Saudaraku, Saat ini
kenangan-kenangan yang baik yang diingat orang. Selamat jalan saudaraku, hamba
Tuhan. Saat ini kamu bisa bertemu muka dengan muka dengan Tuhan yang telah kau
layani selama ini. Biarlah kami saudara-saudaramu di sini masih berjuang
melakukan amanatNya untuk melayani masyarakat di sini seperti yang dulu telah
kau perjuangkan juga.
Selamat jalan Sony T. Putra. Perjalananmu di dunia ini telah usai
dan perjuanganmu telah berakhir. Kini tinggal menikmati sukacitamu.
Memo, kamis 21 Juni 2012
Langganan:
Postingan (Atom)