Kamis, 29 Desember 2011

Anak yang takut pada ayah, tp berani dengan ibu (Renungan Batin-Orangtua & Anak - 8)


Mendidik anak supaya tunduk dan menghormati kepada orangtua bukan sesuatu yang mudah, karena tabiat dasar semua orang adalah selalu melawan dan tidak mau diatur.

Hal ini dilakukan bukan karena orangtua sok berkuasa dan suka mengatur. Namun ini penting supaya anak-anak menghargai dan tunduk pada otoritas. Bila anak sudah bisa belajar tunduk pada otoritas orangtua, maka ini akan menjadi modal dasar dalam bersikap terhadap orang lain. Sikapnya yang menghargai orangtua akan menolongnya dalam menghargai pihak-pihak di sekolah, masyarakat, polisi, hukum dan orang-orang lain dimanapun mereka akan berhubungan.

Ketidaktundukan ini dimulai dari perkara sederhana pada saat anak-anak masih kecil. Misalnya anak minta dibelikan jajanan dan mulanya orangtuanya menolak dengan memberi penjelasan, namun si anak terus merengek bahkan menangis keras sampai berguling-guling di lantai. Akhirnya orangtuanya menyerah lalu menuruti keinginan si anak. Bila ini terus dibiasakan maka anak akan terus memakai cara ini untuk melawan kewibawaan orangtuanya dan kasus yang dihadapi akan makin berat.

Masalahnya adalah seringkali anak lebih takut melawan ayahnya namun berani terhadap ibunya. Mengapa demikian?

Bisa jadi ayah kebanyakan bersikap tegas dan ibu lebih banyak belas kasihannya. Bila ibu menegur anak-anak dan mengancam bila anak tidak menurut, seringkali hukuman itu tidak dilakukan. Artinya si ibu mudah kompromi. Misalnya : ibu menyuruh anak-anaknya merapikan mainan sambil mengancam bila tidak mainan itu akan diberikan ke teman anaknya. Setelah beberapa saat anaknya tidak melakukan, lalu si ibu ngomel-ngomel sambil membereskan sendiri mainan anaknya tapi kemudian ancaman itu tidak pernah dilakukan.

Oleh karena itu, belajar untuk bersikap tegas dan konsekuen dengan apa yang dikatakan pada anak-anak. Maka perlu dipikirkan matang-matang disiplin apa yang tepat dan bisa dilakukan sesuai dengan kesalahan si anak. Bila ibu mengatakan akan menghukum apa maka sebaiknya dilakukan.

Selain itu kadang bila anak bertanya atau minta ijin pada si ibu untuk melakukan sesuatu, lalu si ibu menjawab : “coba tanya pada ayahmu”. Demikian juga kadang si ayah juga bersikap demikian. Artinya orangtua tidak ada kesepakatan dan tidak tegas, sehingga yang terjadi anak akan mencari kelemahan ini dan memanfaatkannya. Siapa orang tua yang bisa menuruti keinginannya, itulah yang akan dimintai pendapatnya. Bisa jadi orangtua akan diadu domba oleh si anak.

Yang sebaiknya orangtua lakukan adalah bersepakat dulu dalam menetapkan aturan bagi si anak. Bila ada kasus yang belum disepakati, maka sebaiknya orangtua akan mengatakan pada anaknya : “sebentar, nanti ibu/ayah bicarakan dulu dengan ayah/ibumu”. Maka anak akan melihat bahwa orangtuanya sepakat dan memiliki otoritas yang sama. Antara ibu dan ayah sama dalam membuat aturan dan otoritasnyapun sama.

Selain itu, ayah bisa mengatakan pada anak-anaknya untuk menghormati ibu mereka. Dengan demikian mereka sama artinya mereka menghormati ayahnya. Bila melawan ibu itu juga sama artinya melawan ayahnya.

Ayahpun perlu sering menceritakan kepada anak-anaknya bagaimana pengorbanan ibu mereka pada saat mengandung mereka dan bagaimana si ibu mengasuh dengan kasih sayang yang tak terhitung banyaknya. Hal ini dilakukan supaya anak-anak melihat bahwa ibunya sudah banyak berbuat baik pada mereka.

Ayah juga perlu terus memuji dan membanggakan si ibu di depan anak-anaknya sehingga anak-anakpun diharapakan memiliki sikap yang sama kepada ibu mereka.

Ayah dapat mengatakan bahwa dia sangat mengasihi ibu dan sangat membutuhkan keberadaan ibu dalam mengasuh dan merawat anak-anak. Bila tanpa ibu, maka pasti akan ada yang kurang dalam diri anak-anak.

Rabu, 28 Desember 2011

Mendidik anak laki-laki (Renungan Batin – Orangtua & Anak - 7)


Mendapatkan anak berjenis kelamin tertentu bagaimanapun tetap harus disyukuri meskipun kadang ada keluarga yang mempunyai anak berturut-turut jenis kelaminnya sama. Itu semua tentu ada dalam kedaulatan Tuhan. Walaupun ada orang yang menyatakan supaya bisa memperoleh anak dengan kelamin tertentu ada caranya atau tekniknya. Namun tetap harus diyakini, otoritas Yang Mahakuasa tetap berlaku.

Hal yang disadari bahwa anak-anak dengan jenis kelamin berbeda, itu menandakan mereka memiliki kekhasan yang tidak sama dan tentu saja perlakukan kepada mereka juga berbeda. Anak laki-laki beda dengan anak perempuan. Namun keberbedaan itu bukanlah mana yang lebih baik, juga mana salah dan benar, juga bukan lebih enak mana tapi sekali lagi itu berkaitan dengan keunikan dan perlakuan yang berbeda dalam hal tertentu. Tapi ada juga didikan yang sama bagi semua anak berjenis kelamin apapun.

Rasanya mendidik anak laki-laki biasanya (tetapi tidak selalu) lebih sulit daripada anak perempuan. Kadang melihat tingkah laku mereka yang terus bergerak dan menantang bahaya, membuat hati ini sering berdebar-debar. Bahkan suara teriakan orangtua yang memanggil atau memperingatkan mereka seperti tertelan dengan kegaduhan polah mereka.

Mereka kadang melompat-lompat dimanapun, juga di tempat tidur maupun di sofa. Meski sudah diperingatkan, besuk sudah dilakukan lagi. Kadang mereka akan memanjat apapun bahkan tubuh orangtuanya juga menjadi salah satu pilihan mereka. Eksperimen lain, mereka bisa mengambil palu untuk memukul mainan yang baru saja dibeli atau dibongkar mainan itu tapi tidak mampu merakitnya lagi.

Bisa saja alat-alat kecantikan ibunya menjadi alat untuk mengespresikan imajinasinya. Lipstic dipakainya untuk mewarnai seperti crayon dan kuas pipinya dijadikan kuas untuk menggambar. Bedak menjadi bubuk warnanya. Setelah itu, si ibu tinggal marah-marah melihat tingkah laku anak laki-lakinya karena sudah merusak barang kesayangannya yang harganya cukup mahal.

Lain waktu, mereka berlari-lari sambil teriak-teriak kejar-kejaran. Petak umpet dan bermain seperti koboi-koboian. Laksana serombongan gajah yang lewat sedang memasuki dan memporak-porandakan seisi rumah. Demikian juga dengan perabotan rumah tangga, sudah berapa banyak yang rusak dan hancur karena dijadikannya permainan laksana sedang memainkan alat musik, dipukul sana sini.

Sepertinya anak laki-laki memang didesain untuk sesuatu yang bersifat tantangan, lebih tegas, berani, bergairah, berpetualang. Mereka harus membuat keputusan, termasuk ketika mereka menghadapi masalah dalam hidup mereka. Mereka sepertinya memang harus bergerak.

Disini orangtua harus belajar menerima segala keberadaan anak laki-lakinya termasuk dengan segala geraknya yang seperti tidak ada lelahnya. Menyesuaikan diri dengan segala riuh ramainya suasana rumah, berantakan barang yang berceceran di mana-mana. Menyiapkan hati ketika si anak laki-lakinya bereksperimen laksana super hero dengan kegagahannya melompat, berlari, memanjat, bahkan berusaha terbang seperti Superman yang akhirnya timbul lecet atau luka di tubuh anaknya.

Bahkan siap dengan kejutan demi kejutan yang diperbuat anak laki-lakinya, seperti sekarang ini di saat saya menulis artikel ini, dua anak laki-laki saya dengan antusiasnya membuat sirup putih yang diaduk yang terbuat dari lelehan Tippex. Entah apa yang mereka pikirkan. Tidak tahu apa yang terjadi bila mereka kemudian meminumnya.

Syukuri bila kita mendidik anak laki-laki dengan baik, maka kelak mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin yang baik. Minimal akan menjadi kepala rumah tangga yang bertanggungjawab untuk keluarganya.

Bila memberikan petunjuk kepada anak laki-laki bukan dengan cara samar-samar karena itu tidak bisa dipahami dan akan diabaikan namun ungkapkan permintaan yang diungkapkan secara ringkas dan jelas.

Senin, 26 Desember 2011

Damai Natal, damainya aku dengan ayahku


Aku tidak pernah merasakan bagaimana memiliki seorang ayah yang mendampingi, memilihara dan mendidik hidupku secara terus menerus. Karena sejak aku masih di dalam kandungan ibuku, ayahku sudah meninggalkan kami dengan alasan untuk bekerja di Jakarta. Namun semenjak kepergiannya, dia jarang mengunjungi kami dan membiayai hidup kami.

Oleh karena itu, ibuku mau tidak mau harus membanting tulang demi mencukupi kebutuhan kami. Dia bekerja tiap hari dari pagi hingga sore untuk berjualan makanan yang dijajakannya dengan menaiki sepeda meskipun sampai jarak yang sangat jauh.

Jadi hampir jarang sekali aku melihat ayahku. Mungkin sepanjang usiaku hanya beberapa kali kami bertemu, demikian juga dengan pemberian uang kepadaku tidak terlalu banyak. Hadiah dari ayahku yang aku ingat sampai sekarang adalah sebuah radio yang tatkala itu selalu menemaniku menjelang tdur malam dengan musik-musik kegemaranku. Kamipun jarang berkomunikasi. Jadi aku merasa asing dengannya. Mungkin juga ayahku terhadapku.

Setelah aku remaja baru aku mengetahui kalau ayahku ternyata menikah lagi ketika usiaku masih kanak-kanak dan memiliki anak-anak lagi. Hal tersebut memang pernah diberitahukan kepadaku oleh ibu, namun kemudian ayahku juga mengatakannya sendiri kepadaku. Memang jujur, itu sungguh tidak nyaman untuk didengarkan. Tapi aku belajar menerima hal tersebut sebagai kenyataan yang sudah terjadi, termasuk aku harus menyadari kalau ayahku jarang menemuiku dan jarang memberi apa yang aku butuhkan.

Sebenarnya perlakuan ayahku terhadap ibuku dan aku sudah menyakitkan hatiku. Namun ada satu peristiwa yang sangat membuat aku terpukul dan sangat marah kepada ayahku hingga menimbulkan rasa pahit dihatiku.

Saat itu aku lulus SMA dan berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, namun ibu sudah menyatakan ketidaksanggupannya untuk membiaya apabila aku kuliah. Maka aku berusaha berharap siapa tahu ayahku akan mau menerima dan membiayai aku kuliah di Jakarta. Tanpa sepengetahuan ayah, aku pergi dengan ibu ke Jakarta. Seperti sudah yakin ayah akan menerimaku maka aku juga berpamitan dengan teman-teman dan para tetangga untuk tinggal bersama ayahku.

Namun saat bertemu ayah, kami dibuat kelu tidak bisa berkata-kata banyak dan hanya menerima kondisi yang tidak nyaman. Dia berkata kalau di Jakarta tidak enak dan segala macam alasannya, yang intinya dia tidak mau menerimaku dan menyarankan aku supaya kembali pulang saja.

Sungguh tak terbayang betapa malu ketika menjumpai lagi teman-teman dan para tetangga yang bertanya kenapa aku tidak jadi tinggal di Jakarta. Aku kecewa, marah dan merasa tertolak dengan tindakan ayahku sendiri. Timbul perasaan makin benci dengannya. Hal tersebut makin membuat aku tidak ingin bertemunya lagi.

Waktu terus berjalan, hingga saat menjelang Natal. Seperti biasa aku sangat menikmati suasana Natal. Mendengar lagu-lagu Natal dan perayaan-perayaan yang diadakan. Namun kala itu, aku merasakan suatu Natal yang berbeda.
Dari uraian kotbah yang disampaikan, aku menyadari bahwa Natal adalah kelahiran Sang Juruselamat ke dalam dunia ini. Dia datang untuk membawa damai, dimana manusia yang memusuhi Tuhan dengan perkataan, pikiran dan tindakannya yang jahat. Dia mendamaikan manusia dengan Tuhan. Bila sudah demikian maka dia akan dimampukan berdamai dengan dirinya sendiri dan orang lain.

Saat itu aku datang bersujud mengakui segala dosa dihadapan Tuhan dan mengakui kebencian yang telah lama tertimbun dalam hatiku terhadap ayah. Atas pertolonganNya, aku dipulihkan dan dikuatkan kemudian untuk berdamai dengan ayahku. Aku belajar mengampuninya. Meski kadang jatuh bangun perasaanku untuk bisa mengampuni dengan tulus. Namun aku makin merasakan kasih sayang itu tumbuh dihatiku terhadap ayah. Aku juga bersyukur bagaimanapun beliau adalah alat untuk menghadirkan aku di dunia ini terlepas apapun perbuatannya padaku.

Hingga saatnya ayahku meninggal, aku hadir dipemakaman beliau. Dan saat itu juga aku dengan ibu tiri dan adik-adik tiriku bisa bertemu dan kami jadi saling mengenal. Terkuaklah semuanya. Namun karena anugrahNya dalam Natal itu membuat aku bisa berdamai denganNya dan sekaligus berdamai dengan ayahku. Damai Natal, damainya aku dengan ayahku

Di Natal-Mu, saya bersimpuh


Setelah sekian lama melewati suasana Natal dari tahun ke tahun, saya bisa merasakan pengalaman yang berbeda pada saat Natal di tahun itu. Dulunya saya hanya menikmati keceriaan Natal sebatas lagu-lagu Natal yang diperdengarkan atau dari perayaan-perayaan Natal yang diadakan yang biasanya sangat menggembirakan : ada drama Natal, puji-pujian, foto-foto dengan Santa Claus demikian juga ada makanan dan kado yang dibagikan, dua terakhir itu yang paling saya tunggu-tunggu.

Namun pada saat Natal istimewa itu, saya menemukan sesuatu yang esensi yang lebih dari sekedar kegembiraan tradisi Natal. Itu sesuatu yang berarti bagi hidup saya dan peristiwa bersejarah yang tak mungkin saya lupakan. Hal tersebut juga membuat hidup saya berubah yang mempengaruhi seluruh aspek hidup saya.

Pada saat itu, saya baru menyadari apa makna Natal yang sesungguhnya. Natal bukan hanya merayakan kelahiran seorang bayi. Natal juga tidak identik dengan pohon terang (pohon Natal) yang biasanya dihiasi dengan penuh warna dan cahaya, tidak juga sama dengan Santa Claus yang berpakaian khas dengan kadonya. Natal juga bukan semata-mata tradisi.

Tapi Natal adalah kelahiran seorang Juruselamat. Karena sedemikian kasihNya yang begitu besar, Dia datang untuk menyelamatkan umat manusia dari belenggu dosa dan yang terancam hukuman kekal. Jadi ini adalah persoalan antara manusia dengan Tuhan yang terpisah karena dosa-dosa manusia itu sendiri. Dimana kelahiran Sang Juruselamat itu untuk mendamaikan relasi antara Tuhan dan manusia tersebut.

Dengan kesadaran itu, saya merasakan betapa diri ini sangat buruk dan betapa compang-campingnya hidup saya. Saya sudah begitu melukai hati ibu saya dengan kelakuan dosa saya. Saya teringat pertanyaan ibu kepada saya ketika saya pulang mabuk di saat dini hari ketika beliau justru sedang terlelap dalam tidurnya setelah seharian dia bekerja untuk mencukupi kebutuhan kami semenjak ayah meninggalkan kami karena menikah dengan wanita lain. Ibu bertanya “ kowe mendem ya?- bahasa jawa (kamu mabuk ya?). Biasanya saya tidak menjawab, namun saya segera masuk ke rumah setelah ibu membukakan pintu. Saya tidak berubah meskipun ibu pernah menangis di bawah kaki saya sambil membawa pisau supaya saya membunuhnya saja. Hal itu dia lakukan karena sudah tidak tahan lagi menanggung penderitaan melihat tingkah laku anaknya yang durhaka ini.

Pada malam itu, saya dalam keberdosaan saya datang kepada Sang Juruselamat. Saya membawa ketidaklayakan, kenajisan dan segala kebejatan hidup saya dihadapanNya. Saya mengakui segala dosa saya dengan perasaan menyesal, apalagi mengingat dosa-dosa saya pada ibu. Tuhan, di hari yang istimewa ini saya datang kepadaMu. Saya bersyukur Engkau mau menerima saya, orang berdosa ini. Di Natal-mu ini, saya bersimpuh. Pulihkan saya.

Dan memang benar, setelah itu hidup saya berubah. Dia memulihkan hidup saya. Setelah saya bersimpuh dihadapan Tuhan maka kemudian saya bersimpuh di depan ibu untuk meminta maaf.

Jumat, 16 Desember 2011

Wah Cantiknya…! (Renungan Batin – Orangtua & Anak - 6)


Aku ingat tatkala itu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) kira-kira kelas empat. Ada teman sekolahku namanya sebut saja Ratih. Dia berasal dari luar pulau Jawa. Wajahnya manis, kulitnya putih dan yang aku suka, rambutnya hitam terurai panjang melebihi bahunya.

Pada saat itu aku sudah memiliki perasaan tertarik padanya dan tentu saja teman-teman laki-laki yang lain juga merasa demikian. Aku sering mencuri-curi pandang melihatnya. Namun aku tidak berani mendekat dan mengajaknya berbicara. Aku minder, malu dan tidak tahu harus ngomong apa bila dihadapannya. Jadi aku hanya menikmati “keindahan” wajahnya dan segala apa yang nampak padanya hanya dari kejauhan.

Sekarang aku sudah tidak berjumpa lagi dengan temanku itu. Entah dimana dia sekarang. Namun pengalaman berkesan dan hanya sekelumit itu tidak bisa hilang dari ingatanku. Aku juga tidak tahu pasti bagaimana mulanya perasaanku mulai timbul. Namun yang aku rasakan, aku merasa suka dan tertarik karena kecantikannya. Tidak terpikir olehku tentang pacaran dan sebagainya. Apakah ini normal dialami oleh anak seusiaku dulu yang baru duduk di sekolah dasar?

Hal ini menyangkut yang dialami anak lelakiku. Rasanya dia juga merasakan seperti yang kurasakan dulu. Padahal dia masih duduk di bangku awal-awal sekolah dasar.
Pada suatu hari sepulang sekolah, wajahnya begitu ceria dan matanya berbinar-binar lalu tiba-tiba dia merebahkan diri sambil tersenyum-senyum. Matanya menatap ke langit-langit dan kemudian terucap suara keras dan mantap “Yes !” sambil jemarinya mengepal kencang. Panggilan ibunya tidak begitu diperhatikan sebelumnya.
Ibunya bertanya “kamu kenapa? “

Dia menjawab sambil tersenyum “aku melihatnya tadi disekolah, wah cantiknya…!”
Ibunya melongo terbengong. Ada apa dengan anaknya yang usianya masih belum genap sepuluh tahun ini. Apakah dia sudah merasakan jatuh cinta?

Ternyata sikapnya makin terlihat kalau dia memang menyukai anak perempuan teman sekolahnya. Aku mulai ingin tahu seperti apa anak itu. Ternyata dia memang memiliki wajah yang cantik, pintar menyanyi dan lagi….hmh rambutnya panjang lurus terurai lebih sebahu. Kok mirip dengan gadis yang ayahnya sukai dulu ya?..

Ternyata ketertarikan anakku pada teman gadis sekolahnya makin terlihat namun semuanya dalam kewajaran dan tidak terlalu berlebihan.

Aku tidak tahu apa ini karena “perasaan” yang diturunkan ataukah karena lingkungan atau karena begitu banyak media massa yang mempengaruhi sehingga anak-anak terkhusus anak lelaki jadi begitu cepat matang secara seksual atau ketertarikan dengan lawan jenis.

Namun aku harus tahu apa yang akan aku lakukan dalam menyikapi kondisi anakku seperti itu. Kami (orangtuanya) belajar menyikapi tidak terlalu reaktif atau dengan serta merta melarang atau mengatakan itu tidak baik.

Justru kami ingin menemani anak kami memasuki perjalanan hidup yang bagi kami sendiri sesuatu yang baru. Kami ingin menciptakan suasana yang aman dan nyaman dimana anak kami bisa bebas bercerita atau curhat tentang perasaannya dan tidak merasa itu sebagai sesuatu yang tabu atau terlarang.

Sebagai sesama laki-laki, tentu aku juga ingin membagi perasaan dan pikiran apa yang harus dilakukan seorang laki-laki bila sedang dalam kondisi seperti itu. Dengan duduk atau berbaring bersama atau dalam suasana santai, kami bisa saling berbagi. Aku juga ingin berbagi bagaimana pengalamanku dulu.

Kami ingin anak kami bisa menjadikan kami tempat untuk bertanya, berbagi, belajar, diskusi tentang apapun yang dialami tanpa rasa takut sehingga dia tidak akan mencari ke orang-orang atau media-media yang menyesatkan.

Saat ini anak kami bisa berbagi perasaannya tentang rasa suka kepada teman gadisnya itu dan kami mengajarnya tentang nilai-nilai pernikahan dan sikap-sikap apa yang seharusnya dilakukan.

Kamis, 15 Desember 2011

Derita Anak Sulung (Renungan Batin – Orangtua & Anak - 5)


Ada banyak kisah yang bisa diceritakan tentang keberadaan anak sulung. Seperti dua sisi mata uang. Ada sisi menyenangkan namun juga ada dukanya. Kadang keadaan yang tidak mengenakkan bisa terjadi sejak masih kanak-kanak hingga dewasa.

Tentu tidak semuanya (anak sulung) merasakan hal yang sama. Ini bagian contoh dari beberapa kondisi yang dialami oleh anak yang dilahirkan pertama dalam salah satu keluarga. Seringkali persoalan ini hanya menjadi bagian yang harus ditanggung oleh anak sulung meski kadang tidak tahu kenapa harus begitu. Bahkan sering pula tanpa pembicaraan lebih lanjut. Ulasan ini mencoba melihat apa yang dirasakan dan dialami dari “kacamata” si anak sulung.

Ketika aku dilahirkan sebagai anak sulung, wah aku berpikir aku ini akan menjadi anak kesayangan. Aku satu-satunya anak dari orangtuaku. Rasanya semua perhatian tercurah padaku. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Ketika aku baru menginjak usia satu tahun, ternyata ibuku hamil lagi. Tentu saja itu bukan karena direncanakan.

Menyadari kehamilan itu, ayah ibuku harus membuat keputusan dengan berat hati. Di saat aku masih membutuhkan kemanjaan dengan mereka dan asupan ASI dari ibu yang aku butuhkan. Maka dengan “terpaksa” terputuslah semua itu. Aku merasa kehilangan kedekatan dengan ibu. Digantinya “rasa aman” ku dengan sebuah dot karet. Sepertinya aku harus “dikalahkan” demi adikku. Betapa beratnya saat itu perasaanku, aku menangis di kamarku mencari ibu seperti biasa meminum ASI sebelum tidur tapi di kamar yang lain ibuku juga menangis karena tidak tega melihatku yang sedang “disapih”(putus ASI).

Ketika aku mulai kanak-kanak, adikku juga sudah mulai bertumbuh. Kadangkala kami bermain bersama. Sebagai anak-anak, tidak jarang kami berebut mainan dan merasa memiliki hak untuk memakai mainan sesuka kami. Kalau sudah begitu terjadilah pertengkaran karena tidak ada yang mau mengalah. Namun yang membuat aku sedih, orangtuaku memintaku supaya menyerahkan mainan itu kepada adikku. Alasan mereka karena aku sudah besar dan harusnya bisa mengalah kepada adik yang masih kecil.
Tentu saja aku tidak bisa protes. Bukankah aku juga punya hak untuk bermain? Bukankah adikku juga harus belajar menghargai hak milik orang lain? Apakah sebagai anak sulung harus selalu mengalah?

Ketika aku bertambah usia. Orangtuaku ternyata juga menambah jumlah anak. Entah direncanakan atau tidak. Tapi yang terjadi, aku sekarang memiliki empat adik. Padahal sebenarnya kemampuan ekonomi keluarga kami hanya pas-pasan. Kedua orangtuaku harus bekerja demi mencukupi kebutuhan kami sekeluarga. Itupun kadang masih harus ngutang sana sini.

Sebagai anak sulung, mau tidak mau, aku harus menerima tanggungjawab menjaga adik-adikku selagi orangtuaku bekerja. Kadang aku tidak bisa bebas pergi bermain dengan teman-temanku karena adik-adikku selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Bila ada sesuatu yang buruk menimpa salah satu adikku, maka aku yang akan terkena amarah orangtuaku. Dikatakan aku tidak becus mengurusi adik-adik.

Dengan susah payah orangtuaku berusaha untuk membiayai aku sampai aku bisa kuliah. Dan memang benar aku bisa diterima di PTN dan kuliah. Namun yang sering membuatku risih, orangtuaku selalu berpesan supaya kelak bila aku sudah bekerja maka aku dimintanya untuk membiayai adik-adikku. kata mereka “supaya bisa membalas budi orangtua”.

Akhirnya satu demi satu aku membiayai sekolah adik-adikku. Memang ini sesuatu yang wajar apabila kakak membantu adik termasuk anak membatu orangtua. Ini sesuatu yang baik pula. Pasti ini juga bisa menjadi teladan bagi orang lain.

Namun yang membuat aku merasa tidak nyaman. Apakah sebagai anak sulung harus menerima semua beban orangtua? Bukankah hidup dan sekolah adik-adikku tetap harus menjadi tanggungjawab orangtuaku? Kalau itu dibebankan kepadaku, maka aku akan terbebani dengan dua tanggungjawab : yang pertama, untuk adik-adikku. yang kedua, untuk anak-anakku sendiri kelak. Bukankah itu sesuatu yang berat. Bukankah aku juga tidak merencanakan atau meminta untuk dilahirkan sebagai anak sulung?

Sebenarnya akan sangat baik bila orangtua tidak memerintahkan atau membebankan tanggungjawabnya ke anak sulung. Kalau toh si anak sulung akhirnya membantu, biarlah itu bukan karena balas budi dan kewajiban. Kewajiban dan tanggungjawab anak adalah kepada anak-anaknya kelak. Dan tentu saja, anak yang baik, pastilah akan memahami kondisi keluarganya.

*) tokoh “aku” hanyalah rekaan saja

Selasa, 13 Desember 2011

Anak Monster (renungan batin – Orangtua & Anak - 4)


Memiliki anak memang menyenangkan. Bagi keluarga muda yang merindukan segera menimang anak, tentu sesuatu yang sangat menggembirakan bila anak itu lahir. Apalagi bagi pasangan yang telah lama menikah namun belum dikarunia anak, itu pasti juga sangat dinanti-nantikan. Apalagi itu anak pertama.

Biasanya hanya berdua dan suasana rumah terasa sepi, kini terdengar suara bayi yang memecah keheningan dan menciptakan keramaian yang menyenangkan. Tangis bayi itu, ocehannya, ketawanya dan sebagainya sepertinya menjadi sesuatu yang menyenangkan. Meskipun harus sering mengganti popok yang basah terkena pipis atau kotoran, malam-malam terbangun karena si bayi justru tidak tidur, namun semua itu tidak menjadi beban bagi orangtua untuk melakukannya karena perasaan yang gembira karena kehadiran bayi itu tak tergantikan.

Selalu ada moment untuk diabadikan dalam foto-foto dan itu menjadi catatan perjalanan si anak. Bila orang tua bertemu temannya, temanya selalu tentang anak yang dibicarakan dan tak berat hati si orangtua akan menunjukkan foto terbaru anaknya kepada teman-temannya. Selalu ada cerita tentang anak dan tidak pernah kehabisan kata-kata untuk menguraikannya.

Selalu ada kerinduan bila orangtua pergi. Yang dirasakan menyesak di dada adalah dorongan untuk memeluk, bercanda, membelai dan sebagainya kepada si anak. Maka seringkali orangtua akan menyimpan foto anaknya di dompet atau di HP bahkan mem-video-kan anaknya supaya bisa dilihat dimanapun di saat rasa “kangen” itu muncul. Bila salah satu pasangan pergi, entahlah apakah kerinduan ini sama yang dirasakan terhadap pasangannya? Atau kerinduan terhadap anak berbeda dengan kerinduan terhadap pasangan?

Namun saya menyadari bahwa didalam kondisi yang sangat menyenangkan dan hal itu sangat wajar dialami semua orangtua dalam hubungannya dengan anaknya. Ada fakta yang tidak bisa saya abaikan, anak saya tetaplah sebagai orang berdosa. Dia dilahirkan dalam dosa. Di dalam dia ada potensi untuk berbuat dosa. Ada waktunya nanti tanda-tanda pembrontakannya akan nampak. Dia akan mewarisi sikap tidak mau di atur dari nenek moyangnya.

Saya harus melihatnya secara seimbang. Saya tahu anak saya memberikan kegembiraan, penghiburan, dan bisa memberikan kebaikan-kebaikan yang lainnya namun di sisi lain anak saya tersebut dapat membuat saya sedih, kecewa, menangis bahkan marah dan kalau perlu ada tindakan disiplin kepadanya karena tabiat dosanya.

Akan ada waktunya, biasanya mulai usia dua tahunan anak akan makin menampakkan ciri perlawanannya. Mereka akan menentang kewibawaan orangtua. Pada masa itu terjadi “pergulatan” antara si anak dan orantuanya, untuk memenangkan siapa yang berkuasa dirumah.

Persoalannya seringkali perlawanan-perlawanan kecil ini dianggap remeh dan lucu oleh para orangtua, sehingga tidak jarang mereka malah mentertawakan perilaku tersebut. Mereka menganggap itu polah anak-anak.

Anak-anak tidak cukup mendapat pemenuhan sandang pangan dan kasih sayang. Namun juga membutuhkan disiplin. Hal ini diperlukan karena menghadapi dorongan dosa dalam diri anak, yang anak itu sendiri bergumul dalam mengatasinya. Dilakukan bukan karena benci tapi karena kasih, bersama-sama menolong anak mengatasi pergumulannya melawan dosa. Kadang akan menangis bersama karena menyadari betapa ngerinya dosanya, kadang tertawa bersama setelah melewati disiplin bersama.

Ada anak yang usia tiga tahun yang disuruh ibunya tidur siang, tapi ia tidak mau dan ia berteriak-teriak yang mengganggu tetangga. Lalu ia minta minum lalu minta yang lain, yang sebenarnya ingin menyatakan penolakan pada perintah ibunya. Pertama-tama ibunya menolak, tapi akhirnya ibu ini menyerah karena anaknya menjerit dengan keras. Ceritanya tidak sampai disini. Ada keadaan yang tragis dialami si ibu ini, suatu malam ketika dia tidur, anaknya bangun dan membuang pipisnya ketelinga si ibu.

Mungkin hal ini tidak pernah terbayang oleh si ibu bahwa anaknya yang dulu menyenangkan sekarang meyusahkan hatinya. Dulunya lucu dan baik sekarang menjadi anak monster.

Sebenarnya si anak membutuhkan pertolongan dalam mengatasi tabiat dosanya. Tugas orangtua menolong supaya dia menghargai orangtuanya dan taat. Ini dilakukan terus menerus dan membutuhkan kesabaran dan doa. Bila orangtua salah mengasuhnya, maka bisa jadi akan muncul monster dalam keluarga.

Rabu, 07 Desember 2011

Penebar pesona (Renungan Batin – 13)


Aku melangkah dengan tegap dan pasti. Kususuri jalan-jalan berliku tanpa lelah dan lesu. Aku lelaki muda yang penuh dengan gairah. Terbang bagai kumbang ke sana kemari menebar aroma untuk menikmati sari bunga.

Pada suatu waktu aku menikmati kebersamaan dengan Dinda. Kami sama-sama menyukai hobby bermain catur bahkan juga olah raga yang sedikit memacu adrenalin misalnya panjat tebing. Dia memang cewek unik, rambutnya dipotong pendek, minus anting di telinganya. Tapi tetap ciri kewanitaannya masih terlihat jelas. Biasanya setelah bermain bersama, kami suka makan bakso dan bercanda. Aku tidak segan-segan mengalungkan pelukanku di lehernya. Dia biasa aja, paling bila kucubit pipinya dia akan meninju perutku sambil matanya melotot.

Di kampus ada Wida, yang kemana-mana sering kuboncengkan. Aku banyak mendapat pertolongan darinya tentang mata kuliah yang aku tidak paham. Dia gadis yang pandai, alim, dan sederhana sekali. Dulu kalau berangkat dan pulang kuliah dia sering naik bis kota. Namun sejak aku dekat dengan dia, aku yang menjemput dan mengantarnya pulang. Orangtuanya juga sudah dekat dengan aku. Bahkan ak sering makan di rumahnya. Teman-teman kampus sering mengatakan kalau kami ini pacaran. Aku dan Wida hanya senyam-senyum saja mendengarnya.

Aku juga aktif dalam kegiatan rohani. Aku sering mengikuti persekutuan di gereja. Di sana pula aku bisa mengenal gadis-gadis yang kini juga dekat dengan aku. Kami sering sharing bersama, membentuk vocal group dan sering mengisi ketika kebaktian di gereja dan kegiatan-kegiatan lainnya. Ada Kurnia, Risa, Damar, dan sebagainya. Kepada mereka ini aku sering banyak dimintai tolong. Aku sering mentraktir mereka, mengantar kesana kemari, atau bahkan untuk hal-hal di luar urusan kegiatan gereja. Mereka sering berkata kalau aku ini cowok yang baik hati dan mudah untuk menolong.

Kepada teman-teman gadis ku itu, semuanya kuanggap istimewa. Aku dekat dengan semua namun aku tidak atau setidak-tidaknya untuk saat ini aku belum mau pacaran dengan siapapun termasuk dengan mereka. Mungkin yang aku lakukan ini karena rasa persahabatan atau persaudaraan, meskipun harus kuakui kadang ada perasaan tertarik pada beberapa orang dari antara mereka.

Memang banyak orang sering menegurku supaya aku tegas dan tidak mempermainkan perasaan wanita. Aku yang merasa tidak sedang sengaja bersikap demikian tentu saja aku tidak terima dengan pernyataan itu. Bagiku bila belum ada pernyataan resmi kalau “aku cinta kamu” dari aku ke seorang wanita maka itu artinya aku mengagapnya masih sebatas teman.

Namun sekarang aku menyadari, bisa saja sikap dan tingkah lakuku ini salah, karena aku tidak tahu dengan tepat bagaimana perasaan gadis-gadis itu. Selain itu mereka juga tidak sama tingkat kedewasaannya. Bisa saja, ada di antara mereka yang menganggap aku ini suka padanya atau bahkan menganggap aku pacarnya. Wah kalau begitu gawat sekali..

Ternyata benar, ada teman gadisku itu yang sudah menyebar isu sengaja atau tidak, kalau kami ini pacaran. Dia mengatakan buktinya kalau aku sering main kerumahnya, mengirim SMS yang bernada perhatian, memberikan kado istimewa di hari ulang tahunnya dan sebagainya. Dan itu memang benar, namun aku melakukan semua itu karena dia sahabatku. Aku memperlakukannya sama dengan teman-teman gadisku yang lain. Nampaknya dia jadi GR (gede rasa).

Mengetahui hal ini, memang ada perasaan bangga pada diriku. Bagaimana tidak, disukai banyak gadis dimana-mana. Sepertinya mereka menunggu pinanganku.
Namun aku jadi merasa bersalah, bingung, sungkan apalagi bila ternyata para orangtua mereka juga sudah menyimpulkan hal keliru terhadap sikapku selama ini pada anak-anak gadis mereka.

Sebagai manusia wajar bila aku bergaul dan memiliki banyak teman dengan siapapun. Sebagai laki-laki lumrah juga bila aku dekat dengan lawan jenis seperti aku dekat dan bersahabat dengan laki-laki lain.

Tapi yang aku harus ingat, bahwa sebagai laki-laki aku bisa saja terjebak dengan naluri untuk menolong, memberi perhatian, membela, melindungi dan sebagainya terhadap para wanita. Meskipun itu juga normal, namun tidak semua gadis dapat berpikir dan merasakan itu sebagai hal yang wajar. Ada batas-batas antara perhatian ke sahabat dan dengan seorang kekasih atau yang sedang disukainya.

*) semua nama di atas hanya fiktif

Senin, 05 Desember 2011

Sampai Disini (Renungan Batin – 12)


Bila aku mengenangnya. Aku sering menangis sendiri. Apalagi saat aku melamun, maka tiba-tiba ingatanku melayang ke sana. Aku sudah mencoba untuk tetap tegar tapi toh kadang aku tidak bisa menghindar dari perasaan sedihku. Memang kesibukan study dan dengan bergaul dengan teman-teman sedikit mengalihkan perhatianku padanya.

Hubungan kami sudah cukup lama, sekitar 2 tahun. Selama itu kami menikmati banyak hal, suka dan duka bersama. Tawa canda dan tangis air mata mewarnai perjalanan percintaan kami. Pergi bersama dan berdiskusi tentang berbagai isu dengannya sungguh menyenangkan dan sulit untuk dilupakan. Memang kadang kami bertengkar, saling cemburu,lalu diam-diam an hingga akhirnya rujuk kembali.

Kami saling mengenal dan bersahabat lalu berpacaran ketika kami bersama-sama ikut dalam komunitas yang membangun pertumbuhan iman kami. Kami sering melakukan kegiatan bersama, berdoa, belajar firman Tuhan dan melayani bersama. Rasanya senang bisa mendapatkan pasangan yang seiman. Dan aku berpikir bahwa hubungan kami akan langgeng sampai ke jenjang pernikahan, namun nyatanya tidak demikian. Kami putus.

Memang sangat disayangkan keadaan ini, namun mungkin lebih baik terjadi sekarang ini ketika kami masih berpacaran dan belum masuk pernikahan. Persoalannya karena ketidakdewasaan kami. Pacarku tidak mau terikat. Dia maunya bisa bebas bergaul dengan siapapun dan lebih mementingkan waktu bersama teman-temannya daripada dengan aku. Padahal aku ingin dia lebih banyak waktu bersamaku. Memang dia sering mengatakan kalau aku ini banyak menuntut. Nggak boleh ini nggak boleh itu. sering dia jengkel dan aku juga kesal. Karena sering bertengkar untuk masalah ini, akhirnya kami menyudahi hubungan kami.

Harus aku akui ternyata aku termasuk orang yang “possesive”. Apabila aku berhubungan dekat dengan seseorang maka aku cenderung ingin menguasainya. Dalam pikiranku, dia adalah milikku. Maka segala sesuatu harus terkait dengan diriku. Bila ada orang atau apapun yang lebih dekat dengannya maka aku akan cemburu dan berusaha untuk menarik perhatiannya lagi ke aku. Bahkan dengan orangtuanya, aku juga sering iri hati bila pacarku itu terlalu dekat dan bermanja-manja dengan mereka. Apalagi bila dia sering curhat dengan orangtuanya tapi dia tidak cerita kepadaku, pasti aku akan marah sekali. Padahal sebenarnya dia memang masih menjadi tanggungjawab orangtuanya, sudah tentu dia baik kalau ada apa-apa cerita kepada orangtuanya.

Bahkan aku sering memaksanya untuk memperlihatkan kepadaku setiap SMS yang masuk ke HP nya, karena pikirku siapa tahu ada orang lain yang suka ke mantan pacarku itu. Kadang dia santai saja menanggapinya, namun kalau dia sedang tidak enak hati maka dia sering marah-marah karena desakanku itu.

Aku memang terlalu banyak mengatur mantan pacarku dulu. Seharusnya aku menyadari bahwa diri kami ini belum terikat secara formal dalam pernikahan. Kalau sekarang saja sudah banyak mengatur, apalagi besuk kalau menikah. Pasti pasanganku tidak akan tahan bila sikapku demikian.

Aku juga harus mewaspadai kelemahanku ini karena bila aku tidak berubah maka pasti aku akan bermasalah bila berhubungan dengan siapapun juga.

Sekarang harus bagaimana setelah putus?

Aku tahu ternyata meskipun kami dulu saling mendoakan sebelum kami memutuskan untuk berpacaran, kami bisa putus. Itu artinya bisa jadi kami dulu salah menangkap kehendak Tuhan bagi kami. Bisa jadi perasaan kami yang lebih banyak mendominasinya dalam membuat keputusan. Atau dalam perjalanan pacaran, kami menemukan karakter kami yang tidak baik, oleh karena itu kami harus mengevaluasi diri.

Yang penting aku harus membenahi sifat burukku ini. Dan aku tetap bersikap terbuka dengan siapapun kelak Tuhan akan memberi teman hidup bagi aku. Bila dengan mantan pacarku bisa rujuk, biarlah kami sudah dipersiapkan dalam karakter yang dewasa. Namun aku tidak boleh terlalu berharap supaya tidak kecewa bila tidak terjadi. Namun bila dengan orang lain, aku juga akan membangun hubungan dengan baik untuk saling menghargai dan tahu batas-batas dalam berpacaran.

Aku tidak boleh terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Hidupku harus berjalan. Bukankah masalah teman hidup bukan segala-galanya dalam hidupku. Aku harus terus bertumbuh dan melayani Tuhan.

Senin, 28 November 2011

Petualang Cinta (Renungan Batin – 11)



Bagai kumbang yang terbang hinggap dari satu bunga ke bunga yang lainnya. Si kumbang bisa bebas terbang ke sana kemari, sesuka hati memilih bunga mana yang dikenan di hati. Sedangkan bunga-bunga diam menunggu, tak tahu menahu apa yang telah dilakukan si kumbang. Pikirnya dialah milik satu-satunya si kumbang. Namun, tidaklah demikian sifat kumbang. Baginya kepuasan pribadi itulah yang dicari, tak peduli bagaimana perasaan hati si bunga-bunga.

Demikianlah yang terjadi pada diriku. Aku si kumbang itu. Aku suka sekali berpetualang dalam cinta. Ada keenakan tersendiri. Ada semacam kepuasan ketika aku disukai dan dicintai oleh banyak gadis. Apalagi bila ada gadis yang aku suka dan aku berusaha mendapatkannya untuk menjadi pacarku dan aku dapatkan itu, wah puas sekali.

Entah sudah berapa banyak gadis yang sudah kupacari sejak aku SMP hingga aku kuliah saat ini. Lamanya berpacaran juga bervariasi satu dengan yang lainnya. Tapi semuanya tidak lebih dari dua tahun dan sudah putus. Ada banyak alasan yang menyebabkannya, tapi biasanya aku sendiri yang sering bikin gara-gara supaya akhirnya hubungan kami putus. Memang kebanyakan para mantan gadisku itu “pergi” dengan membawa rasa kecewa atau marah padaku. Tapi yah..bagaimana lagi memang harus aku tanggung.

Biasanya bila aku jadian dengan satu gadis, namun sebenarnya aku juga sudah menjalin ikatan dengan gadis-gadis lain. Meski kadang hanya sekedar TTM (Teman Tapi Mesra) saja. Tentu saja mereka tidak saling tahu. Aku harus pandai-pandai menjaga rahasia ini. Mungkin aku beruntung, selama ini ketika aku pergi dengan pacarku yang satu tanpa diketahui atau bertemu dengan pacarku yang lain. Entah apa yang terjadi seandainya tahu, wah bisa berabe. Mungkin hanya teman-teman dekatku saja yang tahu bagaimana kelakuanku ini. Mereka sering menegur dan memarahi aku, tapi aku hanya tertawa saja. Pikirku, jangan-jangan mereka hanya iri saja karena nasibnya tidak seberuntung aku.

Sekarang ini aku sedang pacaran dengan adik tingkat satu fakultas dengan aku. Aku kenal dia ketika OPSPEK. Dia sebagai mahasiswi baru dan aku salah satu panitianya. Kebetulan hari itu dia telat bangun sehingga terlambat juga tiba di kampus. Tentu ini makanan empuk untuk menjatuhkan hukuman. Kebetulan aku yang menemuinya dan ia menghadap dengan wajah pucat karena takut. Aku sudah tahu kalau dia cantik dan agak manja, jadi aku sengaja menggoda dan mengulur-ulur waktu supaya bisa lebih lama bersamanya.

Akhirnya tidak sampai waktu yang lama setelah peristiwa itu, dia mau jadi pacarku dan sudah berjalan satu tahun lebih. Tapi aneh dengan gadis ini, aku merasa tidak bisa bebas. Dia sepertinya selalu curiga, cemburu dan menuntut banyak waktuku. Aku sendiri juga takut kalau terjadi sesuatu padanya.

Aku tidak bisa lupa peristiwa itu, ketika aku bertengkar hebat dengan pacarku ini karena dia sempat membaca SMS dari pacarku yang lain yang isinya penuh kata-kata mesra. Dia cemburu dan marah, lalu dia menghubungi pacarku yang di seberang sana. Dan akhirnya, terbongkarlah semua yang kujaga rapat-rapat selama ini. Aku berusaha minta maaf dan menjelaskan tidak akan mengulang lagi. Aku putus dengan pacarku yang di seberang sana. Namun tidak hanya itu saja pukulan telak bagiku, ternyata pacarku ini mengadu ke bapaknya dan esoknya aku di sidang di depan keluarganya dan mereka mengancamku supaya jangan menyakiti pacarku ini.

Wah apes sudah hidupku, apakah ini akibat dari kesalahan-kesalahanku yang dulu? Aku baru menyadari ketika membayangkan mantan pacarku dulu tentu sedih sekali karena perlakuanku terhadap mereka. Bagaimana kalau hal itu menimpa adikku perempuan atau saudariku yang lain? Atau kelak bila aku punya anak perempuan dan mengalami keadaan seperti mereka? Tentu aku juga tidak terima bila mereka diperlakukan seperti itu.

Aku harus menghentikan petualangan cintaku. Dan sebenarnya cinta tidak boleh dijadikan petualangan atau main-main. Aku laki-laki tidak boleh lagi mempermainkan hati dan perasaan wanita. Mereka perlu dihargai, siapa tahu mereka tulus mencintaiku.

Saat ini kucobai menjalani komitmen dengan pacarku satu-satunya itu, entah sampai kapan. Namun aku akan berusaha untuk tidak akan mendua hati lagi.

Kamis, 24 November 2011

Kairano Krisnanda



Kai anakku

Setiap hari, setiap saat tak lagi papi pikirkan apa yang kurang dalam dirimu

Tapi papi nikmati pencapaian demi pencapaian yang nampak

Dalam perkembangan dirimu

Seringkali papi terharu melihat sikapmu

Sering menyambut papi di depan pintu ketika pulang, mengantar juga ketika papi pergi

Memeluk mesra bukan sekali dua kali

Sering mengajak papi main gitar dan menyanyi “happy ya ya….”

Dan kamu diam memandang dengan serius

Kamu istimewa… anakku

Ada keunikan dalam dirimu yang tak dimiliki semua anak

Meski juga ada tak kaupunyai yang anak lain miliki

Bahkan dalam segala ketakutanmu, Kai tetaplah istimewa

Semua anak unik maka tidak bisa dibandingkan

Tidak ada anak yang tidak sempurna

Semua anak sempurna karena diciptakan dalam segala ketelitian

Yang ada adalah different able (kemampuan yang berbeda)

Papi tak lagi melihat sosok Kai

Yang papi lihat Pribadi pencipta kai

Dengan apa yang ada dalam segala keterbatasan

Dirimu mencerminkan Pribadi yang tak terbatas itu

Penciptamu sangatlah sempurna

Demikian juga dirimu… sempurna dalam menyatakan kemuliaanNya

KeindahanNya tak terhalangi dengan apa yang ada

Justru membuktikan kekayaan kreativitasNya

Kai

Papi, mami, kakak-kakak menyayangimu

Yang kami nanti selalu dan rindukan

Keindahan karya Tuhan apa lagi yang akan dinyatakan dalam dan melaluimu

Yang membuat kami bersyukur dan memujiNya

Tengah malam, 11 september 2011

kegelisahan jiwa

Perahu itu telah melesat terbang melintasi awan
membuka sayapnya memanggil-manggil
diiringi kunang-kunang malam
menebarkan cahaya sejuta sinar
mengusir segelintir kupu-kupu

sekelebat bayangmu meraba mataku
mengurai senyum sekelumit
mencoba meraihku dalam kejauhan
aku terpana..
dua jiwa dalam satu raga, ah gelisahku
tak tahu mengapa
entah kemana
aku melesat merana
tak mampu berbuat apa-apa

ah kegelisahan jiwa

(purwokerto, April tengah malam)

Dengan kasih sayang dan ketekunan

Saya mengingat masa kecil saya yang selalu memberi inspirasi sekaligus dorongan kepada saya terutama ketika menghadapi keadaan yang sulit.

menurut cerita dari ibu. Saya dilahirkan secara normal dan bertumbuh seperti anak-anak lain seusia saya pada waktu itu. namun pada waktu usia 16 bulan tiba-tiba badan saya panas dan itu ternyata gejala dari penyakit polio. lalu kemudian kaki saya lumpuh . betul-betul kemudian saya tidak dapat berjalan.

ibu kemudian membawa saya untuk diterapi di YPAC solo dan ada jadwal saya dilatih secara rutin. terapis fisoterapi yang menangani saya saat itu adalah Om Siahaan (demikian saya memanggil beliau). beliau sangat baik sekali dan telaten melatih saya.

untuk menuju ke tempat terapi tersebut ibu saya menggendong saya dengan berjalan kaki (kira-kira jarak rumah-tempat terapi sekitar 10 Km) dan itu dilakukan pulang pergi. Di tengah jalan karena kecapaian ibu beristirahat dan sering diberi minum dan makanan oleh orang-orang yang merasa iba melihat kami.

suatu hari kami diantar oleh adik ibu (om), ketika perjalanan pulang kaki saya yang lumpuh itu masuk ke jeruji sepeda belakang dan sampai terluka berdarah. namun ibu dan om tidak menyadari, lalu ada orang melihat dan memberitahukan kondisi tersebut. Kata ibu saya tidak menangis pada waktu itu.

suatu hari ibu tidak membawa saya untuk terapi lagi dan itu membuat om Siahaan bertanya-tanya. lalu beliau pergi ke rumah kami untuk mencari tahu kenapa saya tidak di terapi lagi. Ketika berjumpa dengan om Siahaan, ibu hanya menangis. lalu om Siahaan mengatakan “oh ya aku tahu, besuk tetap datang aja ke terapi tapi anakmu akan diterapi paling akhir”. artinya om Siahaan memahami kalau ibu tidak punya uang untuk membawa saya terapi lagi. kami memang dari keluarga miskin, apalagi ayah sudah tidak bersama kami ketika saya berada dalam kandungan. sering untuk pergi terapi, banyak bantuan keuangan yang didapat dari saudara. lama-lama ibu sungkan.

entah bagaimana perasaan ibu saat itu, tapi kemudian esoknya saya dibawa terapi lagi dan menunggu antrian paling akhir. sejak itu om Siahaan tidak pernah menerima bayaran dari ibu saya, bahkan kadang kami diantar pulang oleh om Siahaan dengan naik vespa. Betapa baiknya om Siahaan itu.

itu berlangsung selama beberapa tahun, dan akhirnya saya bisa berjalan tanpa bantuan alat penolong meski tidak sempurna.

dari pengalaman ini, membuat saya menyadari bahwa ini bisa terjadi karena kasih sayang Tuhan, ibu dan om Siahaan dan orang-orang yang banyak menolong kami. selain itu berkat ketekunan ibu yang mengupayakan saya di terapi meski harus belelah-lelah menggendong saya. berkeringat, kepanasan, menanggung malu dan sungkan karena menerima belas kasihan orang.

di sisi lain ada andil om Siahaan yang mau menyediakan waktu dan tenaganya untuk melatih saya bahkan tanpa dibayar sepeserpun. Saat ini saya merindukan untuk bertemu beliau, meski hanya ingin mengucapkan terima kasih saja. Saya tidak tahu dimana beliau berada. Saya bertemu beliau di rumahnya di Jakarta ketika saya masih kecil tapi saya tidak tahu itu di daerah mana.

pelajaran yang saya dapatkan : tidak putus asa ketika menghadapi kesulitan, terus mengupayakan apapun untuk bisa mengatasi persoalan itu dan siap menanggung apapun dari proses perjuangan itu. dengan kasih sayang, ketekunan dan kesabaran, berharap semua dapat diatasi.

selain itu, kerelaan untuk berbagi dan berkorban bagi orang lain yang membutuhkan pertolongan akan sangat besar artinya. Semoga saya selalu punya kesempatan untuk berbagi hidup saya pada orang lain karena saya sudah pernah ditolong juga.

saya tidak bisa membayangkan, kalau seandainya tanpa itu semua maka saya tidak tahu bagaimana keadaan saya atau bahkan mungkin saya tidak bisa berjalan sampai saat ini.

Pada tanggal 22 Desember tepat pada hari ibu, saya ingin menyatakan rasa hormat saya pada ibu dan terima kasih. Kalau seandainya dulu ibu tidak tekun dan dengan kasih sayang menggendong saya untuk mendapat terapi, entahlah apa yang terjadi dengan diri saya. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih dan selamat hari ibu.

Menulis Seumpama Menyimpan Uang di Bank

Suatu hari saya mengantar anak saya ke bank untuk menabung, uang hasil dari pemberian orang lain dan hadiah yang didapatkan dari menang lomba mewarnai. Saya pikir ini akan mengajar anak saya sejak dini rajin untuk menabung dan siapa tahu kelak uang di tabungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan di masa yang akan datang.

Namun saya jadi terpikir bukankah menulis juga seperti menabung di bank. Ketika kita menulis biasanya itu merupakan hasil dari ungkapan pikiran dan perasaan kita tentang apapun yang kita jumpai sehari-hari baik yang kita alami sendiri atau orang lain. Ketika kita berkesan dengan suatu pengalaman itu maka muncullah ide. Setelah itu mungkin kita akan mencoba menuangkan ide tersebut dalam cara menulis.

Pada saat kita mulai menulis maka kita sedang menyusun kata demi kata, kalimat demi kalimat sehingga terbentuklah sebuah cerita bisa fiksi atau realita. Tulisan-tulisan ini lalu disimpan di arsip atau dituliskan dalam sebuah blog maka secara tidak langsung kita sedang menyimpan data, sejarah, pengalaman, kejadian dan sebagainya.

Apabila kita membutuhkan data tersebut maka kita bisa mengambilnya kembali, ini sekaligus menjadi alat pengingat kita yang mau tidak mau dengan bertambahnya usia akan makin banyak hal yang terlupakan. Maka dengan menulis, kita sebenarnya seumpama menyimpan uang di Bank. Semua tersimpan dengan aman dan rapi, kapanpun kita membutuhkan, siap untuk diambil.

selamat terus menulis

Pwk, 7 juni 2011

Pembantuku, sayangku..

Tak disadari betapa berartinya keberadaannya selama ini. Sudah lama tidak terasa tersambung ikatan batin yang sangat dalam. Ikatan yang hanya dirasakan di dada yang melampaui akal. Hubungan khusus antara majikan dan pembantu. Hal itu nyata terasa dalam kebersamaan : makan bersama, curhat, mengerjakan pekerjaan rumah bersama bahkan kadang tidur bersama.

Namun ketika dia pergi, pulang ke rumahnya dan tidak menjadi pembantu lagi. Rumah ini menjadi sepi. Terasa ada yang hilang dan terkoyak dari hati. Maka tidak tahan dan menangislah dalam sepi hati sang majikan yang merana kesepian itu.

Kisah nyata tersebut dialami oleh seorang teman saya (perempuan) baru-baru ini. Dia malam-malam SMS ke HP saya dan menceritakan kalau dia merasa kesepian setelah pembantunya keluar kerja. Pembantu itu (sebut saja, mbak Inah) sudah lebih dari 20 tahun bekerja di rumahnya. Dia sangat setia mengabdi dan menjadi orang yang mengurusi segala pekerjaan di rumah. Meskipun kadang gajinya dihutang dulu oleh orangtua teman saya tadi dan baru diberikan kalau lagi butuh. Setiap hari sering di rumah sendiri kalau pagi sampai sore karena tuan rumahnya bekerja seharian bahkan sampai malam.

Kembali ke teman saya tadi. Karena mbak Inah sudah lama tinggal di situ maka terjalinlah rasa kedekatan secara manusiawi antara teman saya tersebut dengan mbak Inah. Kedekatan itu tentu dapat dimaklumi karena ke dua orangtua teman saya tersebut memiliki usaha dan pulangnya sampai malam hari. Otomatis suasana di rumah sangat sepi dan hanya dia dan mbak Inah yang ada. Bila teman saya tersebut pulang kerja yang dijumpai cuma mbak Inah. Baru setelah orangtuanya pulang, dia bisa bertemu dan makan bersama. Namun kadang orangtuanya setelah sesampai di rumah, sibuk urusan sendiri-sendiri dengan nonton TV. Yang satu lihat TV di kamar, yang lain lihat TV di ruang keluarga. Tidak jarang juga orangtuanya bertengkar.

Hal-hal ini membuat teman saya tersebut tidak nyaman. Rumah seharusnya menjadi tempat nyaman untuk berkomunikasi antar anggota keluarga setelah seharian sibuk dengan pekerjaan namun justru semuanya itu tidak dia alami. Media hiburan televisi justru menjadi salah satu perusak hilangnya komunikasi keluarga itu.

Sebagai manusia tentu membutuhkan interaksi dengan orang lain. Tak memandang status sosial atau latar belakang apapun, kita tidak bisa hidup dan menanggung masalah sendiri. Bisa saling berbagi (curhat) apalagi dengan anggota keluarga akan sangat menyehatkan secara jiwa. Bila ada yang “menampung” ketika kita sedang mengalami tekanan masalah, maka kita akan terhindarkan dari kemungkinan sakit jiwa.

Kesepian sudah menjadi momok di masyarakat modern sekarang ini. Kesibukan, alat-alat komunikasi, media dan sebagainya dapat menjadi alat yang efektif untuk menghancurkan jiwa manusia bila manusia tidak bijaksana menggunakannya.

Bagi teman saya yang adalah majikan, tidak menjadi persoalan dengan siapa dia bisa curhat dan diterima termasuk dengan mbak Inah, pembantunya. Yang penting dia nyaman dan lega. Itu kebutuhan esensi manusia.

Maka ketika mbak Inah yang selama ini menjadi teman curhatnya “pergi” maka menangislah ia. Pembantuku, sayangku..

Juni, 8 Juni 2011

Tiga Anak Panah Saya

Saya makin menyadari sekarang ini. Memiliki tiga anak panah memperluas cakrawala saya dan ruang di hati saya. Itu juga membuat saya mengagumi Sang Pencipta yang kreatif dan Mahakuasa. Setiap hari makin menikmati perkembangan mereka. Ternyata mereka memang memiliki keunikan masing-masing. Bersyukur kalau saya bisa mempunyai lebih dari satu anak panah sehingga bisa menjadi pembanding satu dengan yang lain secara positif.

Meskipun tiga anak panah saya itu berjenis kelamin laki-laki semua, namun mereka tetap memancarkan keberbedaan.

Kekhasan itu dapat terlihat dari fisiknya : yang sulung, wajahnya sering dikatakan mirip dengan ayahnya, badannya besar, kulitnya hitam, rambutnya lurus hitam lebat. Yang tengah, wajahnya persis ibunya, badannya kurus kecil (ketahuan mengalami bocor jantung ketika berusia tiga bulan dan kena flek lalu diobati selama enam bulan), kulitnya agak hitam, rambutnya ikal rapi. Sedangkan yang bungsu, wajahnya campuran ayah dan ibunya, badannya besar tinggi, kulitnya putih, rambutnya ikal.

Kepribadiannya juga unik : anak panah yang pertama, tegas, keras, nuntut sempurna kadang kaku. Anak panah yang ke dua, cuek, kadang maunya sendiri, ceplas ceplos bahkan berani menegur ayahnya bila ada yang tidak di sukai. Anak panah yang ke tiga, sampai umur dua tahun ini belum berbicara, mudah merasa tidak aman, mudah menangis di suasana yang tidak dikenali.

Dalam hal makan. yang paling besar, sangat suka makan (apapun) bahkan sering berlebihan. Yang nomer dua, tidak suka makan terutama nasi, sayur dan sejenisnya kecuali roti dan biscuit. Yang paling kecil, juga suka makan tapi belum banyak menguyah.

Mengingat hal demikian, memang tidak mudah bagaimana memperlakukan ke tiga anak panah saya ini yang unik. Tentu tidak sama perlakuannya dan pendekatan yang dilakukan untuk membimbing mereka. Namun biarlah kami (saya dan istri) terus belajar untuk menemani mereka bertumbuh. Mereka bukan sekedar anak namun juga sebagai guru yang justru melatih kami untuk bertumbuh dalam karakter yang makin lebih baik.

Terutama kami menyadari peran kami hanya sebagai “busur”, biarlah ke tiga anak panah kami akan diarahkan mencapai sasaran yang oleh Sang Pemanah sesuai keinginanNya. Biarlah kami bekerja sama dengan Sang Pemanah untuk bergerak, melentur dan mengarah dengan fokus pada sasaran. Semoga.

Pilihan yang Sulit: Anak atau Pekerjaan? (Renungan Batin - orang tua & anak - 3)



beberapa hari lalu saya berkesempatan untuk memandang dua kakak beradik laki-laki yang sedang bermain air di depan rumahnya, tepatnya di teras rumah. Mereka mengguyur lantai teras itu dengan air lalu menyapunya. Setelah beberapa saat mereka mandi di bawah kran air depan teras itu sambil masih memakai baju lengkap.

Saya terus memperhatikan mereka. Sang kakak kemudian meminum air kran itu beberapa teguk lalu bermain ria-lah mereka dengan air itu sambil tertawa. Sang adik menyemprot kakak lalu dibalas oleh sang kakak, demikian serunya. Entah berapa liter air tertumpah karena ulah mereka.

Sambil memandangi mereka saya sebenarnya bertanya-tanya kenapa pembantunya tidak ke luar rumah dan menghentikannya. Mereka seperti dibiarkan dan tidak ada yang memperhatikan.

Ternyata dalam beberapa menit kemudian saya mendengar rengekan anak kecil yang lain di sebelah rumahnya yang sedang berbincang-bincang dengan pembantunya. Si pembantu mengancam akan memasukkan anak itu ke dalam dus dan mengirimnya ke orang tuanya yang tinggal di kota lain. Anak tersebut tidak mau lalu dia diam. Anak itu memang tinggal bersama pembantunya dan tidak mau tinggal dengan orang tuanya.

Kakak beradik tersebut memang diasuh oleh pembantu sehari-harinya karena ke dua orang tuanya bekerja dari pagi hingga sore hari. Setelah orang tua bekerja otomatis mereka hidup dengan pembantunya. Mereka pergi, main atau berbuat apapun seringkali tanpa pengawasan. Bahkan anak satunya, betul-betul terpisah dengan orang tuanya.

Saya tidak tahu pasti apa alasan orang tua mereka bertindak demikian terhadap anak-anak mereka. Bukankah anak-anak itu membutuhkan perhatian dan pendampingan dari orang tuanya dan tidak bisa tanggung jawab itu diserahkan pada pembatunya semata-mata.

Dua kejadian nyata tadi memberi pelajaran penting bagi saya. Anak-anak tidak hanya membutuhkan materi tapi juga kasih sayang, perhatian dan berkomunikasi dengan orang tuanya. Anak-anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dirawat orang tuanya dan kelak harus dipertanggungjawabkan kembali kepada Si Pemilik mereka.

Berapa banyak anak yang “terluka” karena mereka tidak lebih penting dibanding pekerjaan, kesibukan, uang dan lainnya di mata orang tua mereka. Berapa banyak anak yang kemudian menjadi pembrontak karena kebutuhan untuk diperhatikan. Dan tidak sedikit anak yang kemudian menjadi orang-orang yang “kehausan” kasih sayang dan mencarinya pada tante-tante girang atau om-om hidung belang.

Selain itu sangat beresiko bila anak tanpa pengawasan orang tuanya. Bagaimana dengan nilai-nilai yang akan ditanamkan kepada si anak bila pembantunya yang mengurus sehari-hari? didikan macam apa yang akan diterima si anak?

Bukankah kita sering mendengar ada anak yang dibiarkan terus nonton TV sedangkan si pengasuhnya sibuk SMS, ber-telp ria dan berpacaran dan sebagainya. Bahkan ada anak yang diberi obat tidur supaya pengasuhnya bebas melakukan yang disukainya. Ada juga anak yang sudah sedemikian lengketnya dengan pengasuhnya, maka apabila pengasuhnya pergi maka dia akan menangis untuk ikut atau mencarinya, tapi bila ibunya yang pergi, dia diam saja. Itu sesuatu yang wajar, anak akan merasa dekat dengan orang yang peduli dan dekat padanya.

Seringkali karena alasan ekonomi ibu-ibu "terpaksa" harus bekerja di luar rumah, kalau tidak maka kebutuhan keluarga tidak terpenuhi. ini pilihan yang sulit.

Tentu persoalannya bukan pada ibu harus bekerja atau tidak bekerja. Karena banyak juga ibu-ibu yang tidak bekerja alias hanya sebagai ibu rumah tangga biasa namun tetap tidak melakukan peran dalam mendidik anak dengan baik. yang mereka lakukan justru : membicarakan orang lain, pethan (mencari kutu), nonton sinetron, tidur dan sebagainya.

Namun ini bisa menjadi pemikiran :

apakah ibu-ibu tidak bisa mengambil pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah sambil merawat anak-anak?

Bila harus bekerja, cari orang yang sangat dipercayai untuk menjaga si anak di rumah dan membuat kesepakatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan si pengasuh. dan Bila ada kesempatan istirahat, bisa pulang menengok dan mengusahakan sering komunikasi dengan si pengasuh dan anak. Sesampainya di rumah maka anak harus segera menjadi tanggungjawab orangtua, demikian juga ketika orangtuanya libur.

Bila ibu harus bekerja, cari penitipan anak yang baik (bila tidak ada pembantu)

Mungkin terus memikirkan supaya bisa maksimal mengasuh anak terutama dibawah usia 8 tahun. itu usia emas.

Seberapa Besar Nilai Satu Nyawa



Minggu malam lalu saya bersama dengan teman-teman menengok salah satu anggota keluarga dari teman saya yang sedang dirawat di rumah sakit karena stroke. Kami tidak bisa masuk ke ruangan tempat pasien itu dibaringkan karena dia ditempatkan di ruang ICU. Apalagi si pasien dalam keadaan tidak sadar. Katanya ada pembuluh darah di kepala yang pecah. Peristiwa itu begitu cepat, sebelumnya kelihatan baik-baik saja tapi kemudian mendadak begitu.

Saat berbincang-bincang dengan anggota keluarga pasien, dia mengatakan sesuatu yang membuat saya kaget dan sedih. Dia mengatakan kalau pagi itu ketika dokter melakukan pemeriksaan lalu si dokter memberitahu perawat jaga supaya memberikan obat tertentu, namun sampai sore harinya obat itu tidak pernah diberikan ke pasien. Ketika pihak keluarga menanyakan menanyakan hal tersebut, perawat dengan tidak enteng dan tidak merasa bersalah menjawab bahwa di apotik sedang antri sehingga telat.

Pada keesokan harinya, saya mendapat SMS dari seorang teman dan memberitahukan kalau pasien itu telah meninggal. Wah campur aduk rasanya hati ini.

Memang nyawa setiap orang ada di tangan otoritas Tuhan. Namun, tidak bisa dipungkiri pertanyaan ini akan mengusik : kalau seandainya obat itu diberikan kemarin, apakah akan tetap sama kejadian berikutnya yang terjadi? sepertinya dia hanya mengantar nyawa dan untuk itu juga harus membayar sejumlah uang tertentu. ironi sekali.

Saya sekeluargapun pernah mengalami kondisi ini, dimana dokter spesialis memberi diagnosa salah dan memberi obat yang justru akan memperparah sakit anak saya. Dokter tersebut kurang teliti membaca data lab. Untungnya saya konsultasi dengan teman-teman dokter-dokter lain dan ketahuan kesalahannya. Semoga hanya keluarga saja yang mengalami kondisi ini. Bagaimana kalau ada pasien yang miskin dan tidak bisa melakukan “second opinion”? pasrah pada keadaan?

Apakah ini akan terus demikian terjadi dengan rumah sakit dan pekerja-pekerja kesehatan? tentu tidak dalam semua kasus. Masih banyak rumah sakit dan tenaga-tenaga kesehatan yang sangat baik dan memiliki visi mulia yang orientasinya tidak hanya bisnis semata. Tapi memiliki hati nurani yang berbelas kasihan pada sesama manusia, meskipun itu satu manusia bahkan gelandangan sekalipun.

Semoga tidak ada putus harapan, kiranya makin banyak tenaga-tenaga kesehatan yang baik hati, punya visi mulia dan pinter. Demikian juga banyak rumah sakit yang tidak pernah menolak dan menelantarkan orang miskin berobat. Karena nilai satu jiwa itu berharga karena dia diciptakan sesuai citra Sang Pencipta.

Senin, 21 November 2011

Desah luka seorang laki-laki (Renungan Batin – Suami & istri - 2)



Telah lama kubiarkan diriku diam dalam kelu. Bagai seonggok daging tak bernyawa. Tak terasa tubuh raga ini menyusut larut seirama jiwa. Yang ada sekarang hanyalah nyanyian sunyi. Yang tertinggal hanya rintihan sepi dalam hati. Desah sepi seorang laki-laki muda yang terluka.

Bagiku sekarang tak ada hari-hari. Matahari terbit dan terbenam bukanlah berbeda. Siang malam hujan panas semuanya sama. Terang gelap tidak lagi berarti bagiku. Ya bagiku…semaunya gelap dan sunyi.

Namun ingatan itu tidak pernah bisa hilang. Meski sudah kucoba untuk mengusirnya. Mungkin karena peristiwa itu begitu berkesan bagiku. Saat yang melumpuhkan hidupku. Menjadikan semuanya yang indah, hancur berantakan. Titik itu sangat menyakitkan… menikam sampai jantung. Menimbulkan luka yang menganga.

Bagaimana aku bisa lupa. Tatkala kamu, belahan jiwaku sendiri sudah berlaku seperti itu. Pergi dengan laki-laki lain dan meninggalkanku. Tanpa pesan, tanpa pamit dan tiada berita lagi. Sekarang entah di mana kamu berada. Hilang seperti ditelan bumi. Mengapa kamu begitu tega?

Masih segar dalam benakku. Saat kamu sebagai bunga desa ranum semerbak baunya. Batapa banyak kumbang ingin menghampirimu. Tak sedikit mereka beradu kelebihan untuk mendapatkan perhatianmu. Namun entah apa sebab, aku yang kamu pilih. Dulunya aku tidak berani terang-terangan menyatakan perasaanku. Terlalu muluk rasanya bila mendapatkanmu saat itu, bagiku. Bagai pungguk merindukan bulan. Wajahmu manis. Rambutmu hitam memanjang. Putih lembut kulitmu. Sedangkan aku..jauh sekali padanannya.

Masih dalam tanya. Namun satu hal yang pasti. Kita mengarungi bahtera rumah tangga bersama. Aku menikah dengan seorang gadis yang menawan. Kunikmati masa-masa kita berboncengan sepeda. Kemana-mana bersama dengan tawa meski kadang ada air mata. Bertahun-tahun merajut cinta, lahirlah buah-buah cinta kita.

Kini…semuanya tinggal hanya kenangan. Bahkan tak lagi aku ingin mengenangnya karena terlalu pahit. Anak-anak tak pernah mengerti dimana ibunya berada. Mereka tak tahu apa yang terjadi, yang menyebabkan sumber ASI mereka tak lagi di sisi. Mereka membesar tanpa sentuhan kasih sayang seorang ibu lagi. Mereka berkembang bahkan tanpa perhatian dan tanggungjawab orangtua mereka, karena aku sendiri sebagai ayah mereka, tidak lagi mampu untuk menopang bahkan hidupku sendiri. Kami hidup dari belas kasih orang dan keluarga besar kami.

Mungkin aku memang salah. Kenapa aku harus menikah dengan kamu? Kenapa aku tidak bisa menjadi laki-laki tegar? Kenapa aku terpuruk, bukankah ada anak-anak yang harus aku rawat? Bukankah aku masih muda dan bisa menikah lagi? Entahlah..aku tidak tahu.

Semuanya sudah berjalan bertahun-tahun seperti demikian. Tak terasa rambutku sudah mulai beruban dan kubiarkan memanjang, tak terurus. Tak peduli orang mau menilaiku apa, mereka mungkin sudah menganggapku gila. Namun aku tidak gila. Mereka mungkin menyalahkan aku. Atau ada juga yang menghujat istriku. Di luar sana, orang bisa bebas menilai. Namun apa yang terjadi, semuanya hanya dipahami di dada ini..ya dihatiku sendiri.

Istriku..
Memang faktanya kamu masih berstatus sebagai istriku. Kita tidak pernah bercerai. Surat nikah itu masih ada, tersimpan rapi dibawah pakaian di dalam lemari kita. Mungkin aku telah berbuat salah kepadamu, kalau ya maafkan aku. Namun tentu kita bisa bicarakan bersama, tidak dengan cara seperti ini.

Istriku..
Aku sangat sakit. Apakah kamu mengerti dan merasakan bagaimana dikhianati? Apakah kamu bisa merasakan pedihnya hati ini di saat kamu tertawa gembira dalam buaian asmara di sana? Tidakkah kamu peduli, mungkin tidak kepadaku, namun kepada anak-anak kita yang tidak berbuat salah padamu? Anak-anak yang kamu lahirkan dari rahimmu sendiri.

Istriku...
Sekarang bukan lagi aku menangisi nasibku, biarlah kutanggung semuanya ini sendiri. Yang aku tangisi bahkan kusesali adalah gadis mungil kita yang mewarisi kecantikan wajahmu yang sudah bertumbuh remaja, sekarang tidak lagi di sini. Entah meniru aku atau tak tahan menanggung derita ini. Jiwanya tergoncang. Dalam kondisi seperti itu, masih banyak orang-orang yang tega merampas seluruh tubuhnya. Sekarang dia pergi entah kemana, menggelandang di jalan-jalan. Kita orangtuanya tidak bisa menjaganya. Maka lengkaplah seluruh deritaku..adakah mentari esok hari yang tidak penah kutunggu.

(Untuk seorang teman di sana-“semoga ini mewakili perasaanmu”)

Minggu, 20 November 2011

Heart to heart (Renungan Batin – orang tua & anak - 2)



Anakku..
Marilah kita berperkara. Ini adalah urusan kita sendiri. Antara ayah dan anak. Marilah kita bersama, berkata-kata, berpetualang dalam aneka penemuan, kita keluarkan semua rasa di dada dan biarkan kita merenung yang membuat kita makin dewasa. Ya inilah saatnya Heart to heart.
...
Bermula kita berdua naik kereta menuju kota dimana ayahmu dulu dilahirkan dan dibesarkan. Selain karena ada kepentingan tugas ayahmu di sana. Namun kepergian kita berdua ini memang sudah orang tuamu rencanakan sebelumnya.
Aku ingin mengajarimu melihat dunia yang lebih luas. Ada banyak hal yang bisa kamu jumpai di dunia ini.

Di kereta ekonomi kamu bisa mengetahui bermacam-macam orang : pedagang asongan, pengamen, pengemis buta atau cacat, penyapu lantai, penumpang, kondektur dan sebagainya. Itu semua kamu mengerti betapa sulitnya orang mencari makan dan masih banyak orang yang hidupnya miskin, apa yang bisa kita perbuat untuk orang-orang seperti mereka?

Anakku..akan kuajak kamu menyusuri rumah dimana ayahmu dulu tinggal dengan sejarah ayahmu dulu yang pernah mengecap “kekelaman”. Ayahmu dulu pernah merasakan betapa sulitnya menjadi orang yang miskin. Ayahmu juga pernah merasakan kerasnya pergulatan hidup untuk menjadi seorang “manusia” supaya diterima orang lain. Dengan berbagai cara termasuk dengan kenakalan remaja saat itu. Ayahmu punya masa lalu dan semua itu menjadi catatan dalam perjalanan hidup ayahmu.

Kamu juga melihat bagaimana tangan lembut nenekmu dan menjadi tangan “batu” untuk mencari nafkah dan menghidupi anak-anaknya termasuk ayahmu ini. Kamu melihat keuletannya dan pantang menyerah.

Berharap semua itu terekam dalam memorimu. Biarlah yang kamu pahami, bahwa oleh kemurahan Tuhan semata ayahmu ini sekarang bisa menjadi ayahmu dalam keadaannya yang seperti sekarang ini. Oleh pertolongan dan teladanNya, ayahmu ini bersedia dan bertekad akan terus melakukan tanggungjawab “ke-ayah-an”. Allah ayahmu itu hidup dan memelihara ayahmu hingga saat ini dan nanti.

Dalam kebersamaan hanya dua hari ini, sudah banyak pelajaran yang dibagi dan didapatkan. Ayahmu ini juga merasakan bahwa kamu adalah anakku. Ketika kamu menciumku, memelukku dan memijitku. Yang kurasa itu sentuhan seorang anak terhadap ayahnya. Dan saat kamu baringkan kepalamu dipangkuanku, kubelai rambutmu dan terasa belaian ayah terhadap anaknya. Mengapa semua jadi terasa demikian kuat saat ini? Mengapa relasi ini begitu sangat berkesan saat pergi berdua ini? Karena saat ini semua keberadaanmu tergantung padaku, maka yang terjadi semua reaksi “ke-ayah-an” bergejolak untuk disalurkan.

Di sisi yang lain, ayahmu ini menemukan bahwa kamu memang masih anak-anak. Aku selama ini tidak menyadari sehingga menuntutmu bersikap, berkata dan berperilaku melebihi usiamu. Yang terjadi kamu frustasi dan ayahmu ini juga frustasi. Ayahmu harus terus belajar tahapan perkembangan seorang anak. Bila demikian, akan kunikmati segala polahmu yang mencerminkan itulah dunia kanak-kanak, tentunya bukan hal yang sengaja kamu lakukan untuk berbuat dosa.

Dari hati ke hati, ayahmu mencurahkan pikiran dan perasaan padamu untuk apa yang ayahmu pesankan padamu. Nilai-nilai yang ayah bagikan padamu.

Dari heart to heart pula kamu bebas menceritakan apapun pada ayahmu ini. Bisa mengeluh, mencandai, menegur, meminta, mengadu dan sebagainya.

Ini antara kita. Antara ayah dan anak.

Jumat, 18 November 2011

Jangan Aniaya Aku (Renungan Batin-suami &istri - 1)



Kemarin aku melihat pemandangan yang membuat hati terasa miris. Dari kejauhan, berlawanan arah dari mobilku yang melaju, kulihat seorang ibu muda sedang berlari seraya menggandeng anaknya laki-laki. Nampak terlihat wajahnya agak takut dan berusaha untuk menyelamatkan diri. Sedangkan dari arah belakang, terlihat seorang laki-laki bercelana pendek mengikutinya dengan mengendarai sepeda motor.

Mobilku terhenti dan membiarkan pandanganku terus mengikuti adegan yang aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ibu muda dan anak laki-lakinya membelok ke arah gang. Tepat sekali aku melihatnya dari balik kaca mobil. Laki-laki yang mengendarai motor itu mendekati si ibu dan menarik kerudung kepala (jilbab) yang dikenakan si ibu itu lalu memukulnya. Si ibu dan anaknya berusaha meronta dan terus berlari mnyelamatkan diri. Laki-laki itu terus mengejarnya dan penganiayaan masih berlangsung di dalam gang yang orang sering berlalu-lalang di sana. Aku terhenyak. Tidak menyangka akan melihat peristiwa seperti ini.

Sebagai laki-laki aku marah dan tidak terima dengan perlakuan itu, meskipun aku tidak tahu duduk persoalannya. Layaknya yang lemah ditindas semena-mena oleh yang kuat. Namun aku juga bingung, tidak mengerti apa yang harus aku lakukan terhadap mereka. Aku takut ada salah paham, jangan-jangan itu memang masalah rumah tangga mereka dan saya dituduh terlalu ikut campur tangan rumah tangga orang lain bila saya mencoba berbuat sesuatu.

Sembari menyetir, pikiranku terusik dengan kejadian itu. Apakah mereka suami istri dan sedang bertengkar? Apakah suaminya itu marah dan sampai menganiaya istrinya karena memang istrinya itu sudah keterlaluan?

Ada banyak pertanyaan yang berkembang dalam benakku. Namun dalam renunganku pribadi, apakah dilayakkan seorang suami memukul dan menganiaya fisik (apapun) terhadap istri bila terjadi pertengkaran? Apakah terhormat dan merasa hebat seorang laki-laki dengan kekerasan untuk menundukkan seorang perempuan? Apakah hal itu juga efektif untuk membuat seorang istri akan baik bila seandainya sang istri berbuat kesalahan? Kalau memang benar mereka sedang konfilk rumah tangga.

Rasanya sulit diterima, dulu sebelum menikah disayang-sayang bahkan mungkin dipuja-puja setingginya. Namun setelah menikah, dengan mudahnya menggunakan kekerasan sebagai jalan keluarnya. Tidak lagi mengingat masa lalu. Jangan-jangan memang laki-laki itu memiliki kebiasaan suka marah dan menyalurkannya secara tidak sehat alias dengan memukul. Hal itu harus menjadi pelajaran bagi gadis-gadis bila akan menikah dengan seorang pria yang punya pola seperti ini.

Apalagi tindak kekerasan seperti ini terjadi dihadapan anaknya. Bagaimana reaksi si anak melihat kedua orang tuanya bertengkar dan melihat ibu yang telah mengandung dan melahirkannya sekarang diperlakukan demikian oleh ayahnya sendiri. Tentu ini akan menimbulkan “luka” yang serius terhadap si anak. Dia akan dibayangi perasaan tidak aman. Timbul juga perasaan marah dan benci terhadap si ayah yang mungkin saja kelak akan dibalaskan oleh si anak.

Dan juga tidak kalah seriusnya, pola kekerasan seperti ini akan terulang dan menjadi contoh bagi si anak. Sungguh berbahaya bila dia dalam ketidaksadarannya dia memahami bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah harus dengan kekerasan supaya efektif.

Perlu disadari bahwa kekerasan melahirkan kekerasan. Orang terluka cenderung melukai orang lain. Orang yang kepahitan akan mudah membuat hati orang lain pahit.

Jangan pernah ada lagi kekerasan dalam rumah tangga. Berharap tidak ada lagi penganiayaan seorang istri oleh suaminya sendiri yang seharusnya menjadi pelindungnya. Semoga.

Kunikmati “kegaduhan” - mu (Renungan Batin-orang tua & anak - 1)



Setiap hari tidak pernah ada saat sepi. Teriakan, tangisan, rengekan, celotehan dari bibir-bibir mungil, mainan-mainan yang dibunyikan dan sebagainya. Berlarian, melempar-lempar benda, melompat-lompat kasur, memanjat kursi dan segala atraksi akrobat lainnya yang menambah hiruk pikuknya keadaan. Hal itu berlangsung dari membuka mata sa...mpai menutup mata kembali sepanjang hari. Hanya dalam kelelapan, suasana terasa hening.

Demikian juga dengan barang-barang yang ada, apalagi mainan, betapa mudahnya berantakan. Dalam beberapa saat ditata rapi, dalam sekejap pula semua tertata tak beraturan. Rasanya sulit untuk menikmati sesuatu terletak dengan rapi. Ada serpihan kertas, spidol, muntahan makanan, bekas tapak-tapak kaki kotor yang mongering di lantai, mobil-mobilan yang remuk dan seterusnya. Ada keinginan untuk merapikan dan menata semuanya supaya terlihat rapi, namun seringkali tenaga sudah habis terkuras dengan segala kepenatan sepanjang hari itu.

Kadang “petualangan” mu di dunia kecil ini sulit kami pahami. Di saat mengetik di komputer, tiba-tiba ada jari mungkin memencet tombor “power”nya, maka lenyaplah semua yang terpampang di depan mata apalagi semua data belum ter “save”. Padahal merangkai kata tidaklah mudah. Kadang pula, kamu mendekat dan minta dipangku di saat sedang sibuk menulis atau mengerjakan sesuatu.

Lain waktu, dibongkarnya mainan yang baru saja di beli. Alasanmu karena ingin mengetahui apa isinya. Kadang di saat api menyala di kompor, di cobanya memasukkan kertas dan terbakar lalu berteriak-teriak ketakutan.

Belum lagi bila ada pertengkaran di antaramu karena merasa punya hak memiliki atau memakai mainan tertentu. Saling tidak mau mengalah. Saling mengadu ke papa mama. Kadang semuanya berakhir dengan tangisan salah seorang atau bersama-sama.

Tertambah lagi “kegaduhan” mu ditumpangi keriuhanku, menambah keramaian suasana. Reaksiku tidak selalu tepat. Aku bisa jengkel bahkan marah melihatmu berlaku demikian. Apalagi di saat aku sakit, ingin tenang, ingin sendiri dan segala “ingin” lainnya.

Namun dalam perenunganku, keadaan semua ini karena memang dunia mu adalah dunia bermain yang dipenuhi dengan segala rasa ingin tahu, kebebasan tanpa beban, keriangan. Dan juga, bukankah saat ini adalah fase pertumbuhanmu yang sangat cepat dimana sedang melatih semua gerak motorik kasar dan halus dan perkembangan kognitifmu.

Bukankah seringkali orang dewasa bisa banyak belajar darimu. Rasa ketertarikanmu pada hal-hal baru yang kadang sederhana, menikmati hidup hari ini tanpa terbebani dengan kecemasan pada masa depan, kepolosanmu tanpa takut penilaian orang lain dan sebagainya. Bukankah itu yang menjadi persoalan orang yang usianya jauh di atasmu, yang katanya lebih pinter dan berpengalaman.

Anak-anakku, silahkan kamu bermain dengan “kegaduhan” –mu saat ini. Karena kondisi ini akan cepat berlalu. Ada saatnya kelak aku bisa akan merindukan suasana gaduh dan ramai lagi. Waktu akan terasa cepat, dimana kamu akan punya dunia sendiri di luar sana. Jam sekolah yang “memaksa”-mu harus berlama-lama di sana. Teman-teman bermainmu di luar yang menarikmu untuk berekplorasi ke dunia yang lebih luas. Pacarmu dan kelak teman hidupmu akan membawamu pergi “terbang” lepas ke luar dari sarang.

Saat ini aku sering terganggu dengan rengekanmu untuk ikut kemanapun aku pergi, namun kelak aku bisa sangat ingin bahkan “memaksa”mu untuk ikut menemaniku namun…kamu tidak mau. Ah betapa sedihnya…

Jadi sekarang anakku, aku lebih memilih menikmati “kegaduhan”-mu saat ini. Karena sebenarnya hatiku memang merindukan kehadiranmu di sisiku meskipun kadang mengganggu. Aku hanya butuh belajar untuk mengatur emosi dan perasaanku sehingga menyesuaikan segala keadaan yang kuhadapi.

Anakku.. Terima kasih aku sudah bisa belajar.

Pwk, 18 Nov 2011

Rabu, 16 November 2011

Marvel..anakku



Tak terbayang dirimu berada di sana
Menyanyi dalam paduan suara
Menyerukan kidung puji dan puja
Kepada Dia yang adalah Bapa

Anakku..
Bukan prestasi yang menjadi tujuan utama
Atau kemenangan yang di depan mata
Tapi melakukan segala upaya
Untuk memberi yang terbaik bagi yang Mulia

Anakku…
Biarlah terus hidupmu dipenuhi kidung-kidung
Mengalir dari hati yang merenung
Penebusmu yang Agung
Kiranya namaNya selalu disanjung

Anakku..
Berdirimu bukanlah mewakili berdirinya papi
Tak juga sebuah perwujudan mimpi
Masa depan adalah milikmu sendiri
Apapun yang terjadi biarlah karena kehendak Ilahi

Anakku…
Kepuasanmu bukanlah akan menjadi siapa dan apa
Dirimu sudah menjadi ada
Karena identitasmu cukup tatkala dirimu berada
Dihadapan Allah dirimu menyapa…. ya Bapa

Anakku…
Biarlah papi dan mami menghantarmu ke suatu masa
Hingga saatnya dirimu melesat bersahaja
Membentangkan sayap terbang melintasi dunia
Menggapai maksud dari Sang Pengada

(papi dan mami)

Selasa, 15 November 2011

Aku sudah MEncemari dan DIcemari (Renungan batin - 10)



Ada seorang pemburu yang berpesan kepada monyet peliharaannya supaya menjaga setundun buah pisang yang telah ditemukannya di hutan. Setelah itu si pemburu pergi berburu lagi.

Sesaat si monyet menunggu dengan sabar , lalu perutnya mulai terasa lapar. Namun dia tidak mau pergi kemana-mana untuk mencari makanan karena harus menunggui pisang itu. Sekilas dia melirik buah pisang itu lalu menatapnya, hmh…ranum sekali. Warnanya kuning menandakan sudah sangat matang. Air liurnya mulai menetes..seleranya terpacu di dorong gejolak isi perutnya yang meronta untuk di isi.

Dia ingat pesan tuannya supaya tidak memakan pisang tersebut dan hanya menungguniya saja sampai tuannya itu kembali. Karena sudah tidak bisa menahan lagi, dia mulai meraba pisang itu. Ah..tidak apa-apa kan hanya memegangnya, bukan memakannya. Empuk. Lalu dia mulai mencium aroma buah itu, pikirnya tuanku tidak akan marah, kan hanya dicium. Nyam…nyam sedap harumnya. Lalu dia mulai maju, dipetiknya satu buah pisang itu dan dibuka kulitnya lalu dijilatnya…wah lezat sekali. Pikirnya, kan cuma dijilat dan tidak dimakan. Lalu karena keasyikan terus menjilat, pisang tersebut tiba-tiba tertelan. Dia kaget..dan takut. Namun sudah terlambat, pisang tersebut sudah masuk ke dalam perutnya. Tinggallah penyesalan dan dia harus mempertangggungjawabkan pada tuannya.

Kisah di atas ternyata tidak jauh berbeda dengan pengalamanku. Di saat menjadi mahasiswa seperti sekarang ini dan di usia yang masih banyak gejolak membara di dada ini, tidak sulit bagiku hanya untuk mendapatkan seorang pacar. Bermodalkan tampang yang agak lumayan dan rayuan-rayuan serta JAIM-JAIM dikit alias jaga image maka bisa saja ada gadis yang tertarik padaku, apalagi kalau gadis itu haus perhatian. Wah pasti ketangkep deh..

Mulailah aku berpacaran dengan seorang gadis. Dia lugu sekali. Hampir tidak terlihat ada polesan riasan di wajahnya kecuali bedak seadanya. Dia pintar dan nampaknya alim. Alasannya mau menjadi pacarku karena ingin mengubah aku, siapa tahu aku yang brandalan ini akan meniru hidupnya yang kelihatan rohani sekali.
Setelah sekian lama berpacaran dengannya, bukannya aku jadi berubah namun aku makin beringas. Cara berpacaran kami sudah sangat tidak sehat. Bisa dipastikan, sayalah yang memulai dan memaksanya. Pertama-tama dia menolak. Ketika kugenggam jarinya, dia segera menepis tanganku. Lalu kukatakan : “kan Cuma memegang tangan aja !” akhirnya dia oke.

Di lain waktu, ku belai rambutnya dan ia pun merasa agak risih. Kuyakinkan dia, itu hanya membelai saja. Dan ia setuju.

Tepat di hari ulang tahunnya, kubawakan sekuntum bunga dan kado istimewa buatnya. Kuucapkan selamat, lalu kucoba mencium pipinya..dia agak terkejut namun akhirnya luluh, kukatakan ini kan hari istimewa.

Tidak sampai di sana. Pendakian itu di mulai dari bawah dan sadar atau tidak sadar, keinginanku lebih tepat dorongan nafsuku adalah mencapai puncaknya. Dan itu memang terjadi, entah karena paksaanku atau karena dia sendiri mulai menikmati, maka kami berbuat itu.

Semuanya sudah terjadi. Aku sebagai laki-laki memang merasa bersalah, sepertinya tidak mampu mengendalikan diri. Kadang dipikiranku penuh dengan gambaran-gambaran yang kotor seperti yang sering kulihat di film-film kotor itu. Hal tersebut yang sering membuatku tak berkutik dan memaksakan kehendakku pada seseorang yang seharusnya kukasihi.

Bukankah dorongan ini berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kalau saya laki-lak (biasanya)i, dorongan itu seperti saklar lampu, bila di klik langsung menyala. Sedangkan perempuan (biasanya) seperti setrika, butuh proses menuju panas.
Aku sadar. Hal tersebut bisa terjadi karena mudahnya kompromi terhadap hal-hal yang dianggap kecil atau tidak apa-apa. Dari pegangan tangan, balaian, pelukan dan seterusnya.

Kini dia terpuruk dalam gelap. Sedih dan nestapa. Dan aku juga merasa bersalah. Aku telah MEncemari, demikian juga sebenarnya aku telah DIcemari oleh kelakuanku sendiri. Mungkin seandainya dulu kami tegas sejak awal, bahkan kalau perlu ketika aku dikuasai nafsu, pacarku mau menegurku bahkan menampar pipiku, mungkin bisa menolong. Tapi ya…

Pwk, 15 Nov 2011

Minggu, 13 November 2011

Dunia Maya (Renungan Batin - 9)



Kulihat fotonya yang tertampang sungguh sangat menawan. Parasnya cantik, kulitnya terlihat putih mulus, rambutnya hitam memanjang dan ditambah senyum menghias tatanan gigi yang rapi. Sekilas aku terpikat dengan gambar itu. Lalu aku membaca infonya, hmh…nampaknya pendidikannya juga cukup baik.

Tak seberapa lama kami mulai berkomunikasi meskipun via email dan facebook dan sebagainya. Akhirnya meningkat dengan menggunakan HP. Pesan-pesan sering terkirim dan tak jarang kami juga sering ber-telpun ria. Suaranya lembut manja. Wah tambah gemes rasanya. Aku senang dan menikmatinya, meskipun banyak menguras pulsa.

Perasaanku melambung membayangkan wajahnya ketika kami berkomunikasi. Ada rasa kangen ingin bertemu, suka, namun juga was-was apakah dia wanita yang seperti kubayangkan, tapi juga rasa minder apakah nanti dia mau menerimaku.

Akhirnya kami bertemu alias “kopi darat” setelah sekian lama berkomunikasi secara intensif. Kesepakatan ditetapkan saat dan tempat kami akan bertemu. Kami juga menyebutkan akan memakai baju warna apa masing-masing supaya memudahkan pencarian.

Saat itu tiba, mataku melayang menyusuri ruang makan itu. Setiap sudut kuperhatikan dengan seksama, Akhirnya mataku terhenti pada seorang gadis yang duduk sendirian di ujung belakang. Dia memakai kaos putih dan celana jeans. Aku segera menghampirinya dengan penuh semangat. Bayangan wajah yang kulihat di foto terus membayangi, nampaknya cocok walapun baru melihat punggungnya.

‘’hmm…selamat malam “ sapaku dengan ragu-ragu. Dia menoleh dan tersenyum menatapku. Hatiku berbunga-bunga.

“nggg….apakah mbak sedang menunggu seseorang?” tanyaku. Dia mengangguk pasti. Jantungku berdebar-debar…

“saya…apakah mbak yang bernama…?” kenalku sambil mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Wajahnya agak terkejut dan ia menggelengkan kepalanya. “maaf, anda salah orang mas” deg..beberapa detik buyar konsentrasiku.

Sambil menahan malu aku berlalu dari tempat itu, namun tak seberapa lama ada seorang perempuan memanggil namaku dan mendekatiku. Rasanya aku belum pernah mengenalnya. “kamu namanya…kan?” tanyanya dengan yakin. Aku mengangguk, masih belum sadar penuh. “ini aku…bukankah kita sepakat untuk bertemu di sini, ya kan?” aku hanya bisa mengangguk pelan. Sejenak kupandangi wajahnya dan tubuhnya tapi rasanya kok beda ya dengan yang kulihat di facebook itu. Sepertinya usianya sudah seusia mamaku. Wah celaka..

Kubiarkan dia bicara ngalor ngidul sedangkan aku hanya terdiam sambil tersenyum kecut. Akhirnya aku minta ijin untuk pergi ke toilet. Setelah itu aku pergi tanpa kembali dengan membawa kekecewaan di hati. Ngacir deh…

Memang asyik mendapat kenalan via dunia maya. Sama-sama tidak saling mengenal sebelumnya dan bisa terhanyut dalam khayal masing-masing. Namun juga bisa timbul kekecewaan. Apa yang terjadi belum tentu seperti yang diharapkan. Bukankah sudah banyak contoh ada orang diculik, diperkosa, dirampok bahkan dibunuh oleh orang-orang yang dikenalnya lewat dunia maya. Banyak orang menipu dan tertipu lewat hubungan ini. Aku salah satu korbannya, ditipu oleh orang dan tertipu juga oleh bayanganku sendiri.

Aku ingat sudah berapa kali dia minta dikirimi pulsa, dan aku mengiriminya dengan senang. Juga pernah dia berhutang padaku karena alasan untuk biaya bapaknya yang sedang dirawat di rumah sakit. Sudah terlanjur aku membangun imajinasiku yang indah tapi sekarang hancurlah sudah.

Bukankah pernikahan yang serius juga harus didasari saling mengenal satu dengan yang lain secara mendalam. Sangat tidak masuk akal, baru bertemu apalagi kenal via dunia maya langsung jadian dan menikah.

Bisa jadi karena aku orang yang kesepian dan minder sehingga aku sangat menikmati hubungan-hubungan dengan orang yang “diseberang” sana tanpa jelas identitas sebelumnya daripada dengan orang-orang yang kujumpai face to face.

Bisa jadi orang kesepian bertemu orang kesepian di alat komunikasi modern ini dan makin kesepian.

Pwk. 14 nov 2011

Tanggal Angka Cantik



Hari ini tepat tanggal 11-11-’11 dan orang pasti akan sepakat bahwa itu nomer cantik. Seperti no hp yang cantik banyak diminati orang. Sudah tentu tanggal ini juga dilirik bahkan dipilih untuk moment tertentu.

Banyak pasangan sudah merencanakan untuk menikah di tanggal ini. Dan tidak sedikit bayi-bayi yang dipaksa “keluar” dari kehangatan rahim ibunya juga di moment ini. Peluncuran album musik atau “release” nya buku-buku baru. Bisa jadi pembukaan usaha baru dan sebagainya.

Apakah sebenarnya makna memilih tanggal dengan angka cantik seperti ini? Mungkin ada banyak alasan tentang hal tersebut. Bisa karena berharap pada “keberuntungan” karena mempercayai angka-angka tersebut memiliki arti tertentu. Atau bisa juga karena ingin memudahkan dalam mengingat satu peristiwa yang penting dalam hidup. Atau ada yang hanya ingin keren-keren saja.

Masing-masing orang bebas untuk menentukan dan menilainya. Namun yang penting adalah menjalani kehidupan itu sendiri. Siapa kita dan bagaimana kita bertindak itu yang perlu.

Bila sepasang pengantin menikah di hari ini, perayaan hanya sehari dan kegembiraan menikmati hari ini juga akan lewat. Yang dihadapi kemudian “tanggal-tanggal” kenyataan kehidupan sehari-hari. Bagaimana pasangan tersebut membangun pernikahan tersebut. Hari ini adalah “start” nya. Tak ada gunanya pernikahan di tanggal hari ini, bila kemudian rumah tangga di isi dengan pertengkaran demi pertengkaran hingga perceraian. Bukankah kita sering melihat contoh banyak pasangan menikah dengan pesta yang mewah, dihadiri banyak tamu, penuh kegembiraan, di tanggal yang terpilih namun kandas disertai dengan kebencian satu dengan yang lain.

Apabila ada bayi-bayi yang harus dilahirkan di tanggal ini, berharap mereka akan mendapat naungan yang nyaman dalam menjalani hidup mereka. Di sambut tangan-tangan keramahan yang tidak hanya di saat kelahiran saja namun selamanya apapun keberadaannya. Semoga tidak ada (kalau bisa) anak-anak yang tanggal lahirnya tertulis dengan angka cantik, namun hidupnya tidak cantik. Penuh luka fisik, jiwa, emosi bahkan rohani.

Demikian juga yang berulang tahun pada hari ini, hidup akan bermakna bila berarti bagi orang lain.

Hidup memang harus mengalir dan membawa maknanya tersendiri. Biarlah hari ini bagi sebagian orang menjadi berarti. Hari ini dimulai dan melanjutkan hidup.

TAPI apapun itu semua, ada yang lebih penting. Hari ini saya ber-ULANG TAHUN he he he. Yang menarik karena memang satu deret angka 1. Namun bukan itu arti pentingnya bagi saya. Tiap ulang tahun adalah saat untuk mensyukuri anugerah kehidupan yang Tuhan berikan, sekaligus untuk mengevaluasi apa saja yang sudah dilakukan untuk memberi arti bagi Tuhan, diri sendiri dan bagi orang lain. Setelah itu membenahi diri untuk menjalani hidup yang lebih baik di kemudian hari.

PF 11-11-2011

Rabu, 09 November 2011

De Pe (Renungan Batin - 8)

De Pe
(Renungan Batin)

Suatu hari ketika aku sedang mengurus sesuatu. Petugasnya bertanya : “Apa inisialnya?” lalu aku menjawab dengan cepat “ De Pe (DP). Spontan dia berkomentar “ Dewi Persik.. goyang gergaji” . Akupun tak kalah gesit menjawab “ bukan pak, Daniel Puspo !” Dalam hatiku, ada-ada saja bapak itu, lha jalan aja sulit kok pakai goyang gergaji…he he

Inisial De Pe (DP) ini juga sangat dikenal dengan Down Payment alias uang muka misalnya bila kita kredit sesuatu. Namun DP ini bisa diartikan lebih luas lagi dalam penggunaannya. Ini contohnya :

Ketika aku tertarik dengan seorang gadis maka aku berusaha untuk menyatakan perasaanku. Ada banyak hal kuusahakan supaya dapat memikat hatinya. Aku sering melayangkan SMS dengan kalimat-kalimat yang bernada perhatian apalagi kebetulan saat dia ulang tahun, aku tahan tidak tidur menunggu detak jam dua belas malam lebih satu detik untuk bisa ngucapin hari istimewanya itu.

Tak segan-segan aku kirimi permen coklat kegemarannya. Selain itu aku siap menjadi ojek pribadi yang mau mengantarkan kemanapun dia pergi. Kapanpun dia butuh, aku selalu ada di sana. Kadang dia berkomentar “kamu kok baik banget siiiih ? !” sambil mencubit manja lenganku. “ah biasa aja kok…’ jawabku pura-pura

Sering pula ku traktir dia makan dari cimol, siomay, batagor, bakso sampai makanan di restaurant mahal (meski hanya sesekali). Wah dia senang dan lahap sekali makannya bahkan kadang sampai nambah, meskipun kadang aku nyengar-nyengir memikirkan uangku yang tidak banyak…jangan-jangan bisa nge-bon lagi nanti karena kiriman uang dari orang tuaku masih beberapa minggu lagi.

Akhirnya hari itu tiba. Saat proklamasi dimana kami sepakat untuk “jalan bersama”. Hubunganku dengannya makin terikat atau aku sengaja mengikatnya. Kami saling menyebut papa mama. He he lucu tapi rasanya mesra sekali. Kami juga membeli cincin yang sama meskipun hanya terbuat dari kerang, supaya orang tahu kami satu.

Aku juga mengambil uang tabunganku untuk membelikan dia Laptop supaya dipakainya untuk mengerjakan skripsinya kelak. Kami saling berkunjung dan berkenalan dengan orang tua kami masing-masing. Bahkan kadang menginap di rumahnya karena alasan hujan atau kemalaman, orang tuanya memaksanya demikian meskipun aku senang dipaksa bila disuruh seperti itu he he.

Sampai kamipun sudah membuat rekening bersama. Istilahnya tabungan masa depan untuk kami berdua.

Namun lama-lama aku mulai merenung. Bukankah kami belum menjadi suami istri. Dan kamipun juga belum tahu kapan akan menikah. Bagaimana kalau kami putus? Lalu bagaimana dengan apa yang sudah kami lakukan tersebut. Aku bertindak salah karena menganggap tindakan kami seperti uang muka atau down payment (DP), padahal hubungan kami masih belum pasti jadi membawa pada pernikahan karena juga kami masih muda dan kalau toh ada rencana menikah masih jauh ke depan. Kami terlalu cepat bertindak.

Aku juga menyesali kenapa kami sudah terlalu “jauh” masuk ke keluarga kami. Bagaimana kalau ternyata nanti kami merasa tidak cocok dan tidak bisa melanjutkan hubungan kami. Lalu bagaimana menjelaskan kepada orang tua kami masing-masing?

Wah jangan-jangan dulu ketika aku sedang naksir dia. Ketika aku semangat memberi perhatian kepadanya, aku seperti memberinya umpan supaya dia mau jadi pacarku. Aduh..bisa jadi pacarku suka karena perhatian-perhatianku. Wah berbahaya sekali, bagaimana kalau aku nanti tidak bisa memberi perhatian padanya?

Aku laki-laki mudah sekali bertindak ceroboh seperti itu dan tidak menyadari bahwa itu bisa menjebak seorang perempuan. Bila aku ingin mendapatkan cinta yang tulus, aku harus bijak mengendalikan kecenderungan dorongan untuk memperhatikan ini secara bijaksana.

Pwk, 10 Nov 2011
(HOPE- House of Peanut)