Senin, 28 November 2011

Petualang Cinta (Renungan Batin – 11)



Bagai kumbang yang terbang hinggap dari satu bunga ke bunga yang lainnya. Si kumbang bisa bebas terbang ke sana kemari, sesuka hati memilih bunga mana yang dikenan di hati. Sedangkan bunga-bunga diam menunggu, tak tahu menahu apa yang telah dilakukan si kumbang. Pikirnya dialah milik satu-satunya si kumbang. Namun, tidaklah demikian sifat kumbang. Baginya kepuasan pribadi itulah yang dicari, tak peduli bagaimana perasaan hati si bunga-bunga.

Demikianlah yang terjadi pada diriku. Aku si kumbang itu. Aku suka sekali berpetualang dalam cinta. Ada keenakan tersendiri. Ada semacam kepuasan ketika aku disukai dan dicintai oleh banyak gadis. Apalagi bila ada gadis yang aku suka dan aku berusaha mendapatkannya untuk menjadi pacarku dan aku dapatkan itu, wah puas sekali.

Entah sudah berapa banyak gadis yang sudah kupacari sejak aku SMP hingga aku kuliah saat ini. Lamanya berpacaran juga bervariasi satu dengan yang lainnya. Tapi semuanya tidak lebih dari dua tahun dan sudah putus. Ada banyak alasan yang menyebabkannya, tapi biasanya aku sendiri yang sering bikin gara-gara supaya akhirnya hubungan kami putus. Memang kebanyakan para mantan gadisku itu “pergi” dengan membawa rasa kecewa atau marah padaku. Tapi yah..bagaimana lagi memang harus aku tanggung.

Biasanya bila aku jadian dengan satu gadis, namun sebenarnya aku juga sudah menjalin ikatan dengan gadis-gadis lain. Meski kadang hanya sekedar TTM (Teman Tapi Mesra) saja. Tentu saja mereka tidak saling tahu. Aku harus pandai-pandai menjaga rahasia ini. Mungkin aku beruntung, selama ini ketika aku pergi dengan pacarku yang satu tanpa diketahui atau bertemu dengan pacarku yang lain. Entah apa yang terjadi seandainya tahu, wah bisa berabe. Mungkin hanya teman-teman dekatku saja yang tahu bagaimana kelakuanku ini. Mereka sering menegur dan memarahi aku, tapi aku hanya tertawa saja. Pikirku, jangan-jangan mereka hanya iri saja karena nasibnya tidak seberuntung aku.

Sekarang ini aku sedang pacaran dengan adik tingkat satu fakultas dengan aku. Aku kenal dia ketika OPSPEK. Dia sebagai mahasiswi baru dan aku salah satu panitianya. Kebetulan hari itu dia telat bangun sehingga terlambat juga tiba di kampus. Tentu ini makanan empuk untuk menjatuhkan hukuman. Kebetulan aku yang menemuinya dan ia menghadap dengan wajah pucat karena takut. Aku sudah tahu kalau dia cantik dan agak manja, jadi aku sengaja menggoda dan mengulur-ulur waktu supaya bisa lebih lama bersamanya.

Akhirnya tidak sampai waktu yang lama setelah peristiwa itu, dia mau jadi pacarku dan sudah berjalan satu tahun lebih. Tapi aneh dengan gadis ini, aku merasa tidak bisa bebas. Dia sepertinya selalu curiga, cemburu dan menuntut banyak waktuku. Aku sendiri juga takut kalau terjadi sesuatu padanya.

Aku tidak bisa lupa peristiwa itu, ketika aku bertengkar hebat dengan pacarku ini karena dia sempat membaca SMS dari pacarku yang lain yang isinya penuh kata-kata mesra. Dia cemburu dan marah, lalu dia menghubungi pacarku yang di seberang sana. Dan akhirnya, terbongkarlah semua yang kujaga rapat-rapat selama ini. Aku berusaha minta maaf dan menjelaskan tidak akan mengulang lagi. Aku putus dengan pacarku yang di seberang sana. Namun tidak hanya itu saja pukulan telak bagiku, ternyata pacarku ini mengadu ke bapaknya dan esoknya aku di sidang di depan keluarganya dan mereka mengancamku supaya jangan menyakiti pacarku ini.

Wah apes sudah hidupku, apakah ini akibat dari kesalahan-kesalahanku yang dulu? Aku baru menyadari ketika membayangkan mantan pacarku dulu tentu sedih sekali karena perlakuanku terhadap mereka. Bagaimana kalau hal itu menimpa adikku perempuan atau saudariku yang lain? Atau kelak bila aku punya anak perempuan dan mengalami keadaan seperti mereka? Tentu aku juga tidak terima bila mereka diperlakukan seperti itu.

Aku harus menghentikan petualangan cintaku. Dan sebenarnya cinta tidak boleh dijadikan petualangan atau main-main. Aku laki-laki tidak boleh lagi mempermainkan hati dan perasaan wanita. Mereka perlu dihargai, siapa tahu mereka tulus mencintaiku.

Saat ini kucobai menjalani komitmen dengan pacarku satu-satunya itu, entah sampai kapan. Namun aku akan berusaha untuk tidak akan mendua hati lagi.

Kamis, 24 November 2011

Kairano Krisnanda



Kai anakku

Setiap hari, setiap saat tak lagi papi pikirkan apa yang kurang dalam dirimu

Tapi papi nikmati pencapaian demi pencapaian yang nampak

Dalam perkembangan dirimu

Seringkali papi terharu melihat sikapmu

Sering menyambut papi di depan pintu ketika pulang, mengantar juga ketika papi pergi

Memeluk mesra bukan sekali dua kali

Sering mengajak papi main gitar dan menyanyi “happy ya ya….”

Dan kamu diam memandang dengan serius

Kamu istimewa… anakku

Ada keunikan dalam dirimu yang tak dimiliki semua anak

Meski juga ada tak kaupunyai yang anak lain miliki

Bahkan dalam segala ketakutanmu, Kai tetaplah istimewa

Semua anak unik maka tidak bisa dibandingkan

Tidak ada anak yang tidak sempurna

Semua anak sempurna karena diciptakan dalam segala ketelitian

Yang ada adalah different able (kemampuan yang berbeda)

Papi tak lagi melihat sosok Kai

Yang papi lihat Pribadi pencipta kai

Dengan apa yang ada dalam segala keterbatasan

Dirimu mencerminkan Pribadi yang tak terbatas itu

Penciptamu sangatlah sempurna

Demikian juga dirimu… sempurna dalam menyatakan kemuliaanNya

KeindahanNya tak terhalangi dengan apa yang ada

Justru membuktikan kekayaan kreativitasNya

Kai

Papi, mami, kakak-kakak menyayangimu

Yang kami nanti selalu dan rindukan

Keindahan karya Tuhan apa lagi yang akan dinyatakan dalam dan melaluimu

Yang membuat kami bersyukur dan memujiNya

Tengah malam, 11 september 2011

kegelisahan jiwa

Perahu itu telah melesat terbang melintasi awan
membuka sayapnya memanggil-manggil
diiringi kunang-kunang malam
menebarkan cahaya sejuta sinar
mengusir segelintir kupu-kupu

sekelebat bayangmu meraba mataku
mengurai senyum sekelumit
mencoba meraihku dalam kejauhan
aku terpana..
dua jiwa dalam satu raga, ah gelisahku
tak tahu mengapa
entah kemana
aku melesat merana
tak mampu berbuat apa-apa

ah kegelisahan jiwa

(purwokerto, April tengah malam)

Dengan kasih sayang dan ketekunan

Saya mengingat masa kecil saya yang selalu memberi inspirasi sekaligus dorongan kepada saya terutama ketika menghadapi keadaan yang sulit.

menurut cerita dari ibu. Saya dilahirkan secara normal dan bertumbuh seperti anak-anak lain seusia saya pada waktu itu. namun pada waktu usia 16 bulan tiba-tiba badan saya panas dan itu ternyata gejala dari penyakit polio. lalu kemudian kaki saya lumpuh . betul-betul kemudian saya tidak dapat berjalan.

ibu kemudian membawa saya untuk diterapi di YPAC solo dan ada jadwal saya dilatih secara rutin. terapis fisoterapi yang menangani saya saat itu adalah Om Siahaan (demikian saya memanggil beliau). beliau sangat baik sekali dan telaten melatih saya.

untuk menuju ke tempat terapi tersebut ibu saya menggendong saya dengan berjalan kaki (kira-kira jarak rumah-tempat terapi sekitar 10 Km) dan itu dilakukan pulang pergi. Di tengah jalan karena kecapaian ibu beristirahat dan sering diberi minum dan makanan oleh orang-orang yang merasa iba melihat kami.

suatu hari kami diantar oleh adik ibu (om), ketika perjalanan pulang kaki saya yang lumpuh itu masuk ke jeruji sepeda belakang dan sampai terluka berdarah. namun ibu dan om tidak menyadari, lalu ada orang melihat dan memberitahukan kondisi tersebut. Kata ibu saya tidak menangis pada waktu itu.

suatu hari ibu tidak membawa saya untuk terapi lagi dan itu membuat om Siahaan bertanya-tanya. lalu beliau pergi ke rumah kami untuk mencari tahu kenapa saya tidak di terapi lagi. Ketika berjumpa dengan om Siahaan, ibu hanya menangis. lalu om Siahaan mengatakan “oh ya aku tahu, besuk tetap datang aja ke terapi tapi anakmu akan diterapi paling akhir”. artinya om Siahaan memahami kalau ibu tidak punya uang untuk membawa saya terapi lagi. kami memang dari keluarga miskin, apalagi ayah sudah tidak bersama kami ketika saya berada dalam kandungan. sering untuk pergi terapi, banyak bantuan keuangan yang didapat dari saudara. lama-lama ibu sungkan.

entah bagaimana perasaan ibu saat itu, tapi kemudian esoknya saya dibawa terapi lagi dan menunggu antrian paling akhir. sejak itu om Siahaan tidak pernah menerima bayaran dari ibu saya, bahkan kadang kami diantar pulang oleh om Siahaan dengan naik vespa. Betapa baiknya om Siahaan itu.

itu berlangsung selama beberapa tahun, dan akhirnya saya bisa berjalan tanpa bantuan alat penolong meski tidak sempurna.

dari pengalaman ini, membuat saya menyadari bahwa ini bisa terjadi karena kasih sayang Tuhan, ibu dan om Siahaan dan orang-orang yang banyak menolong kami. selain itu berkat ketekunan ibu yang mengupayakan saya di terapi meski harus belelah-lelah menggendong saya. berkeringat, kepanasan, menanggung malu dan sungkan karena menerima belas kasihan orang.

di sisi lain ada andil om Siahaan yang mau menyediakan waktu dan tenaganya untuk melatih saya bahkan tanpa dibayar sepeserpun. Saat ini saya merindukan untuk bertemu beliau, meski hanya ingin mengucapkan terima kasih saja. Saya tidak tahu dimana beliau berada. Saya bertemu beliau di rumahnya di Jakarta ketika saya masih kecil tapi saya tidak tahu itu di daerah mana.

pelajaran yang saya dapatkan : tidak putus asa ketika menghadapi kesulitan, terus mengupayakan apapun untuk bisa mengatasi persoalan itu dan siap menanggung apapun dari proses perjuangan itu. dengan kasih sayang, ketekunan dan kesabaran, berharap semua dapat diatasi.

selain itu, kerelaan untuk berbagi dan berkorban bagi orang lain yang membutuhkan pertolongan akan sangat besar artinya. Semoga saya selalu punya kesempatan untuk berbagi hidup saya pada orang lain karena saya sudah pernah ditolong juga.

saya tidak bisa membayangkan, kalau seandainya tanpa itu semua maka saya tidak tahu bagaimana keadaan saya atau bahkan mungkin saya tidak bisa berjalan sampai saat ini.

Pada tanggal 22 Desember tepat pada hari ibu, saya ingin menyatakan rasa hormat saya pada ibu dan terima kasih. Kalau seandainya dulu ibu tidak tekun dan dengan kasih sayang menggendong saya untuk mendapat terapi, entahlah apa yang terjadi dengan diri saya. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih dan selamat hari ibu.

Menulis Seumpama Menyimpan Uang di Bank

Suatu hari saya mengantar anak saya ke bank untuk menabung, uang hasil dari pemberian orang lain dan hadiah yang didapatkan dari menang lomba mewarnai. Saya pikir ini akan mengajar anak saya sejak dini rajin untuk menabung dan siapa tahu kelak uang di tabungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan di masa yang akan datang.

Namun saya jadi terpikir bukankah menulis juga seperti menabung di bank. Ketika kita menulis biasanya itu merupakan hasil dari ungkapan pikiran dan perasaan kita tentang apapun yang kita jumpai sehari-hari baik yang kita alami sendiri atau orang lain. Ketika kita berkesan dengan suatu pengalaman itu maka muncullah ide. Setelah itu mungkin kita akan mencoba menuangkan ide tersebut dalam cara menulis.

Pada saat kita mulai menulis maka kita sedang menyusun kata demi kata, kalimat demi kalimat sehingga terbentuklah sebuah cerita bisa fiksi atau realita. Tulisan-tulisan ini lalu disimpan di arsip atau dituliskan dalam sebuah blog maka secara tidak langsung kita sedang menyimpan data, sejarah, pengalaman, kejadian dan sebagainya.

Apabila kita membutuhkan data tersebut maka kita bisa mengambilnya kembali, ini sekaligus menjadi alat pengingat kita yang mau tidak mau dengan bertambahnya usia akan makin banyak hal yang terlupakan. Maka dengan menulis, kita sebenarnya seumpama menyimpan uang di Bank. Semua tersimpan dengan aman dan rapi, kapanpun kita membutuhkan, siap untuk diambil.

selamat terus menulis

Pwk, 7 juni 2011

Pembantuku, sayangku..

Tak disadari betapa berartinya keberadaannya selama ini. Sudah lama tidak terasa tersambung ikatan batin yang sangat dalam. Ikatan yang hanya dirasakan di dada yang melampaui akal. Hubungan khusus antara majikan dan pembantu. Hal itu nyata terasa dalam kebersamaan : makan bersama, curhat, mengerjakan pekerjaan rumah bersama bahkan kadang tidur bersama.

Namun ketika dia pergi, pulang ke rumahnya dan tidak menjadi pembantu lagi. Rumah ini menjadi sepi. Terasa ada yang hilang dan terkoyak dari hati. Maka tidak tahan dan menangislah dalam sepi hati sang majikan yang merana kesepian itu.

Kisah nyata tersebut dialami oleh seorang teman saya (perempuan) baru-baru ini. Dia malam-malam SMS ke HP saya dan menceritakan kalau dia merasa kesepian setelah pembantunya keluar kerja. Pembantu itu (sebut saja, mbak Inah) sudah lebih dari 20 tahun bekerja di rumahnya. Dia sangat setia mengabdi dan menjadi orang yang mengurusi segala pekerjaan di rumah. Meskipun kadang gajinya dihutang dulu oleh orangtua teman saya tadi dan baru diberikan kalau lagi butuh. Setiap hari sering di rumah sendiri kalau pagi sampai sore karena tuan rumahnya bekerja seharian bahkan sampai malam.

Kembali ke teman saya tadi. Karena mbak Inah sudah lama tinggal di situ maka terjalinlah rasa kedekatan secara manusiawi antara teman saya tersebut dengan mbak Inah. Kedekatan itu tentu dapat dimaklumi karena ke dua orangtua teman saya tersebut memiliki usaha dan pulangnya sampai malam hari. Otomatis suasana di rumah sangat sepi dan hanya dia dan mbak Inah yang ada. Bila teman saya tersebut pulang kerja yang dijumpai cuma mbak Inah. Baru setelah orangtuanya pulang, dia bisa bertemu dan makan bersama. Namun kadang orangtuanya setelah sesampai di rumah, sibuk urusan sendiri-sendiri dengan nonton TV. Yang satu lihat TV di kamar, yang lain lihat TV di ruang keluarga. Tidak jarang juga orangtuanya bertengkar.

Hal-hal ini membuat teman saya tersebut tidak nyaman. Rumah seharusnya menjadi tempat nyaman untuk berkomunikasi antar anggota keluarga setelah seharian sibuk dengan pekerjaan namun justru semuanya itu tidak dia alami. Media hiburan televisi justru menjadi salah satu perusak hilangnya komunikasi keluarga itu.

Sebagai manusia tentu membutuhkan interaksi dengan orang lain. Tak memandang status sosial atau latar belakang apapun, kita tidak bisa hidup dan menanggung masalah sendiri. Bisa saling berbagi (curhat) apalagi dengan anggota keluarga akan sangat menyehatkan secara jiwa. Bila ada yang “menampung” ketika kita sedang mengalami tekanan masalah, maka kita akan terhindarkan dari kemungkinan sakit jiwa.

Kesepian sudah menjadi momok di masyarakat modern sekarang ini. Kesibukan, alat-alat komunikasi, media dan sebagainya dapat menjadi alat yang efektif untuk menghancurkan jiwa manusia bila manusia tidak bijaksana menggunakannya.

Bagi teman saya yang adalah majikan, tidak menjadi persoalan dengan siapa dia bisa curhat dan diterima termasuk dengan mbak Inah, pembantunya. Yang penting dia nyaman dan lega. Itu kebutuhan esensi manusia.

Maka ketika mbak Inah yang selama ini menjadi teman curhatnya “pergi” maka menangislah ia. Pembantuku, sayangku..

Juni, 8 Juni 2011

Tiga Anak Panah Saya

Saya makin menyadari sekarang ini. Memiliki tiga anak panah memperluas cakrawala saya dan ruang di hati saya. Itu juga membuat saya mengagumi Sang Pencipta yang kreatif dan Mahakuasa. Setiap hari makin menikmati perkembangan mereka. Ternyata mereka memang memiliki keunikan masing-masing. Bersyukur kalau saya bisa mempunyai lebih dari satu anak panah sehingga bisa menjadi pembanding satu dengan yang lain secara positif.

Meskipun tiga anak panah saya itu berjenis kelamin laki-laki semua, namun mereka tetap memancarkan keberbedaan.

Kekhasan itu dapat terlihat dari fisiknya : yang sulung, wajahnya sering dikatakan mirip dengan ayahnya, badannya besar, kulitnya hitam, rambutnya lurus hitam lebat. Yang tengah, wajahnya persis ibunya, badannya kurus kecil (ketahuan mengalami bocor jantung ketika berusia tiga bulan dan kena flek lalu diobati selama enam bulan), kulitnya agak hitam, rambutnya ikal rapi. Sedangkan yang bungsu, wajahnya campuran ayah dan ibunya, badannya besar tinggi, kulitnya putih, rambutnya ikal.

Kepribadiannya juga unik : anak panah yang pertama, tegas, keras, nuntut sempurna kadang kaku. Anak panah yang ke dua, cuek, kadang maunya sendiri, ceplas ceplos bahkan berani menegur ayahnya bila ada yang tidak di sukai. Anak panah yang ke tiga, sampai umur dua tahun ini belum berbicara, mudah merasa tidak aman, mudah menangis di suasana yang tidak dikenali.

Dalam hal makan. yang paling besar, sangat suka makan (apapun) bahkan sering berlebihan. Yang nomer dua, tidak suka makan terutama nasi, sayur dan sejenisnya kecuali roti dan biscuit. Yang paling kecil, juga suka makan tapi belum banyak menguyah.

Mengingat hal demikian, memang tidak mudah bagaimana memperlakukan ke tiga anak panah saya ini yang unik. Tentu tidak sama perlakuannya dan pendekatan yang dilakukan untuk membimbing mereka. Namun biarlah kami (saya dan istri) terus belajar untuk menemani mereka bertumbuh. Mereka bukan sekedar anak namun juga sebagai guru yang justru melatih kami untuk bertumbuh dalam karakter yang makin lebih baik.

Terutama kami menyadari peran kami hanya sebagai “busur”, biarlah ke tiga anak panah kami akan diarahkan mencapai sasaran yang oleh Sang Pemanah sesuai keinginanNya. Biarlah kami bekerja sama dengan Sang Pemanah untuk bergerak, melentur dan mengarah dengan fokus pada sasaran. Semoga.

Pilihan yang Sulit: Anak atau Pekerjaan? (Renungan Batin - orang tua & anak - 3)



beberapa hari lalu saya berkesempatan untuk memandang dua kakak beradik laki-laki yang sedang bermain air di depan rumahnya, tepatnya di teras rumah. Mereka mengguyur lantai teras itu dengan air lalu menyapunya. Setelah beberapa saat mereka mandi di bawah kran air depan teras itu sambil masih memakai baju lengkap.

Saya terus memperhatikan mereka. Sang kakak kemudian meminum air kran itu beberapa teguk lalu bermain ria-lah mereka dengan air itu sambil tertawa. Sang adik menyemprot kakak lalu dibalas oleh sang kakak, demikian serunya. Entah berapa liter air tertumpah karena ulah mereka.

Sambil memandangi mereka saya sebenarnya bertanya-tanya kenapa pembantunya tidak ke luar rumah dan menghentikannya. Mereka seperti dibiarkan dan tidak ada yang memperhatikan.

Ternyata dalam beberapa menit kemudian saya mendengar rengekan anak kecil yang lain di sebelah rumahnya yang sedang berbincang-bincang dengan pembantunya. Si pembantu mengancam akan memasukkan anak itu ke dalam dus dan mengirimnya ke orang tuanya yang tinggal di kota lain. Anak tersebut tidak mau lalu dia diam. Anak itu memang tinggal bersama pembantunya dan tidak mau tinggal dengan orang tuanya.

Kakak beradik tersebut memang diasuh oleh pembantu sehari-harinya karena ke dua orang tuanya bekerja dari pagi hingga sore hari. Setelah orang tua bekerja otomatis mereka hidup dengan pembantunya. Mereka pergi, main atau berbuat apapun seringkali tanpa pengawasan. Bahkan anak satunya, betul-betul terpisah dengan orang tuanya.

Saya tidak tahu pasti apa alasan orang tua mereka bertindak demikian terhadap anak-anak mereka. Bukankah anak-anak itu membutuhkan perhatian dan pendampingan dari orang tuanya dan tidak bisa tanggung jawab itu diserahkan pada pembatunya semata-mata.

Dua kejadian nyata tadi memberi pelajaran penting bagi saya. Anak-anak tidak hanya membutuhkan materi tapi juga kasih sayang, perhatian dan berkomunikasi dengan orang tuanya. Anak-anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dirawat orang tuanya dan kelak harus dipertanggungjawabkan kembali kepada Si Pemilik mereka.

Berapa banyak anak yang “terluka” karena mereka tidak lebih penting dibanding pekerjaan, kesibukan, uang dan lainnya di mata orang tua mereka. Berapa banyak anak yang kemudian menjadi pembrontak karena kebutuhan untuk diperhatikan. Dan tidak sedikit anak yang kemudian menjadi orang-orang yang “kehausan” kasih sayang dan mencarinya pada tante-tante girang atau om-om hidung belang.

Selain itu sangat beresiko bila anak tanpa pengawasan orang tuanya. Bagaimana dengan nilai-nilai yang akan ditanamkan kepada si anak bila pembantunya yang mengurus sehari-hari? didikan macam apa yang akan diterima si anak?

Bukankah kita sering mendengar ada anak yang dibiarkan terus nonton TV sedangkan si pengasuhnya sibuk SMS, ber-telp ria dan berpacaran dan sebagainya. Bahkan ada anak yang diberi obat tidur supaya pengasuhnya bebas melakukan yang disukainya. Ada juga anak yang sudah sedemikian lengketnya dengan pengasuhnya, maka apabila pengasuhnya pergi maka dia akan menangis untuk ikut atau mencarinya, tapi bila ibunya yang pergi, dia diam saja. Itu sesuatu yang wajar, anak akan merasa dekat dengan orang yang peduli dan dekat padanya.

Seringkali karena alasan ekonomi ibu-ibu "terpaksa" harus bekerja di luar rumah, kalau tidak maka kebutuhan keluarga tidak terpenuhi. ini pilihan yang sulit.

Tentu persoalannya bukan pada ibu harus bekerja atau tidak bekerja. Karena banyak juga ibu-ibu yang tidak bekerja alias hanya sebagai ibu rumah tangga biasa namun tetap tidak melakukan peran dalam mendidik anak dengan baik. yang mereka lakukan justru : membicarakan orang lain, pethan (mencari kutu), nonton sinetron, tidur dan sebagainya.

Namun ini bisa menjadi pemikiran :

apakah ibu-ibu tidak bisa mengambil pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah sambil merawat anak-anak?

Bila harus bekerja, cari orang yang sangat dipercayai untuk menjaga si anak di rumah dan membuat kesepakatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan si pengasuh. dan Bila ada kesempatan istirahat, bisa pulang menengok dan mengusahakan sering komunikasi dengan si pengasuh dan anak. Sesampainya di rumah maka anak harus segera menjadi tanggungjawab orangtua, demikian juga ketika orangtuanya libur.

Bila ibu harus bekerja, cari penitipan anak yang baik (bila tidak ada pembantu)

Mungkin terus memikirkan supaya bisa maksimal mengasuh anak terutama dibawah usia 8 tahun. itu usia emas.

Seberapa Besar Nilai Satu Nyawa



Minggu malam lalu saya bersama dengan teman-teman menengok salah satu anggota keluarga dari teman saya yang sedang dirawat di rumah sakit karena stroke. Kami tidak bisa masuk ke ruangan tempat pasien itu dibaringkan karena dia ditempatkan di ruang ICU. Apalagi si pasien dalam keadaan tidak sadar. Katanya ada pembuluh darah di kepala yang pecah. Peristiwa itu begitu cepat, sebelumnya kelihatan baik-baik saja tapi kemudian mendadak begitu.

Saat berbincang-bincang dengan anggota keluarga pasien, dia mengatakan sesuatu yang membuat saya kaget dan sedih. Dia mengatakan kalau pagi itu ketika dokter melakukan pemeriksaan lalu si dokter memberitahu perawat jaga supaya memberikan obat tertentu, namun sampai sore harinya obat itu tidak pernah diberikan ke pasien. Ketika pihak keluarga menanyakan menanyakan hal tersebut, perawat dengan tidak enteng dan tidak merasa bersalah menjawab bahwa di apotik sedang antri sehingga telat.

Pada keesokan harinya, saya mendapat SMS dari seorang teman dan memberitahukan kalau pasien itu telah meninggal. Wah campur aduk rasanya hati ini.

Memang nyawa setiap orang ada di tangan otoritas Tuhan. Namun, tidak bisa dipungkiri pertanyaan ini akan mengusik : kalau seandainya obat itu diberikan kemarin, apakah akan tetap sama kejadian berikutnya yang terjadi? sepertinya dia hanya mengantar nyawa dan untuk itu juga harus membayar sejumlah uang tertentu. ironi sekali.

Saya sekeluargapun pernah mengalami kondisi ini, dimana dokter spesialis memberi diagnosa salah dan memberi obat yang justru akan memperparah sakit anak saya. Dokter tersebut kurang teliti membaca data lab. Untungnya saya konsultasi dengan teman-teman dokter-dokter lain dan ketahuan kesalahannya. Semoga hanya keluarga saja yang mengalami kondisi ini. Bagaimana kalau ada pasien yang miskin dan tidak bisa melakukan “second opinion”? pasrah pada keadaan?

Apakah ini akan terus demikian terjadi dengan rumah sakit dan pekerja-pekerja kesehatan? tentu tidak dalam semua kasus. Masih banyak rumah sakit dan tenaga-tenaga kesehatan yang sangat baik dan memiliki visi mulia yang orientasinya tidak hanya bisnis semata. Tapi memiliki hati nurani yang berbelas kasihan pada sesama manusia, meskipun itu satu manusia bahkan gelandangan sekalipun.

Semoga tidak ada putus harapan, kiranya makin banyak tenaga-tenaga kesehatan yang baik hati, punya visi mulia dan pinter. Demikian juga banyak rumah sakit yang tidak pernah menolak dan menelantarkan orang miskin berobat. Karena nilai satu jiwa itu berharga karena dia diciptakan sesuai citra Sang Pencipta.

Senin, 21 November 2011

Desah luka seorang laki-laki (Renungan Batin – Suami & istri - 2)



Telah lama kubiarkan diriku diam dalam kelu. Bagai seonggok daging tak bernyawa. Tak terasa tubuh raga ini menyusut larut seirama jiwa. Yang ada sekarang hanyalah nyanyian sunyi. Yang tertinggal hanya rintihan sepi dalam hati. Desah sepi seorang laki-laki muda yang terluka.

Bagiku sekarang tak ada hari-hari. Matahari terbit dan terbenam bukanlah berbeda. Siang malam hujan panas semuanya sama. Terang gelap tidak lagi berarti bagiku. Ya bagiku…semaunya gelap dan sunyi.

Namun ingatan itu tidak pernah bisa hilang. Meski sudah kucoba untuk mengusirnya. Mungkin karena peristiwa itu begitu berkesan bagiku. Saat yang melumpuhkan hidupku. Menjadikan semuanya yang indah, hancur berantakan. Titik itu sangat menyakitkan… menikam sampai jantung. Menimbulkan luka yang menganga.

Bagaimana aku bisa lupa. Tatkala kamu, belahan jiwaku sendiri sudah berlaku seperti itu. Pergi dengan laki-laki lain dan meninggalkanku. Tanpa pesan, tanpa pamit dan tiada berita lagi. Sekarang entah di mana kamu berada. Hilang seperti ditelan bumi. Mengapa kamu begitu tega?

Masih segar dalam benakku. Saat kamu sebagai bunga desa ranum semerbak baunya. Batapa banyak kumbang ingin menghampirimu. Tak sedikit mereka beradu kelebihan untuk mendapatkan perhatianmu. Namun entah apa sebab, aku yang kamu pilih. Dulunya aku tidak berani terang-terangan menyatakan perasaanku. Terlalu muluk rasanya bila mendapatkanmu saat itu, bagiku. Bagai pungguk merindukan bulan. Wajahmu manis. Rambutmu hitam memanjang. Putih lembut kulitmu. Sedangkan aku..jauh sekali padanannya.

Masih dalam tanya. Namun satu hal yang pasti. Kita mengarungi bahtera rumah tangga bersama. Aku menikah dengan seorang gadis yang menawan. Kunikmati masa-masa kita berboncengan sepeda. Kemana-mana bersama dengan tawa meski kadang ada air mata. Bertahun-tahun merajut cinta, lahirlah buah-buah cinta kita.

Kini…semuanya tinggal hanya kenangan. Bahkan tak lagi aku ingin mengenangnya karena terlalu pahit. Anak-anak tak pernah mengerti dimana ibunya berada. Mereka tak tahu apa yang terjadi, yang menyebabkan sumber ASI mereka tak lagi di sisi. Mereka membesar tanpa sentuhan kasih sayang seorang ibu lagi. Mereka berkembang bahkan tanpa perhatian dan tanggungjawab orangtua mereka, karena aku sendiri sebagai ayah mereka, tidak lagi mampu untuk menopang bahkan hidupku sendiri. Kami hidup dari belas kasih orang dan keluarga besar kami.

Mungkin aku memang salah. Kenapa aku harus menikah dengan kamu? Kenapa aku tidak bisa menjadi laki-laki tegar? Kenapa aku terpuruk, bukankah ada anak-anak yang harus aku rawat? Bukankah aku masih muda dan bisa menikah lagi? Entahlah..aku tidak tahu.

Semuanya sudah berjalan bertahun-tahun seperti demikian. Tak terasa rambutku sudah mulai beruban dan kubiarkan memanjang, tak terurus. Tak peduli orang mau menilaiku apa, mereka mungkin sudah menganggapku gila. Namun aku tidak gila. Mereka mungkin menyalahkan aku. Atau ada juga yang menghujat istriku. Di luar sana, orang bisa bebas menilai. Namun apa yang terjadi, semuanya hanya dipahami di dada ini..ya dihatiku sendiri.

Istriku..
Memang faktanya kamu masih berstatus sebagai istriku. Kita tidak pernah bercerai. Surat nikah itu masih ada, tersimpan rapi dibawah pakaian di dalam lemari kita. Mungkin aku telah berbuat salah kepadamu, kalau ya maafkan aku. Namun tentu kita bisa bicarakan bersama, tidak dengan cara seperti ini.

Istriku..
Aku sangat sakit. Apakah kamu mengerti dan merasakan bagaimana dikhianati? Apakah kamu bisa merasakan pedihnya hati ini di saat kamu tertawa gembira dalam buaian asmara di sana? Tidakkah kamu peduli, mungkin tidak kepadaku, namun kepada anak-anak kita yang tidak berbuat salah padamu? Anak-anak yang kamu lahirkan dari rahimmu sendiri.

Istriku...
Sekarang bukan lagi aku menangisi nasibku, biarlah kutanggung semuanya ini sendiri. Yang aku tangisi bahkan kusesali adalah gadis mungil kita yang mewarisi kecantikan wajahmu yang sudah bertumbuh remaja, sekarang tidak lagi di sini. Entah meniru aku atau tak tahan menanggung derita ini. Jiwanya tergoncang. Dalam kondisi seperti itu, masih banyak orang-orang yang tega merampas seluruh tubuhnya. Sekarang dia pergi entah kemana, menggelandang di jalan-jalan. Kita orangtuanya tidak bisa menjaganya. Maka lengkaplah seluruh deritaku..adakah mentari esok hari yang tidak penah kutunggu.

(Untuk seorang teman di sana-“semoga ini mewakili perasaanmu”)

Minggu, 20 November 2011

Heart to heart (Renungan Batin – orang tua & anak - 2)



Anakku..
Marilah kita berperkara. Ini adalah urusan kita sendiri. Antara ayah dan anak. Marilah kita bersama, berkata-kata, berpetualang dalam aneka penemuan, kita keluarkan semua rasa di dada dan biarkan kita merenung yang membuat kita makin dewasa. Ya inilah saatnya Heart to heart.
...
Bermula kita berdua naik kereta menuju kota dimana ayahmu dulu dilahirkan dan dibesarkan. Selain karena ada kepentingan tugas ayahmu di sana. Namun kepergian kita berdua ini memang sudah orang tuamu rencanakan sebelumnya.
Aku ingin mengajarimu melihat dunia yang lebih luas. Ada banyak hal yang bisa kamu jumpai di dunia ini.

Di kereta ekonomi kamu bisa mengetahui bermacam-macam orang : pedagang asongan, pengamen, pengemis buta atau cacat, penyapu lantai, penumpang, kondektur dan sebagainya. Itu semua kamu mengerti betapa sulitnya orang mencari makan dan masih banyak orang yang hidupnya miskin, apa yang bisa kita perbuat untuk orang-orang seperti mereka?

Anakku..akan kuajak kamu menyusuri rumah dimana ayahmu dulu tinggal dengan sejarah ayahmu dulu yang pernah mengecap “kekelaman”. Ayahmu dulu pernah merasakan betapa sulitnya menjadi orang yang miskin. Ayahmu juga pernah merasakan kerasnya pergulatan hidup untuk menjadi seorang “manusia” supaya diterima orang lain. Dengan berbagai cara termasuk dengan kenakalan remaja saat itu. Ayahmu punya masa lalu dan semua itu menjadi catatan dalam perjalanan hidup ayahmu.

Kamu juga melihat bagaimana tangan lembut nenekmu dan menjadi tangan “batu” untuk mencari nafkah dan menghidupi anak-anaknya termasuk ayahmu ini. Kamu melihat keuletannya dan pantang menyerah.

Berharap semua itu terekam dalam memorimu. Biarlah yang kamu pahami, bahwa oleh kemurahan Tuhan semata ayahmu ini sekarang bisa menjadi ayahmu dalam keadaannya yang seperti sekarang ini. Oleh pertolongan dan teladanNya, ayahmu ini bersedia dan bertekad akan terus melakukan tanggungjawab “ke-ayah-an”. Allah ayahmu itu hidup dan memelihara ayahmu hingga saat ini dan nanti.

Dalam kebersamaan hanya dua hari ini, sudah banyak pelajaran yang dibagi dan didapatkan. Ayahmu ini juga merasakan bahwa kamu adalah anakku. Ketika kamu menciumku, memelukku dan memijitku. Yang kurasa itu sentuhan seorang anak terhadap ayahnya. Dan saat kamu baringkan kepalamu dipangkuanku, kubelai rambutmu dan terasa belaian ayah terhadap anaknya. Mengapa semua jadi terasa demikian kuat saat ini? Mengapa relasi ini begitu sangat berkesan saat pergi berdua ini? Karena saat ini semua keberadaanmu tergantung padaku, maka yang terjadi semua reaksi “ke-ayah-an” bergejolak untuk disalurkan.

Di sisi yang lain, ayahmu ini menemukan bahwa kamu memang masih anak-anak. Aku selama ini tidak menyadari sehingga menuntutmu bersikap, berkata dan berperilaku melebihi usiamu. Yang terjadi kamu frustasi dan ayahmu ini juga frustasi. Ayahmu harus terus belajar tahapan perkembangan seorang anak. Bila demikian, akan kunikmati segala polahmu yang mencerminkan itulah dunia kanak-kanak, tentunya bukan hal yang sengaja kamu lakukan untuk berbuat dosa.

Dari hati ke hati, ayahmu mencurahkan pikiran dan perasaan padamu untuk apa yang ayahmu pesankan padamu. Nilai-nilai yang ayah bagikan padamu.

Dari heart to heart pula kamu bebas menceritakan apapun pada ayahmu ini. Bisa mengeluh, mencandai, menegur, meminta, mengadu dan sebagainya.

Ini antara kita. Antara ayah dan anak.

Jumat, 18 November 2011

Jangan Aniaya Aku (Renungan Batin-suami &istri - 1)



Kemarin aku melihat pemandangan yang membuat hati terasa miris. Dari kejauhan, berlawanan arah dari mobilku yang melaju, kulihat seorang ibu muda sedang berlari seraya menggandeng anaknya laki-laki. Nampak terlihat wajahnya agak takut dan berusaha untuk menyelamatkan diri. Sedangkan dari arah belakang, terlihat seorang laki-laki bercelana pendek mengikutinya dengan mengendarai sepeda motor.

Mobilku terhenti dan membiarkan pandanganku terus mengikuti adegan yang aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ibu muda dan anak laki-lakinya membelok ke arah gang. Tepat sekali aku melihatnya dari balik kaca mobil. Laki-laki yang mengendarai motor itu mendekati si ibu dan menarik kerudung kepala (jilbab) yang dikenakan si ibu itu lalu memukulnya. Si ibu dan anaknya berusaha meronta dan terus berlari mnyelamatkan diri. Laki-laki itu terus mengejarnya dan penganiayaan masih berlangsung di dalam gang yang orang sering berlalu-lalang di sana. Aku terhenyak. Tidak menyangka akan melihat peristiwa seperti ini.

Sebagai laki-laki aku marah dan tidak terima dengan perlakuan itu, meskipun aku tidak tahu duduk persoalannya. Layaknya yang lemah ditindas semena-mena oleh yang kuat. Namun aku juga bingung, tidak mengerti apa yang harus aku lakukan terhadap mereka. Aku takut ada salah paham, jangan-jangan itu memang masalah rumah tangga mereka dan saya dituduh terlalu ikut campur tangan rumah tangga orang lain bila saya mencoba berbuat sesuatu.

Sembari menyetir, pikiranku terusik dengan kejadian itu. Apakah mereka suami istri dan sedang bertengkar? Apakah suaminya itu marah dan sampai menganiaya istrinya karena memang istrinya itu sudah keterlaluan?

Ada banyak pertanyaan yang berkembang dalam benakku. Namun dalam renunganku pribadi, apakah dilayakkan seorang suami memukul dan menganiaya fisik (apapun) terhadap istri bila terjadi pertengkaran? Apakah terhormat dan merasa hebat seorang laki-laki dengan kekerasan untuk menundukkan seorang perempuan? Apakah hal itu juga efektif untuk membuat seorang istri akan baik bila seandainya sang istri berbuat kesalahan? Kalau memang benar mereka sedang konfilk rumah tangga.

Rasanya sulit diterima, dulu sebelum menikah disayang-sayang bahkan mungkin dipuja-puja setingginya. Namun setelah menikah, dengan mudahnya menggunakan kekerasan sebagai jalan keluarnya. Tidak lagi mengingat masa lalu. Jangan-jangan memang laki-laki itu memiliki kebiasaan suka marah dan menyalurkannya secara tidak sehat alias dengan memukul. Hal itu harus menjadi pelajaran bagi gadis-gadis bila akan menikah dengan seorang pria yang punya pola seperti ini.

Apalagi tindak kekerasan seperti ini terjadi dihadapan anaknya. Bagaimana reaksi si anak melihat kedua orang tuanya bertengkar dan melihat ibu yang telah mengandung dan melahirkannya sekarang diperlakukan demikian oleh ayahnya sendiri. Tentu ini akan menimbulkan “luka” yang serius terhadap si anak. Dia akan dibayangi perasaan tidak aman. Timbul juga perasaan marah dan benci terhadap si ayah yang mungkin saja kelak akan dibalaskan oleh si anak.

Dan juga tidak kalah seriusnya, pola kekerasan seperti ini akan terulang dan menjadi contoh bagi si anak. Sungguh berbahaya bila dia dalam ketidaksadarannya dia memahami bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah harus dengan kekerasan supaya efektif.

Perlu disadari bahwa kekerasan melahirkan kekerasan. Orang terluka cenderung melukai orang lain. Orang yang kepahitan akan mudah membuat hati orang lain pahit.

Jangan pernah ada lagi kekerasan dalam rumah tangga. Berharap tidak ada lagi penganiayaan seorang istri oleh suaminya sendiri yang seharusnya menjadi pelindungnya. Semoga.

Kunikmati “kegaduhan” - mu (Renungan Batin-orang tua & anak - 1)



Setiap hari tidak pernah ada saat sepi. Teriakan, tangisan, rengekan, celotehan dari bibir-bibir mungil, mainan-mainan yang dibunyikan dan sebagainya. Berlarian, melempar-lempar benda, melompat-lompat kasur, memanjat kursi dan segala atraksi akrobat lainnya yang menambah hiruk pikuknya keadaan. Hal itu berlangsung dari membuka mata sa...mpai menutup mata kembali sepanjang hari. Hanya dalam kelelapan, suasana terasa hening.

Demikian juga dengan barang-barang yang ada, apalagi mainan, betapa mudahnya berantakan. Dalam beberapa saat ditata rapi, dalam sekejap pula semua tertata tak beraturan. Rasanya sulit untuk menikmati sesuatu terletak dengan rapi. Ada serpihan kertas, spidol, muntahan makanan, bekas tapak-tapak kaki kotor yang mongering di lantai, mobil-mobilan yang remuk dan seterusnya. Ada keinginan untuk merapikan dan menata semuanya supaya terlihat rapi, namun seringkali tenaga sudah habis terkuras dengan segala kepenatan sepanjang hari itu.

Kadang “petualangan” mu di dunia kecil ini sulit kami pahami. Di saat mengetik di komputer, tiba-tiba ada jari mungkin memencet tombor “power”nya, maka lenyaplah semua yang terpampang di depan mata apalagi semua data belum ter “save”. Padahal merangkai kata tidaklah mudah. Kadang pula, kamu mendekat dan minta dipangku di saat sedang sibuk menulis atau mengerjakan sesuatu.

Lain waktu, dibongkarnya mainan yang baru saja di beli. Alasanmu karena ingin mengetahui apa isinya. Kadang di saat api menyala di kompor, di cobanya memasukkan kertas dan terbakar lalu berteriak-teriak ketakutan.

Belum lagi bila ada pertengkaran di antaramu karena merasa punya hak memiliki atau memakai mainan tertentu. Saling tidak mau mengalah. Saling mengadu ke papa mama. Kadang semuanya berakhir dengan tangisan salah seorang atau bersama-sama.

Tertambah lagi “kegaduhan” mu ditumpangi keriuhanku, menambah keramaian suasana. Reaksiku tidak selalu tepat. Aku bisa jengkel bahkan marah melihatmu berlaku demikian. Apalagi di saat aku sakit, ingin tenang, ingin sendiri dan segala “ingin” lainnya.

Namun dalam perenunganku, keadaan semua ini karena memang dunia mu adalah dunia bermain yang dipenuhi dengan segala rasa ingin tahu, kebebasan tanpa beban, keriangan. Dan juga, bukankah saat ini adalah fase pertumbuhanmu yang sangat cepat dimana sedang melatih semua gerak motorik kasar dan halus dan perkembangan kognitifmu.

Bukankah seringkali orang dewasa bisa banyak belajar darimu. Rasa ketertarikanmu pada hal-hal baru yang kadang sederhana, menikmati hidup hari ini tanpa terbebani dengan kecemasan pada masa depan, kepolosanmu tanpa takut penilaian orang lain dan sebagainya. Bukankah itu yang menjadi persoalan orang yang usianya jauh di atasmu, yang katanya lebih pinter dan berpengalaman.

Anak-anakku, silahkan kamu bermain dengan “kegaduhan” –mu saat ini. Karena kondisi ini akan cepat berlalu. Ada saatnya kelak aku bisa akan merindukan suasana gaduh dan ramai lagi. Waktu akan terasa cepat, dimana kamu akan punya dunia sendiri di luar sana. Jam sekolah yang “memaksa”-mu harus berlama-lama di sana. Teman-teman bermainmu di luar yang menarikmu untuk berekplorasi ke dunia yang lebih luas. Pacarmu dan kelak teman hidupmu akan membawamu pergi “terbang” lepas ke luar dari sarang.

Saat ini aku sering terganggu dengan rengekanmu untuk ikut kemanapun aku pergi, namun kelak aku bisa sangat ingin bahkan “memaksa”mu untuk ikut menemaniku namun…kamu tidak mau. Ah betapa sedihnya…

Jadi sekarang anakku, aku lebih memilih menikmati “kegaduhan”-mu saat ini. Karena sebenarnya hatiku memang merindukan kehadiranmu di sisiku meskipun kadang mengganggu. Aku hanya butuh belajar untuk mengatur emosi dan perasaanku sehingga menyesuaikan segala keadaan yang kuhadapi.

Anakku.. Terima kasih aku sudah bisa belajar.

Pwk, 18 Nov 2011

Rabu, 16 November 2011

Marvel..anakku



Tak terbayang dirimu berada di sana
Menyanyi dalam paduan suara
Menyerukan kidung puji dan puja
Kepada Dia yang adalah Bapa

Anakku..
Bukan prestasi yang menjadi tujuan utama
Atau kemenangan yang di depan mata
Tapi melakukan segala upaya
Untuk memberi yang terbaik bagi yang Mulia

Anakku…
Biarlah terus hidupmu dipenuhi kidung-kidung
Mengalir dari hati yang merenung
Penebusmu yang Agung
Kiranya namaNya selalu disanjung

Anakku..
Berdirimu bukanlah mewakili berdirinya papi
Tak juga sebuah perwujudan mimpi
Masa depan adalah milikmu sendiri
Apapun yang terjadi biarlah karena kehendak Ilahi

Anakku…
Kepuasanmu bukanlah akan menjadi siapa dan apa
Dirimu sudah menjadi ada
Karena identitasmu cukup tatkala dirimu berada
Dihadapan Allah dirimu menyapa…. ya Bapa

Anakku…
Biarlah papi dan mami menghantarmu ke suatu masa
Hingga saatnya dirimu melesat bersahaja
Membentangkan sayap terbang melintasi dunia
Menggapai maksud dari Sang Pengada

(papi dan mami)

Selasa, 15 November 2011

Aku sudah MEncemari dan DIcemari (Renungan batin - 10)



Ada seorang pemburu yang berpesan kepada monyet peliharaannya supaya menjaga setundun buah pisang yang telah ditemukannya di hutan. Setelah itu si pemburu pergi berburu lagi.

Sesaat si monyet menunggu dengan sabar , lalu perutnya mulai terasa lapar. Namun dia tidak mau pergi kemana-mana untuk mencari makanan karena harus menunggui pisang itu. Sekilas dia melirik buah pisang itu lalu menatapnya, hmh…ranum sekali. Warnanya kuning menandakan sudah sangat matang. Air liurnya mulai menetes..seleranya terpacu di dorong gejolak isi perutnya yang meronta untuk di isi.

Dia ingat pesan tuannya supaya tidak memakan pisang tersebut dan hanya menungguniya saja sampai tuannya itu kembali. Karena sudah tidak bisa menahan lagi, dia mulai meraba pisang itu. Ah..tidak apa-apa kan hanya memegangnya, bukan memakannya. Empuk. Lalu dia mulai mencium aroma buah itu, pikirnya tuanku tidak akan marah, kan hanya dicium. Nyam…nyam sedap harumnya. Lalu dia mulai maju, dipetiknya satu buah pisang itu dan dibuka kulitnya lalu dijilatnya…wah lezat sekali. Pikirnya, kan cuma dijilat dan tidak dimakan. Lalu karena keasyikan terus menjilat, pisang tersebut tiba-tiba tertelan. Dia kaget..dan takut. Namun sudah terlambat, pisang tersebut sudah masuk ke dalam perutnya. Tinggallah penyesalan dan dia harus mempertangggungjawabkan pada tuannya.

Kisah di atas ternyata tidak jauh berbeda dengan pengalamanku. Di saat menjadi mahasiswa seperti sekarang ini dan di usia yang masih banyak gejolak membara di dada ini, tidak sulit bagiku hanya untuk mendapatkan seorang pacar. Bermodalkan tampang yang agak lumayan dan rayuan-rayuan serta JAIM-JAIM dikit alias jaga image maka bisa saja ada gadis yang tertarik padaku, apalagi kalau gadis itu haus perhatian. Wah pasti ketangkep deh..

Mulailah aku berpacaran dengan seorang gadis. Dia lugu sekali. Hampir tidak terlihat ada polesan riasan di wajahnya kecuali bedak seadanya. Dia pintar dan nampaknya alim. Alasannya mau menjadi pacarku karena ingin mengubah aku, siapa tahu aku yang brandalan ini akan meniru hidupnya yang kelihatan rohani sekali.
Setelah sekian lama berpacaran dengannya, bukannya aku jadi berubah namun aku makin beringas. Cara berpacaran kami sudah sangat tidak sehat. Bisa dipastikan, sayalah yang memulai dan memaksanya. Pertama-tama dia menolak. Ketika kugenggam jarinya, dia segera menepis tanganku. Lalu kukatakan : “kan Cuma memegang tangan aja !” akhirnya dia oke.

Di lain waktu, ku belai rambutnya dan ia pun merasa agak risih. Kuyakinkan dia, itu hanya membelai saja. Dan ia setuju.

Tepat di hari ulang tahunnya, kubawakan sekuntum bunga dan kado istimewa buatnya. Kuucapkan selamat, lalu kucoba mencium pipinya..dia agak terkejut namun akhirnya luluh, kukatakan ini kan hari istimewa.

Tidak sampai di sana. Pendakian itu di mulai dari bawah dan sadar atau tidak sadar, keinginanku lebih tepat dorongan nafsuku adalah mencapai puncaknya. Dan itu memang terjadi, entah karena paksaanku atau karena dia sendiri mulai menikmati, maka kami berbuat itu.

Semuanya sudah terjadi. Aku sebagai laki-laki memang merasa bersalah, sepertinya tidak mampu mengendalikan diri. Kadang dipikiranku penuh dengan gambaran-gambaran yang kotor seperti yang sering kulihat di film-film kotor itu. Hal tersebut yang sering membuatku tak berkutik dan memaksakan kehendakku pada seseorang yang seharusnya kukasihi.

Bukankah dorongan ini berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kalau saya laki-lak (biasanya)i, dorongan itu seperti saklar lampu, bila di klik langsung menyala. Sedangkan perempuan (biasanya) seperti setrika, butuh proses menuju panas.
Aku sadar. Hal tersebut bisa terjadi karena mudahnya kompromi terhadap hal-hal yang dianggap kecil atau tidak apa-apa. Dari pegangan tangan, balaian, pelukan dan seterusnya.

Kini dia terpuruk dalam gelap. Sedih dan nestapa. Dan aku juga merasa bersalah. Aku telah MEncemari, demikian juga sebenarnya aku telah DIcemari oleh kelakuanku sendiri. Mungkin seandainya dulu kami tegas sejak awal, bahkan kalau perlu ketika aku dikuasai nafsu, pacarku mau menegurku bahkan menampar pipiku, mungkin bisa menolong. Tapi ya…

Pwk, 15 Nov 2011

Minggu, 13 November 2011

Dunia Maya (Renungan Batin - 9)



Kulihat fotonya yang tertampang sungguh sangat menawan. Parasnya cantik, kulitnya terlihat putih mulus, rambutnya hitam memanjang dan ditambah senyum menghias tatanan gigi yang rapi. Sekilas aku terpikat dengan gambar itu. Lalu aku membaca infonya, hmh…nampaknya pendidikannya juga cukup baik.

Tak seberapa lama kami mulai berkomunikasi meskipun via email dan facebook dan sebagainya. Akhirnya meningkat dengan menggunakan HP. Pesan-pesan sering terkirim dan tak jarang kami juga sering ber-telpun ria. Suaranya lembut manja. Wah tambah gemes rasanya. Aku senang dan menikmatinya, meskipun banyak menguras pulsa.

Perasaanku melambung membayangkan wajahnya ketika kami berkomunikasi. Ada rasa kangen ingin bertemu, suka, namun juga was-was apakah dia wanita yang seperti kubayangkan, tapi juga rasa minder apakah nanti dia mau menerimaku.

Akhirnya kami bertemu alias “kopi darat” setelah sekian lama berkomunikasi secara intensif. Kesepakatan ditetapkan saat dan tempat kami akan bertemu. Kami juga menyebutkan akan memakai baju warna apa masing-masing supaya memudahkan pencarian.

Saat itu tiba, mataku melayang menyusuri ruang makan itu. Setiap sudut kuperhatikan dengan seksama, Akhirnya mataku terhenti pada seorang gadis yang duduk sendirian di ujung belakang. Dia memakai kaos putih dan celana jeans. Aku segera menghampirinya dengan penuh semangat. Bayangan wajah yang kulihat di foto terus membayangi, nampaknya cocok walapun baru melihat punggungnya.

‘’hmm…selamat malam “ sapaku dengan ragu-ragu. Dia menoleh dan tersenyum menatapku. Hatiku berbunga-bunga.

“nggg….apakah mbak sedang menunggu seseorang?” tanyaku. Dia mengangguk pasti. Jantungku berdebar-debar…

“saya…apakah mbak yang bernama…?” kenalku sambil mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Wajahnya agak terkejut dan ia menggelengkan kepalanya. “maaf, anda salah orang mas” deg..beberapa detik buyar konsentrasiku.

Sambil menahan malu aku berlalu dari tempat itu, namun tak seberapa lama ada seorang perempuan memanggil namaku dan mendekatiku. Rasanya aku belum pernah mengenalnya. “kamu namanya…kan?” tanyanya dengan yakin. Aku mengangguk, masih belum sadar penuh. “ini aku…bukankah kita sepakat untuk bertemu di sini, ya kan?” aku hanya bisa mengangguk pelan. Sejenak kupandangi wajahnya dan tubuhnya tapi rasanya kok beda ya dengan yang kulihat di facebook itu. Sepertinya usianya sudah seusia mamaku. Wah celaka..

Kubiarkan dia bicara ngalor ngidul sedangkan aku hanya terdiam sambil tersenyum kecut. Akhirnya aku minta ijin untuk pergi ke toilet. Setelah itu aku pergi tanpa kembali dengan membawa kekecewaan di hati. Ngacir deh…

Memang asyik mendapat kenalan via dunia maya. Sama-sama tidak saling mengenal sebelumnya dan bisa terhanyut dalam khayal masing-masing. Namun juga bisa timbul kekecewaan. Apa yang terjadi belum tentu seperti yang diharapkan. Bukankah sudah banyak contoh ada orang diculik, diperkosa, dirampok bahkan dibunuh oleh orang-orang yang dikenalnya lewat dunia maya. Banyak orang menipu dan tertipu lewat hubungan ini. Aku salah satu korbannya, ditipu oleh orang dan tertipu juga oleh bayanganku sendiri.

Aku ingat sudah berapa kali dia minta dikirimi pulsa, dan aku mengiriminya dengan senang. Juga pernah dia berhutang padaku karena alasan untuk biaya bapaknya yang sedang dirawat di rumah sakit. Sudah terlanjur aku membangun imajinasiku yang indah tapi sekarang hancurlah sudah.

Bukankah pernikahan yang serius juga harus didasari saling mengenal satu dengan yang lain secara mendalam. Sangat tidak masuk akal, baru bertemu apalagi kenal via dunia maya langsung jadian dan menikah.

Bisa jadi karena aku orang yang kesepian dan minder sehingga aku sangat menikmati hubungan-hubungan dengan orang yang “diseberang” sana tanpa jelas identitas sebelumnya daripada dengan orang-orang yang kujumpai face to face.

Bisa jadi orang kesepian bertemu orang kesepian di alat komunikasi modern ini dan makin kesepian.

Pwk. 14 nov 2011

Tanggal Angka Cantik



Hari ini tepat tanggal 11-11-’11 dan orang pasti akan sepakat bahwa itu nomer cantik. Seperti no hp yang cantik banyak diminati orang. Sudah tentu tanggal ini juga dilirik bahkan dipilih untuk moment tertentu.

Banyak pasangan sudah merencanakan untuk menikah di tanggal ini. Dan tidak sedikit bayi-bayi yang dipaksa “keluar” dari kehangatan rahim ibunya juga di moment ini. Peluncuran album musik atau “release” nya buku-buku baru. Bisa jadi pembukaan usaha baru dan sebagainya.

Apakah sebenarnya makna memilih tanggal dengan angka cantik seperti ini? Mungkin ada banyak alasan tentang hal tersebut. Bisa karena berharap pada “keberuntungan” karena mempercayai angka-angka tersebut memiliki arti tertentu. Atau bisa juga karena ingin memudahkan dalam mengingat satu peristiwa yang penting dalam hidup. Atau ada yang hanya ingin keren-keren saja.

Masing-masing orang bebas untuk menentukan dan menilainya. Namun yang penting adalah menjalani kehidupan itu sendiri. Siapa kita dan bagaimana kita bertindak itu yang perlu.

Bila sepasang pengantin menikah di hari ini, perayaan hanya sehari dan kegembiraan menikmati hari ini juga akan lewat. Yang dihadapi kemudian “tanggal-tanggal” kenyataan kehidupan sehari-hari. Bagaimana pasangan tersebut membangun pernikahan tersebut. Hari ini adalah “start” nya. Tak ada gunanya pernikahan di tanggal hari ini, bila kemudian rumah tangga di isi dengan pertengkaran demi pertengkaran hingga perceraian. Bukankah kita sering melihat contoh banyak pasangan menikah dengan pesta yang mewah, dihadiri banyak tamu, penuh kegembiraan, di tanggal yang terpilih namun kandas disertai dengan kebencian satu dengan yang lain.

Apabila ada bayi-bayi yang harus dilahirkan di tanggal ini, berharap mereka akan mendapat naungan yang nyaman dalam menjalani hidup mereka. Di sambut tangan-tangan keramahan yang tidak hanya di saat kelahiran saja namun selamanya apapun keberadaannya. Semoga tidak ada (kalau bisa) anak-anak yang tanggal lahirnya tertulis dengan angka cantik, namun hidupnya tidak cantik. Penuh luka fisik, jiwa, emosi bahkan rohani.

Demikian juga yang berulang tahun pada hari ini, hidup akan bermakna bila berarti bagi orang lain.

Hidup memang harus mengalir dan membawa maknanya tersendiri. Biarlah hari ini bagi sebagian orang menjadi berarti. Hari ini dimulai dan melanjutkan hidup.

TAPI apapun itu semua, ada yang lebih penting. Hari ini saya ber-ULANG TAHUN he he he. Yang menarik karena memang satu deret angka 1. Namun bukan itu arti pentingnya bagi saya. Tiap ulang tahun adalah saat untuk mensyukuri anugerah kehidupan yang Tuhan berikan, sekaligus untuk mengevaluasi apa saja yang sudah dilakukan untuk memberi arti bagi Tuhan, diri sendiri dan bagi orang lain. Setelah itu membenahi diri untuk menjalani hidup yang lebih baik di kemudian hari.

PF 11-11-2011

Rabu, 09 November 2011

De Pe (Renungan Batin - 8)

De Pe
(Renungan Batin)

Suatu hari ketika aku sedang mengurus sesuatu. Petugasnya bertanya : “Apa inisialnya?” lalu aku menjawab dengan cepat “ De Pe (DP). Spontan dia berkomentar “ Dewi Persik.. goyang gergaji” . Akupun tak kalah gesit menjawab “ bukan pak, Daniel Puspo !” Dalam hatiku, ada-ada saja bapak itu, lha jalan aja sulit kok pakai goyang gergaji…he he

Inisial De Pe (DP) ini juga sangat dikenal dengan Down Payment alias uang muka misalnya bila kita kredit sesuatu. Namun DP ini bisa diartikan lebih luas lagi dalam penggunaannya. Ini contohnya :

Ketika aku tertarik dengan seorang gadis maka aku berusaha untuk menyatakan perasaanku. Ada banyak hal kuusahakan supaya dapat memikat hatinya. Aku sering melayangkan SMS dengan kalimat-kalimat yang bernada perhatian apalagi kebetulan saat dia ulang tahun, aku tahan tidak tidur menunggu detak jam dua belas malam lebih satu detik untuk bisa ngucapin hari istimewanya itu.

Tak segan-segan aku kirimi permen coklat kegemarannya. Selain itu aku siap menjadi ojek pribadi yang mau mengantarkan kemanapun dia pergi. Kapanpun dia butuh, aku selalu ada di sana. Kadang dia berkomentar “kamu kok baik banget siiiih ? !” sambil mencubit manja lenganku. “ah biasa aja kok…’ jawabku pura-pura

Sering pula ku traktir dia makan dari cimol, siomay, batagor, bakso sampai makanan di restaurant mahal (meski hanya sesekali). Wah dia senang dan lahap sekali makannya bahkan kadang sampai nambah, meskipun kadang aku nyengar-nyengir memikirkan uangku yang tidak banyak…jangan-jangan bisa nge-bon lagi nanti karena kiriman uang dari orang tuaku masih beberapa minggu lagi.

Akhirnya hari itu tiba. Saat proklamasi dimana kami sepakat untuk “jalan bersama”. Hubunganku dengannya makin terikat atau aku sengaja mengikatnya. Kami saling menyebut papa mama. He he lucu tapi rasanya mesra sekali. Kami juga membeli cincin yang sama meskipun hanya terbuat dari kerang, supaya orang tahu kami satu.

Aku juga mengambil uang tabunganku untuk membelikan dia Laptop supaya dipakainya untuk mengerjakan skripsinya kelak. Kami saling berkunjung dan berkenalan dengan orang tua kami masing-masing. Bahkan kadang menginap di rumahnya karena alasan hujan atau kemalaman, orang tuanya memaksanya demikian meskipun aku senang dipaksa bila disuruh seperti itu he he.

Sampai kamipun sudah membuat rekening bersama. Istilahnya tabungan masa depan untuk kami berdua.

Namun lama-lama aku mulai merenung. Bukankah kami belum menjadi suami istri. Dan kamipun juga belum tahu kapan akan menikah. Bagaimana kalau kami putus? Lalu bagaimana dengan apa yang sudah kami lakukan tersebut. Aku bertindak salah karena menganggap tindakan kami seperti uang muka atau down payment (DP), padahal hubungan kami masih belum pasti jadi membawa pada pernikahan karena juga kami masih muda dan kalau toh ada rencana menikah masih jauh ke depan. Kami terlalu cepat bertindak.

Aku juga menyesali kenapa kami sudah terlalu “jauh” masuk ke keluarga kami. Bagaimana kalau ternyata nanti kami merasa tidak cocok dan tidak bisa melanjutkan hubungan kami. Lalu bagaimana menjelaskan kepada orang tua kami masing-masing?

Wah jangan-jangan dulu ketika aku sedang naksir dia. Ketika aku semangat memberi perhatian kepadanya, aku seperti memberinya umpan supaya dia mau jadi pacarku. Aduh..bisa jadi pacarku suka karena perhatian-perhatianku. Wah berbahaya sekali, bagaimana kalau aku nanti tidak bisa memberi perhatian padanya?

Aku laki-laki mudah sekali bertindak ceroboh seperti itu dan tidak menyadari bahwa itu bisa menjebak seorang perempuan. Bila aku ingin mendapatkan cinta yang tulus, aku harus bijak mengendalikan kecenderungan dorongan untuk memperhatikan ini secara bijaksana.

Pwk, 10 Nov 2011
(HOPE- House of Peanut)

Selasa, 08 November 2011

Aku telah Ternoda (Renungan batin - 7)



langit seakan runtuh dan bumi terbelah menyeret tubuhku masuk ke dalamnya dan menimbunku hidup-hidup. Semuanya terlihat gelap dan senyap. Tak ada pegangan yang dapat kuraih. Membiarkan diriku melayang entah kemana. Akankah masa depan menantiku? Adakah secuil harapan menantiku? Bagi diriku, seorang yang telah kehilangan segala-galanya.

... Semuanya berawal dari peristiwa itu. Seperti layaknya pacaran anak muda. Semuanya serba indah dan menyenangkan namun kadang tidak berpikir panjang. Aku dan pacarku telah melakukan sesuatu yang seharusnya belum boleh dilakukan. Pada saat seperti itu kami tidak menyadari resikonya.

Setelah kejadian itu, kami sama-sama merasa bersalah dan menyesal, terlebih aku. Aku menangis, merasa gagal menjaga kehormatan yang seharusnya kupertahankan. Namun aku juga marah dengan pacarku itu, kenapa dia tega memaksakan nafsunya kepadaku. Katanya mengasihi aku, tapi kenapa dia justru tidak menghargai diriku sepenuhnya, tapi ah semuanya sudah terjadi….

Kalau dilihat ke belakang, kami memang sudah bersalah. Cara kami berpacaran sudah tidak benar. Berapa banyak pertemuan-pertemuan kami berdua selalu diisi dengan hal-hal yang tidak membangun kehidupan yang lebih baik. Bukankah seharusnya berpacaran adalah tahap persiapan untuk menikah. Oleh karena itu seharusnya kami saling mengenal terutama untuk memantapkan apakah benar kami cocok kelak sebagai pasangan suami istri. Dan saling membangun karakter kami.

Akibatnya sangat panjang. Perasaan bersalah itu seakan membayangiku terus. Membuat hubunganku dengan Tuhan jadi terganggu demikian juga hubungan dengan teman-teman. Aku merasa jijik dengan diriku sendiri, kotor dan tidak layak. Namun di sisi lain, dorongan-dorongan untuk melakukan hal itu lagi juga ada dalam diriku. Kehendakku ingin menolak tapi nafsu dagingku ingin dipuaskan. Apalagi bila pacarku mulai “mencobai’ aku lagi, seringkali aku lemah untuk menolaknya. Ah betapa rumitnya persoalanku ini..

Di hati kecilku, sebenarnya aku takut kalau pacarku itu akan meninggalkan aku. Maka aku mencoba menjaganya sedemikian rupa supaya hubungan kami tidak putus. Karena kelak siapa yang mau menikah dengan aku yang seperti ini? Namun apa mau dikata, karena banyak sekali pertentangan di antara kami, maka berakhirlah sudah semua jalinan bersamanya.

Kini tinggallah aku sendiri, meratapi nasib yang ternoda sedangkan dia “terbang” entah kemana tak berbekas. Namun, aku tidak mau membiarkan diriku terus larut dalam kondisi ini. Aku harus bangkit dengan komitmen baru. Aku pun harus mau menanggung semua konsekuensi dari kesalahan masa laluku itu. Termasuk apabila tidak ada seorangpun laki-laki yang mau menerimaku. Bukankah hidup memang harus berjalan. Ada banyak hal yang masih dapat aku perbuat dalam dan melalui hidupku.

Hidupku memang pernah hancur, tapi tak selamanya akan demikian. Biarlah ini menjadi pelajaran yang penting buatku untuk tidak terulang dikemudian hari.

Inilah aku sebagai wanita, seringkali yang harus menanggung semua beban ini. Seandainya mantan pacarku dulu tahu betapa beratnya beban perasaan dan pikiran yang membayangiku bila mengalami peristiwa ini. Maka mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Mungkin kami akan sama-sama menjaga dan menguasai diri sehingga tidak akan terjadi peristiwa itu.

Aku berdamai dengan Tuhaku yang karena pengorbananNya itu cukup memberiku penerimaan kekal. Akupun juga berdamai dengan diriku dan masa laluku, karena diriku sudah diterimaNya apa adanya. Aku tidak boleh terus terpuruk dengan hal itu. Aku punya masa depan.

Sekarang aku masih bisa berharap kelak Tuhan akan mempertemukan aku dengan laki-laki yang dewasa yang dapat menjaga diriku seutuhnya dan menerimaku apa adanya.

HOPE
(House of Peanut)-pwk, 7 Nov 2011

Ge eR (Renungan Batin - 6)

Menurutku dia orangnya baik. Penuh perhatian. Aku tidak bisa melupakan moment yang berkesan itu. Tatkala aku sedang kesulitan mencari buku untuk tugas kuliahku, meskipun aku sudah mencoba mengubrek-abrek seluruh isi perpustakaan kampus namun tetap nihil. Aku bingung, jutek. Padahal tinggal beberapa hari tugas itu harus dikumpulkan.

... Namun dia yang tahu persoalanku, segera dia bertindak untuk menolongku. Dihubunginya semuanya teman-temannya bahkan tidak segan-segan dia mendatangi satu-satu kenalannya untuk mencarikan satu buku yang dia sendiri tidak butuhkan. Akhirnya dapat juga buku tersebut,maka legalah hatiku. Rasanya cowok itu “my hero’ bagiku. Dia cakep lagi, pinter dan hmh…yang luar biasa dia kelihatan dewasa sekali.

Tapi kenapa dia mau menolongku ya? Rasa-rasanya sulit lho menemukan cowok seperti dia. Jangan-jangan dia tertarik padaku ya? Mungkinkah itu? Oh..senangnya bila ya.

Sejak peristiwa itu aku jadi kepikiran terus ke cowok itu. Terbayang-bayang wajahnya, senyumnya dan apapun yang ada padanya semuanya jadi enak untuk dilamunkan. Apalagi bila aku sendirian..kadang aku bisa senyum-seyum sendiri. Apakah aku sedang jatuh cinta ya?

Aku bisa membayangkan seandainya aku “jadian” dengannya, oh betapa indahnya dunia ! bila aku resmi jadi pacarnya, wow apa kata dunia ! pokoknya mak nyus deh….

Ketika aku memikirkan ini sepertinya tanda-tandanya menampakkan arah yang positif, perasaanku seperti makin berkembang. Bukankah aku sering memimpikannya di kala tidurku, itu menjadi bunga tidurku. Bahkan sering aku cepat-cepat tidur supaya aku segera “bertemunya” di mimpiku dan berharap tidak bangun-bangun supaya selalu bersamanya dalam alam bawah sadarku.

Pernah dalam mimpiku, aku digandengnya mesra menuju altar gereja untuk diteguhkan menjadi pasangan suami istri, diiringi tatapan bahagia dari keluarga dan para sahabat kami. Romantis sekali… seperti penikahan putra mahkota kerajaan Inggris.

Apalagi bila mengingat perhatiannya kepadaku tidak berubah. Malah ketika aku mencoba mendoakan untuk mengkonfirmasi kepada Tuhan, sepertinya seisi surga merestui. Dalam perasaanku FirmanNya seperti mengatakan “ya” atau “setuju” dan sebagainya.

Namun, ada sedikit keraguan dalam hatiku. Apakah benar dia suka kepadaku? Betulkah dia mencintaiku? Kalau ya, tapi kenapa dia tidak pernah secara pribadi menyatakan perasaannya padaku. Jangan-jangan aku hanya berangan-angan saja. Apakah aku boleh menanyakan hal itu kepada dia? Tapi aku takut, aku takut kalau jawabannya “tidak”. Bisa kiamat dunia ini..

Hmh..aku harus menyadari hal ini. Aku telah salah bersikap. Kalau hal ini dibiarkan terus akan membahayakan diriku sendiri. Aku sudah terlanjur jauh berangan-angan bahkan mereka-reka apa yang akan terjadi dan bisa jadi TiDAK AKAN terjadi. Aku pasti akan kecewa.

Sebagai wanita aku harus jelas dengan ketetapan hatinya. Bila dia tidak pernah menyatakan “aku cinta kamu” atau “aku mendoakan kamu sebagai calon istriku” atau apapun istilahnya secara pribadi, maka haruslah kuanggap dia masih sahabat. Bahkan kalau seandainya dia mau mencium kakiku tapi tanpa pernyataan jelas dari dia, maka aku tidak boleh menganggapnya sebagai pacar.

Ini penting, karena aku akan menyandarkan hidupku selama-lamanya hanya kepada laki-laki yang tegas dan jelas dengan keputusan yang telah dipikirkannya.
Aku sadar kalau kesimpulan perasaanku salah bahkan dengan subyektif aku bisa merekayasa segala sesuatu untuk mendukung perasaanku itu. Memang aku harus hati-hati dengan perasaanku itu.

Bisa jadi dia tidak bersalah karena sikapnya wajar sebagai sahabat bahkan saudara. Hanya aku sendiri yang terlalu “gede rasa” alias GR.

Pwk, 6 Nov 2011

Bila Penantian (tak) Tiba (Renungan Batin - 5)

Aku seorang wanita yang membutuhkan belaian kasih sayang dari seorang laki-laki. Aku ingin mempersiapkan diri menyambut datangnya idaman hati. Meskipun belum tahu pasti kapan tibanya.

... Aku sungguh-sungguh akan merawat diri dan melapangkan hati, menunggu pinangan sang pujaan hati. Bukan hanya kecantikan dan keindahan penampilan yang kutawarkan. Namun lebih dari itu, senyuman keramahan dan terutama pesona pertumbuhan karakter adalah modal yang paling penting. Selain itu aku memohon kepada Tuhan yang sanggup mempertemukan kami.

Apakah aku boleh mendahului menyatakan cinta kepada laki-laki yang kusukai? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, biarlah diriku menunggu.

Dalam penantian ini, aku selalu berpegang pada “bingkai’. Dan melaluinya aku selalu memasukkan setiap pria yang sempat “mampir’ di hadapanku. Baik yang aku suka atau pria-pria yang menghampiriku untuk menyatakan cintanya. Bila dia tidak cocok dengan “bingkai” itu, maka kurelakan dia pergi, meski kadang dengan berat hati bahkan tersayat-sayat. Tapi aku harus menegaskan diri, itulah yang harus kulakukan demi kebahagiaanku sendiri.

Namun seringkali hati ini bertanya dengan was-was, akankah datang sang pangeran cintaku? Kapankah?

Telah sekian waktu aku menunggu, tak jua tiba dambaan hatiku. Padahal usia tak bisa diminta sabar untuk menunggu. Seperti menghitung hari, aku menanti. Aku juga selalu membuka diri dengan pergaulan terutama dengan komunitas yang memungkinkan cocoknya dengan “bingkai” yang aku punya.

Sering aku dibuat iri ketika melihat teman-teman sebayaku bahkan usia di bawahku sudah memiliki pasangan. Apalagi dengan bangganya mereka memperkenalkan “jagoannya” kepadaku sambil mereka saling berpegangan tangan, mesranya. Sedangkan aku hanya bisa berpegangan pada bajuku sendiri. Ah betapa sedihnya…

Yang menambah kesedihanku adalah keinginan orang tuaku yang menyuruhku segera menikah. Sering aku dikatakan kuper, terlalu pilih-pilih, keras kepala dan sebagainya. Bukannya mendapat dorongan semangat namun justru makin terpuruk hatiku. Dan yang paling kutakutkan bila aku dikatakan perawan tua atau penilaian negatif lainnya dari orang lain.

Tiba-tiba terngiang pikiran-pikiran yang kalut, apakah aku kurang cantik? Kurang seksi? Mungkin kulitku terlalu hitam? Atau karena aku pakai kacamata? Atau karena jerawatan? Atau….

Kadangkala muncul godaan di hati untuk merusak “bingkai” ku itu sehingga aku bisa mendapatkan pria yang penting mau dengan aku tanpa mempedulikan lagi apakah dia cocok dengan “bingkai” itu atau tidak. Namun aku masih setengah hati, takut pada konsekuensi.

Saat ini biarlah aku menanti dan terus menanti. Bila tidak ada pernyataan jelas dari Tuhan kalau aku harus hidup sendiri tanpa menikah, maka aku akan terus berharap sampai kapanpun tibanya sang kekasih.

aku memahami bahwa menikah bukanlah semata-mata untuk memiliki anak kandung, namun menjadi pasangan yang saling menolong dalam memenuhi panggilan Tuhan di dunia ini. Jadi tidak ada target kapan menikah, bila Tuhan menghendaki. Meskipun kalau boleh aku bisa menikah saat usia di bawah 30 tahun tapi kalau tidak, aku tetap tidak akan menurunkan standardku.

Bahkan bila penantianku TAK tiba. Aku belajar untuk setia dan memohon Tuhan untuk menopangku. Biarlah Tuhan yang menemaniku kelak bila aku sendiri sehingga aku tidak kesepian. Tentu banyak teman yang bisa dikirimNya untuk menemaniku juga dalam perjalanan yang sementara ini.

Tengah malam rintik hujan
Pwk, 5 Nov 2011

Senin, 07 November 2011

Pondasi Rumah Tangga yang Rapuh (Renungan Batin-4)

Bila aku kelak menikah. Aku ingin rumah tanggaku kelak harmonis dan menyenangkan. Aku tidak ingin sekedar mengangankan saja namun aku harus memiliki ketetapan hati bagaimana keluargaku nanti dibangun.

Aku harus tahu bagaimana gambaran rumah tanggaku nanti. Tentunya “bangunan” rumah tanggaku kelak harulah dibangun di atas pondasi yang kokoh. Aku ingin pernikahanku ...langgeng meskipun kadangkala harus melewati terpaan “badai” yang silih berganti. Aku sudah melihat banyak rumah tangga yang terkoyak bahkan hancur. Tentunya mereka tidak menghendaki keadaan yang seperti itu tapi mungkin mereka dulu tidak mempersiapkan diri dengan baik.

Aku tidak ingin membangun rumah tanggaku hanya berdasar rasa cinta atau rasa suka. Rasa itu bisa muncul karena ketertarikan pada fisik semata, perhatian-perhatian yang diberikan, kepandaian, ketenaran, kekayaan ataupun apapun dari pasanganku. Karena rasa itu bisa hilang. yang kuhadapi kelak bukan lagi cinta romantisme semata tapi masalah keuangan, belanja, sakit, ngurus anak sakit, capai dan sebagainya. hal-hal ini bisa menguji rasa cinta itu. Kalau sudah hilang, lalu apa yang menopang pernikahanku.

Aku juga tidak ingin meletakkan dasar pernikahanku atas belas kasihan atau perasaan untuk menjadi juruselamat. Belas kasihan dari aku atau dari pasanganku. Aku tidak boleh menikah dengannya karena aku kasihan dengan dia apapun alasannya, demikian juga dengan dia kepadaku. Aku juga tidak boleh merasa bisa “menyelamatkan” dia atau mengubahnya. Dengan harapan, kalau aku nanti menikah dengannya berharap dia tidak lagi jadi orang yang pemarah, pemabuk, pemalas. Cerewet, gonta-ganti pacar dan sebagainya. Karena bisa jadi dia tidak bisa atau tidak mau berubah. Kalau dia tidak berubah, sampai berapa lama aku bisa bersabar nantinya ? pasti aku akan kelelahan

Dasar lain yang tidak boleh ada adalah keterpaksaan. Aku tidak ingin menikah karena terpaksa. Terpaksa atau dipaksa, sama saja artinya. Aku bisa terpaksa karena usiaku sudah menjelang “uzur’ dan desakan orang tuaku atau lingkunganku sehingga memaksaku menikah dengan siapapun asal dia manusia. Karena aku sudah tidak tahan lagi dengan desakan mereka. Maka aku bisa tidak lagi mempertimbangkan akal sehat. Atau terpaksa menikah karena sudah terlanjur terjadi “kecelakaan” yang biasanya kami sengaja lakukan. Atau terpaksa menikah karena dijodohkan orang tua. Tentu tidak apa-apa dikenalkan, namun akulah yang harus tetap membuat keputusan apakah dia cocok dengan kriteriaku atau tidak. Bukankah aku yang menjalani kelak suka duka pernikahanku, bukan mereka.

Topangan pernikahanku juga bukan karena sudah terlanjur dekat karena kami sudah menjalin “Teman Tapi Mesra” alias TTM. Kalau teman-teman kami bertanya : kamu pacaran ya dengan dia ? aku jawab, ‘tidak” memang kami belum pernah ada komitmen untuk “jadian”. Tapi kalau dikatakan kami ini hanya bersahabat juga bukan karena ada perasaan “khusus’. Aku cemburu bila dia dekat dengan orang lain. Aku selalu memikirkannya dan mengangankan selalu bersamanya. Dan merasa senang didekatnya. Memang aneh jalinan ini. Tapi ini berbahaya bila aku teruskan. Aku tidak boleh terjebak dengan perkataan “mengalir saja seperti sungai”. Dalam pernikahan harus ada komitmen dan kesempatan untuk memikirkan apakah dia orang yang tepat menjadi pasanganku.

Pwk, 4 november 2011

Mencintai Bayangan (Renungan Batin-3)

Kemunculanmu selalu kenantikan. Tak pernah kulewatkan meski apapun kondisinya. Jam itu dan saat itu tak kubiarkan beranjak. Peristiwa demi peristiwa “bersamamu” selalu memberi kenangan tersendiri bagiku.

Kehadiranmu seperti di depan mata. Wajahmu yang menawan. Senyummu yang lembut. Kerling matamu yang menggoda. Uluran tanganmu seakan mengajakku tenggelam dalam buaian pelukan ...hangatmu.

Tak kudapati bercak-bercak noda di hidupmu. Semuanya serba sempurna sebesar anganku padamu.

Tak sedikit waktu kunikmati bersama sosokmu. Sudah berapa banyak mimpi kurasakan bersamamu.

Betapa senangnya membayangkan hidup bersamamu. Bercanda bersama, makan bersama, bergandengan tangan dan apapun juga asal bersamamu. Membiarkan lentik jemari tanganmu membelai rambutku dan merebahkan diri dalam perlindungan tubuhmu. Tangisku berurai dan jari-jari itu mengusap dengan penuh kasih sayang.

Ada kalanya kamu datang tak kuduga-duga. Rasanya sulit menepis bayangmu dari hidupku karena hadirmu mengisi apa yang selama ini kucari.

Betapa memang aku menyadari dirimu tak nyata disampingku. Kamu hanyalah ungkapan kerinduanku. Penantianku padamu hanyalah semu. Semua kurangkai dalam angan dan khayalku.

Selama ini diriku merana menanti-nanti hadirnya sang kekasih hati. Tak jua seorangpun yang datang, mampirpun tidak. Hanyalah dirimu yang selalu setia hadir dalam kesepianku. Kadangkala kamu hadir melalui film-film Korea, Hongkong, Hollywood, Bollywood bahkan Indonesia dan juga bisa melalui novel-novel percintaan ataupun komik-komik romantis. Lain waktu kamu datang melalui teman kerjaku, teman kuliahku, tetanggaku, teman SD/SMP/SMA bahkan teman Playgruop-ku. Bahkan kamu bisa muncul dari SMS yang nyasar dan segera kutangkap dirimu, tak ingin kulepas.

Aku hanyalah mencintai diriku sendiri. Aku hanya mencintai bayangan. Gambaran sosok yang tidak pernah ada. Kalau toh aku berpacaran dengan seseorang, jangan-jangan aku melihat wajah pacarku itu melalui wajah “bayangan” itu. Sosok pacarku dengan sosok imajinasiku. Ah pasti aku akan kecewa, karena sosok khayalku sangat sempurna (meskipun tidak pernah ada) sedangkan pacarku pasti tidak sempurna. Pacarkupun kelak akan kecewa. Akankah aku menikah dengan khayalku?

Aku memahami kamu adalah cerminan kekosongan jiwaku. Kamu adalah obyek dari kesepianku. Bisa jadi selama ini tak kunikmati kasih sayang. Penolakan demi penolakan selalu kuterima. Kehadiranku seakan tak memberi arti bagi orang-orang disekelilingku. Aku hanyalah benalu…lugu dan tak “laku”. Itu nyanyian yang sering kudengar dari bangun tidur hingga tidur lagi.

Aku harus mawas diri. Itu yang terjadi pada diriku. Aku harus melihat semua luka-luka dihidupku pada masa lalu dan membawanya ke Pribadi yang sudah dilukai, di dera, dianiaya dan mati di Calvari untuk mendapatkan pemulihan. Ini aku yang penuh luka…balutlah aku…Engkau menanggung lukaku ditubuhMu.

pwk,2 Nov 2011

Pengelana Mencari Cinta (Renungan Batin-2)

Aku seorang pengelana. Betapa kudamba hati ini untuk mencari cinta. Sudah kubayangkan “ah betapa senangnya bila aku punya kekasih”. Tentu aku merasa bangga bila kugandeng seorang idaman hati dihadapan teman-temanku.

Asyiknya bisa makan bakso dan minum es durian bersama-sama meskipun tidak sering-sering. Rasanya dunia milik berdua bila berboncengan kesana kemari, tak pedu...li orang mau bilang apa.

Enaknya bila kekasih bisa ngertiin aku..peduli sama aku…perhatiaaaan banget! Apalagi romantis, sering kirim sms “sudah makan? Jangan lupa makan ya..nanti sakit” atau “aku kangen kamu” atau “sudah bobo?” ah so sweet deh..wah nampaknya hanya dia manusia yang Care ama aku, tidak seperti yang lain. Apalagi ngomongnya nyambung wah mantap deh..

Tapi..

Ini baru khayalanku…apakah aku bisa mendapatkan orang seperti itu ya? Atau jangan-jangan aku hanya mencintai diriku sendiri atau mencintai bayanganku sendiri.

Aku berkelana memang untuk mencari cinta tapi jangan-jangan kekasihku nanti juga seorang pengelana mencari cinta (nampaknya benar).

Lalu bagaimana aku bisa mendapatkan cinta kalau aku dan kekasihku nanti menuntut untuk dicintai. Kapan bisa saling memenuhi cinta kalau kami sendiri kekurangan cinta ?

Aku berpikir dia akan memberi perhatian padaku..mengerti aku tapi realitanya dia juga berpikir begitu. Lalu siapa yang memberi perhatian? Bukankah konflik yang terjadi.

Wah bagaimana seandainya bila aku sudah menjalin kontak fisik, tentu rugi sekali karena sebenarnya hanya ke-egois-an dan nafsu semata yang dipuaskan. Sebenarnya aku memaksamu untuk memuaskanku demikian juga kamu. Tidak ada cinta di sana.

Kalau aku dan kekasihku sama-sama orang terluka bukankah kita pasti akan saling melukai. Kalau kami sama-sama orang yang kehausan perhatian, bukankah kami tidak akan saling memperhatikan.

Maka yang terjadi justru kami akan berkelana lagi mencari cinta yang lain…dan tidak pernah akan menemukan cinta. Hidup kami seperti menggali kolam yang bocor, diisi air berapapun tidak akan bisa menampung.

Yang kubutuhkan adalah cinta dari Sang sumbernya cinta…biarlah mengalir penuh dihidupku. Maka aku tidak lagi berkelana mencari cinta.

Bila aku punya kekasih..maka aku akan mengalirkan cintaNya untuk mencintainya dan tentu saja kekasihku juga sudah penuh dengan cintaNya yang akan mengalir ke hidupku..ah betapa bahagianya. Cintaku dan cintanya berpadu menjadi satu…ah itu yang kurindu

Dini hari, 27 Okt 2011

9 TAHUN PERJALANAN (Sebuah refleksi-jilid 2)

Istriku…Makin tumbuh cinta kasih ini padamu, bukan cinta romantisme semu namun justru ada perpaduan kasih agape, eros, philia dan storge. Rasanya indah waktu-waktu bersamamu.

... Yang paling aku sadari adalah pertumbuhan karaktermu. Kamu tidak banyak menuntut aku harus berubah tapi kamu menuntut dirimu sendiri untuk berubah. Itu terjadi karena relasimu dengan Tuhan yang dalam, kerelaanmu untuk taat sehingga engkau dengan rela menundukkan diri pada suami. Itu membuatku “tak berdaya’. Aku menuntut diriku untuk berubah. Aku justru merasa bersalah bila melihat hidupmu menderita maka aku berusaha melakukan apa saja yang bisa membuatmu senang.

Selain itu peran kita masing-masing yang dilakukan. Kamu menghormati dan tunduk pada suami, sedangkan aku mengasihi, merawat dan menguduskanmu. Meski belumlah sempurna, tapi itu sudah mengisi hari-hari kita.

Komunikasi kita berkembang meski kadang ada yang masih harus dipelajari lagi. Nikmatnya makan bersama, tidur bersama atau pergi berdua disertai curahan hati. Sering kita bercanda.

Oleh karena itu aku menyimpulkan, yang menopang pernikahan salah satunya adalah pertumbuhan karakter suami istri. Tidak saling menuntut. Dengan demikian, pernikahan rasanya menyenangkan. Betul-betul tim yang saling menopang. Rasa cinta tidak bisa menopang pernikahan karena bisa pasang surut tapi pernikahanlah yang menopang cinta kasih.

Selama kita berelasi, terbongkarlah semua ke”asli’ an kita masing-masing. Itu justru membuat kita menyadari kebutuhan kita untuk mengejar pertumbuhan karakter kita masing-masing dan tidak merasa diri kita saling merasa lebih baik.

Di antara itu semua ada percikan-percikan kecemburuan, merasa tak berarti, merasa tidak adil, kesedihan, diam-diam an dan sebagainya.

Meski sudah 9 tahun, kadang tiba-tiba merasa masih ada keheranan dan belum “membumi” 100 %. Misalnya : lho kita ini menikah ya, lho aku kok satu rumah dengan teman sepelayananku ini ya..dan seterusnya.

Istriku..Ini merupakah refleksi awal dari “perjalanan” kita. Semoga masih ada waktu-waktu refleksi lagi di kemudian hari. Dan yang paling penting kiranya perjalanan ini ke depan makin dapat menggenapi rencanaNya dalam menemani banyak keluarga supaya bertumbuh sebagai musafir-musafir sebagaimana kita ditemani senior-senior kita.

Jam 01.08 dini hari tadi istriku mengirim sms ini :

“Hr ini, 9 thn yll..kita dipersatukan Allah dlm pernikahan kudus. Dan slma 9thn ini, aku melihat Allah setia berkarya dlm pernikahan ini, membuatNya terus berada dlm pemenuhan panggilanNya. Dan hr ini, 9thn pernikahan kita..aku menaikkan syukur kpd Allah utk pernikahan ini, krn sgl perbuatan tanganNya dan berkat2 tak terhitung. Semua kemuliaan bg Allah. Selamat ulang tahun pernikahan suamiku !
I love you pap..aku makin merasakan hidupku menyatu dengan papi. Seluruh keberadaanku makin tak berjarak lg dg papi..ajaibnya kesatuan ini. Terima kasih Tuhan”.

9 TAHUN PERJALANAN (Sebuah refleksi-jilid 1)

Istriku….
Hari ini ulang tahun pernikahan kita yang ke 9 tahun. Memang masih di bawah sepuluh tahun, namun tak terasa perjalanan ini sudah terlewati hingga usia sekarang ini. aku mencoba merenungkan apa yang sudah terjadi dan apa yang kita nikmati serta yang lebih penting seberapa tujuan yang sudah kita capai melalui pernikahan ini.
...
Titik start tgl 19 Oktober 2002 tatkala pendeta meneguhkan pernikahan seraya menumpangkan tangan di atas kepala kita. Saat itu, sejenak aku “kehilangan” konsentrasi, perasaanku terasa hampa dan jantungku seperti tidak bergerak. Pikiran yang muncul “wah aku sudah tidak bisa mundur lagi dan tidak bisa memilih wanita lain lagi”. Artinya aku harus terus maju menjalani hidup dengan istriku meski sebenarnya perjalanan di depan masih bayang-bayang dan aku bingung, takut dan mungkin demikian juga perasaanmu.

Seminggu setelah pernikahan, aku pindah kota dan menetap di kota lain dimana kita dapat mengabdi. Suatu “lompatan” besar yang kualami, karena aku harus meninggalkan semuanya dan hanya hidup berdasar keyakinan Tuhan memanggil maka Tuhan akan menyertai.

Bulan-bulan awal masa bulan madu. Senang dan banyak hal bisa dinikmati. Namun masih ada perasaan asing, ada yang belum dipahami diantara kita masing-masing, ego yang masih kuat. Hingga di bulan awal, kita bertengkar dan jam 3 dinihari dirimu menangis.

Di tengah perjalanan itu, hadirlah anak-anak. Mengisi hari-hari antara senang, capai, keharuan dan ketegangan bahkan air mata. Itu merupakan episode panjang dari pengasuhan anak. Panggilan kita berubah menjadi papi dan mami.

Istriku..apa yang kita nikmati dan apa yang sudah terjadi?
Banyak yang kita nikmati dan yang pasti kita saling mempengaruhi. Dari makanan yang dulunya aku tidak tahu apa itu batagor dan siomay, karena kamu aku sekarang bisa menikmatinya. Kesukaanku sate dan sekarang kamu juga menggemarinya. Sampai cara memijit odol juga dipengaruhi.

Istriku…minimal sampai detik ini, aku menikmati dan makin sukacita menikah denganmu. Ternyata tepat pilhanku padamu di antara gadis-gadis yang baik tatkala itu yang bisa kupinang jadi kekasihku. Aku sadar semua itu kehendakNya bagi kiita.

Ah betapa senangnya menikah dengan orang pilihan Tuhan. Yang kuandalkan hanya doa, mentaati prinsip-prinsip teman hidup, ketegasan visi hidupku, kesediaan untuk bertanggungjawab dan panduan seorang pemimpin.

Aku tidak datang dengan jubah kemewahan dan tumpangan kuda putih, gajah atau mercy, Volvo bahkan sepeda pun aku tidak punya saat itu. Tidak juga dengan tawaran janji-janji apa yang bisa aku beri. Tapi aku datang dengan keyakinan akan janji Sang Pemilik Hidup ini. Justru aku datang dengan realita apa adanya aku.

THANK YOU

Beberapa kali ketika saya makan bersama anak-anak, saya sempat mendapatkan pelajaran berharga. Sambil makan saya memperhatikan mereka, dalam hati saya merenung. Wah, anak-anak saya bisa makan dengan senang dan rasanya saya sebagai orangtua mereka juga merasa senang sekaligus bangga.

Hal ini tidak pernah terbayang sebelumnya, bahkan ketika masih di awal-awal kerja dulu saya sangat kuati...r tentang masa depan saya. Gaji saya Cuma Rp 55.ooo per bulan. Dengan gaji tersebut, saya harus rela berjalan kaki naik bis kota dan masuk ke area pabrik sekitar 500 an meter. Kenaikan gaji tiap januari sekitar 10%, lalu saya bisa memperhitungkan seberapa kira-kira gaji saya dalam beberapa tahun kemudian seiring usia saya yang bertambah. Maka timbullah kekuatiran tersebut.

Apakah saya bisa menikah dan menghidupi keluarga saya dengan gaji segitu?

Dalam kondisi spt itu tetap saya tidak berani keluar kerja krn hanya lulusan SMA, keterbatasan fisik dsb yang membuat saya tidak yakin akan mendapat pekerjaan lain.

Karena saya begitu kuatir, sampai-sampai saya depresi. Saya jadi pendiam dan cuek dengan lingkungan. Dalam kondisi demikian Saya mengalami untuk pertama kalinya sakit Herpes di lengan kanan yang sangat parah ditambah sakit maag yang luar biasa sakitnya.

Di sisi yang lain, saya mencoba untuk memikirkan kerja “sambilan” supaya bisa menambah pendapatan, tapi semuanya sulit dilakukan karena terbatas banyak hal. Saya jadi berpikir masa depan saya suram.

Namun dalam satu waktu, Tuhan menyatakan siapa yang bertanggungjawab atas hidupmu dan masa depanmu, saya atau Tuhan. Kalau Tuhan, maka biarlah semuanya diserahkan padaNya maka Dia yang akan mengatur.

Ketika semuanya diserahkan, maka betul, Tuhan yang memelihara dan bertanggung jawab atas hidup saya sampai saat ini. Bahkan Tuhan memberi kesempatan saya berkeluarga dan memelihara kami. Itu semua anugerahNya..jujur saya mengakuinya. Saya selalu terharu, betapa baiknya Tuhan itu.

Thank you for the world so sweet
Thank you for the food we eat
Thank you for the birds that sing
Thank you God for everything

Sang pengembara jiwa

Jalanmu melawan arus
Menatap mantap tak bergeming
Meski lalu lalang manusia seakan menerjang
... Bagimu tak ada urusan siapa yang sudi mengurus

Hidupmu sendiri
Apa mau dikata orang tak pernah peduli
Mungkinkah sepi ?
Tak perlu memegang harga diri
Toh semuanya akan mati

Kemanakah nasib membawa
Disitu kaki melangkah
Apakah ada harapan di sana
Selagi mentari masih merekah

Semoga hari masih ada janji
Kan terpatri di sanubari
Apakah baginya masih ada hati
Jiwa yang telah lelah menanti

SUP KACANG MERAH (Renungan Batin-1)

Suatu siang Sasau berlari tergopoh-gopoh memasuki rumah. Wajahnya penuh dengan peluh, menandakan sepulang dari perjalanan panjang dan melelahkan. Matanya menyusuri setiap ruang, seperti mencari sesuatu yang dapat memuaskannya.

... Akhirnya pandangannya tertumbuk pada sebuah benda yang terletak di atas meja. Ada asap bening mengepul dari benda itu. Terhampar cairan masakan dengan aroma yang menggiurkan. Ya ada sepiring kacang merah yang baru saja selesai dimasak. Baunya begitu menggoda. Lidah Sasau bergoyang-goyang tak sabar ingin menyantapnya. Perutnya mulai bergejolak meronta-ronta. Seleranya terpacu. Meskipun hawa dan sajiannya panas tak dihiraukannya karena rasa lapar yang tertahan dan sup itu terasa menggoda.

Diraihnya piring itu dan ia segera ingin menyuapkan ke mulutnya namun tiba-tiba ada suara menegurnya.

“Hei jangan dimakan !”

Sasau terkejut dan menoleh ke arah suara itu, ternyata adiknya Yakubi. “kamu boleh makan sup itu tapi ada syaratnya” jelas adiknya lagi

“Apa?”

“Tukar dengan hak kesulunganmu, mau?”

Sasau berpikir keras, tapi dengan cepat dia mengambil keputusan “ iya mau”. Pikirnya untuk apa hak kesulungannya itu, baginya yang penting saat ini adalah makan dan bisa kenyang tanpa mempedulikan apa akibatnya kelak.

Pada saatnya kelak, Sasau menyesali keputusannya sambil menangis tapi tidak bisa merubah apa-apa. Semua sudah berlalu, nasi sudah menjadi bubur. Tinggal penyesalan yang tak berarti.

Banyak tawaran-tawaran yang disodorkan oleh si jahat dalam hidup orang percaya : materi, kedudukan, sex, popularitas dan teman hidup dsb. Dan biasanya, anak-anak muda “jatuh” dalam persoalan TEMAN HIDUP.

Pertama-tama sepertinya tidak begitu menjadi masalah, namun seiring dgn pertambahan usia, tekanan keluarga, pandangan orag lain dan dorongan keinginan untuk memiliki teman hidup akan membuat tantangan menjadi tidak mudah. Apalagi ditambah dengan rasa “haus” kasih sayang, belaian, penerimaan, pengertian dsb makin bertambah komplek.

Awal kejatuhan kadang-kadang bisa dari pertemuan reuni teman-teman sekolah dulu, teman kerja yang sering ketemu, perasaan dimengerti, curhat-curhat, merasa ditolong, dan sebagainya yang sebenarnya sangat alamiah namun setelah itu ada tindakan-tindakan lanjutan, ini yang jadi masalah, misalnya saling kirim SMS, telp atau pertemuan-pertemuan dan pembicaraan-pembicaraan yg mulai lebih dalam.

Lalu berkembanglah perasaan dan lama-lama logika, prinsip-prinsip dan nilai-nilai mulai dilanggar. Bila sudah terikat maka biasanya akan relatif sulit untuk “dilepaskan”.
Banyak orang gagal dan kemudian hidupnya hancur. Mari kita merenungkan secara dalam `: apakah kita ingin bahagia yg sesaat atau kekal ? apakah kita mau mengganti sesuatu yg bernilai kekal dengan sesuatu fana dan tidak pasti akan membuat kita senang?

Jangan menjadi contoh lagi karena sudah banyak bukti. Pikirkan baik-baik dan keluarlah dari jeratan itu. Itu hanya sekelebat bayangan saja enaknya. Apakah kita harus menjadi seperti Esau, menjual hak kesulungan hanya untuk mendapat “teman hidup” yang tidak tepat?

TUGAS PERTAMA ORANGTUA YANG SANGAT PENTING

Kehadiran anak dalam keluarga bagi pasangan akan sangat menyenangkan apalagi bila hal tersebut sudah sangat lama dinanti-nantikan. Tentu ada banyak harapan bagi si anak yang baru lahir tersebut. Bisa saja lahirnya anak tersebut akan menjadi pewaris harta benda orang tuanya, atau juga bisa menjadi teman kelak bagi orang tuanya atau orangtuanya sudah menar...uh "beban" di pundak anaknya supaya suatu saat anak tersebut akan memelihara mereka di masa tua dan sebagainya.

Namun juga perlu diingat bahwa ini juga merupakan kepercayaan dari Tuhan. Anak tersebut merupakan milik Tuhan yang dititipkan pada orangtua tersebut supaya dididik dengan benar. Ada banyak hal yang bisa dilakukan orangtua dalam merawat dan mendidik anaknya. Namun ada satu tugas yang pertama yang menjadi tanggungjawab bagi orangtua yang telah percaya dan ini sangat penting.

Tugas itu adalah PENDAMAIAN. Para orangtua yang telah percaya tentu menyadari bahwa anak yang dilahirkan itu berdosa dan itu kelak akan dibuktikan dengan kemampuannya untuk berbuat dosa. Bila demikian maka otomatis anak tersebut sebagaimana semua manusia di dunia menjadi musuh Allah. Maka anak tersebut terancam hukuman kekal.

Bagaimanapun kondisi anak tersebut tetap membutuhkan pendamaian dengan Tuhan, termasuk anak Autis atau berkebutuhan khusus lainnya. Karena semua manusia berdosa dan Tuhan mengasihi dan sudah berkorban untuk semua manusia.

Dua anak saya tahu kapan mereka berdamai dengan Tuhannya. Mereka tahu bahwa mereka orang berdosa dan membutuhkan keselamatan. Anak nomer dua bahkan suatu hari menangis dan minta maminya menolongnya berdamai dengan Tuhan karena saat itu dia sedang sakit dan ia kuatir kalau dia nanti meninggal sebelum berdamai dengan Tuhan.

Oleh karena itu tugas orangtua yang pertama dan penting di sini adalah mendamaikan anaknya dengan Tuhan penciptanya. Apa yang dapat dilakukan?

1. Mendoakan terus menerus sampai hal tersebut terjadi dan yakini bahwa Tuhan akan mendengar karena itu

kehendakNya

2. Selalu mengusahakan menjelaskan cerita kasih Tuhan dan penebusanNya baik melalui cerita atau langsung

ngomong memberitahukan tahap demi tahap

3. Memberi kesaksian hidup kita yang baik supaya kita tidak kedapatan munafik

4. Tidak apa-apa kelak diulang lagi bila semua keberadaannya sudah lengkap. yang penting mulai dan lakukan,

nanti Tuhan akan melengkapinya

5. Menyadari bila telah selesai anak tersebut didamaikan dengan Tuhan, bukan berarti tugas sebagai orangtua

yang merawat dan mendidik telah selesai, justru kita makin serius melakukannya.

Bila anak-anak dari orangtua yang telah percaya tidak berdamai dengan Tuhan, maka sia-sialah punya anak karena kelak tidak akan berjumpa lagi.

Mari kita laksanakan tugas mulia ini.

BILA AKU SELINGKUH....

Mata itu begitu jelas lekat menatapku, tajam sekali… seakan berlirih memanggil-manggilku

wajahnya lembut ayu…tak bernoda menyuarakan rindu
...
Bibirnya memerah memecah sendu..mendayu-dayu

oh Gusti…kuatkah bertahan hatiku ?


Mulanya tak ada rencana untuk bertemu, menyapa apalagi bercengkerama dengannya. Namun waktu itu tiba. Mulanya biasa, namun pertemuan itu tiada lepas dari ingatan dan memberi kesan yang mendalam. Entah karena ke-ayu-annya, perhatiannya, rasa saling “nyambung” atau karena aku sedang “kehausan”.

Disambung dengan saling bertukar no HP lalu terkirimlah “pesan” demi “pesan”. Dari pertanyaan basa-basi, lalu mulai nyerempet ke hal-hal yang pribadi. Bila ada nada pesan diterima, segera ingin membuka HP dan membacanya. Rasanya sangat deg-deg plas…hmh..harap-harap cemas. HP digenggam tak mau dilepas. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? ataukah ini yang dinamakan puber kedua? aku tidak tahu. Yang mulainya biasa lama-lama menjadi luar biasa pengaruhnya. Bahkan sulit lepasnya.

Tapi tentu semuanya menjadi rahasia berdua, tak seorangpun boleh tahu. Demikian juga istriku. Apakah aku sudah selingkuh?

Bila aku selingkuh…rasanya enak dan menantang dicampur gairah menggelora

Bila aku selingkuh..kenikmatan itu bisa kuraih meski bisa jadi sesaat

Tapi

Bila aku selingkuh..apakah aku benar-benar puas?

Bila aku selingkuh..bukankah aku mengkhianati janji pernikahanku

yang artinya mengkhianati Tuhan yang mempersatukan, Istriku sebagai teman pewaris kasih karunia, anak-anakku buah hati kami

dan diriku sendiri

Bila aku selingkuh…aku juga menjadikan wanita itu sebagai pelampiasanku..obyekku

ah egoisnya aku

Bila aku selingkuh…seteguk kurasa tapi pahit di dada tak sirna

Bila aku selingkuh..porak-porandalah tatanan rumah tangga

air mata bisa menjadi makanan

Bila aku selingkuh…semua berduka

terlalu mahal harganya cinta sejatiku hanya untuk seteguk kenikmatan

terlalu bernilai “kekasih-kekasih jiwaku” yang terganti hanya demi bayangan melesat

Ah maka semoga ini menjadi “BILA” dan tidak pernah ada bahkan niatpun tidak

(ini sebuah fiksi--perenungan jiwa)