Senin, 21 November 2011

Desah luka seorang laki-laki (Renungan Batin – Suami & istri - 2)



Telah lama kubiarkan diriku diam dalam kelu. Bagai seonggok daging tak bernyawa. Tak terasa tubuh raga ini menyusut larut seirama jiwa. Yang ada sekarang hanyalah nyanyian sunyi. Yang tertinggal hanya rintihan sepi dalam hati. Desah sepi seorang laki-laki muda yang terluka.

Bagiku sekarang tak ada hari-hari. Matahari terbit dan terbenam bukanlah berbeda. Siang malam hujan panas semuanya sama. Terang gelap tidak lagi berarti bagiku. Ya bagiku…semaunya gelap dan sunyi.

Namun ingatan itu tidak pernah bisa hilang. Meski sudah kucoba untuk mengusirnya. Mungkin karena peristiwa itu begitu berkesan bagiku. Saat yang melumpuhkan hidupku. Menjadikan semuanya yang indah, hancur berantakan. Titik itu sangat menyakitkan… menikam sampai jantung. Menimbulkan luka yang menganga.

Bagaimana aku bisa lupa. Tatkala kamu, belahan jiwaku sendiri sudah berlaku seperti itu. Pergi dengan laki-laki lain dan meninggalkanku. Tanpa pesan, tanpa pamit dan tiada berita lagi. Sekarang entah di mana kamu berada. Hilang seperti ditelan bumi. Mengapa kamu begitu tega?

Masih segar dalam benakku. Saat kamu sebagai bunga desa ranum semerbak baunya. Batapa banyak kumbang ingin menghampirimu. Tak sedikit mereka beradu kelebihan untuk mendapatkan perhatianmu. Namun entah apa sebab, aku yang kamu pilih. Dulunya aku tidak berani terang-terangan menyatakan perasaanku. Terlalu muluk rasanya bila mendapatkanmu saat itu, bagiku. Bagai pungguk merindukan bulan. Wajahmu manis. Rambutmu hitam memanjang. Putih lembut kulitmu. Sedangkan aku..jauh sekali padanannya.

Masih dalam tanya. Namun satu hal yang pasti. Kita mengarungi bahtera rumah tangga bersama. Aku menikah dengan seorang gadis yang menawan. Kunikmati masa-masa kita berboncengan sepeda. Kemana-mana bersama dengan tawa meski kadang ada air mata. Bertahun-tahun merajut cinta, lahirlah buah-buah cinta kita.

Kini…semuanya tinggal hanya kenangan. Bahkan tak lagi aku ingin mengenangnya karena terlalu pahit. Anak-anak tak pernah mengerti dimana ibunya berada. Mereka tak tahu apa yang terjadi, yang menyebabkan sumber ASI mereka tak lagi di sisi. Mereka membesar tanpa sentuhan kasih sayang seorang ibu lagi. Mereka berkembang bahkan tanpa perhatian dan tanggungjawab orangtua mereka, karena aku sendiri sebagai ayah mereka, tidak lagi mampu untuk menopang bahkan hidupku sendiri. Kami hidup dari belas kasih orang dan keluarga besar kami.

Mungkin aku memang salah. Kenapa aku harus menikah dengan kamu? Kenapa aku tidak bisa menjadi laki-laki tegar? Kenapa aku terpuruk, bukankah ada anak-anak yang harus aku rawat? Bukankah aku masih muda dan bisa menikah lagi? Entahlah..aku tidak tahu.

Semuanya sudah berjalan bertahun-tahun seperti demikian. Tak terasa rambutku sudah mulai beruban dan kubiarkan memanjang, tak terurus. Tak peduli orang mau menilaiku apa, mereka mungkin sudah menganggapku gila. Namun aku tidak gila. Mereka mungkin menyalahkan aku. Atau ada juga yang menghujat istriku. Di luar sana, orang bisa bebas menilai. Namun apa yang terjadi, semuanya hanya dipahami di dada ini..ya dihatiku sendiri.

Istriku..
Memang faktanya kamu masih berstatus sebagai istriku. Kita tidak pernah bercerai. Surat nikah itu masih ada, tersimpan rapi dibawah pakaian di dalam lemari kita. Mungkin aku telah berbuat salah kepadamu, kalau ya maafkan aku. Namun tentu kita bisa bicarakan bersama, tidak dengan cara seperti ini.

Istriku..
Aku sangat sakit. Apakah kamu mengerti dan merasakan bagaimana dikhianati? Apakah kamu bisa merasakan pedihnya hati ini di saat kamu tertawa gembira dalam buaian asmara di sana? Tidakkah kamu peduli, mungkin tidak kepadaku, namun kepada anak-anak kita yang tidak berbuat salah padamu? Anak-anak yang kamu lahirkan dari rahimmu sendiri.

Istriku...
Sekarang bukan lagi aku menangisi nasibku, biarlah kutanggung semuanya ini sendiri. Yang aku tangisi bahkan kusesali adalah gadis mungil kita yang mewarisi kecantikan wajahmu yang sudah bertumbuh remaja, sekarang tidak lagi di sini. Entah meniru aku atau tak tahan menanggung derita ini. Jiwanya tergoncang. Dalam kondisi seperti itu, masih banyak orang-orang yang tega merampas seluruh tubuhnya. Sekarang dia pergi entah kemana, menggelandang di jalan-jalan. Kita orangtuanya tidak bisa menjaganya. Maka lengkaplah seluruh deritaku..adakah mentari esok hari yang tidak penah kutunggu.

(Untuk seorang teman di sana-“semoga ini mewakili perasaanmu”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar