Suatu siang saya memperhatikan seorang bapak yang kira-kira usianya sudah lebih dari setengah abad. Badannya masih tegap dan nampak sehat. Dia berdiri di depan pintu rumahnya dengan menggunakan celana pendek. Selintas saya perhatikan rumah itu tampak sepi. Rumah itu berada di ujung gang yang sepi sehingga menambah suasana kesunyian.
Saya mendengar dari seorang teman bahwa b...apak itu memang tinggal sendirian di rumahnya yang cukup besar itu. Hanya pada pagi hingga siang akan datang seorang yang membersihkan rumah itu dan mengurusi segala keperluan bapak itu, misalnya mencuci pakaian, memasak dan sebagainya. Setelah selesai dengan pekerjaannya, ibu itu akan pulang kembali ke rumahnya. Jadi tiap malam bapak itu hanya tinggal sendirian.
Istrinya sudah meninggal cukup lama dan anak-anaknya yang juga telah berumah tangga tinggal di luar kota. Mereka akan mengunjungi bapaknya jika ada waktu liburan. Nampaknya seluruh pemeliharaan bapak itu hanya diserahkan pada seorang pembantu karena memang bapak itu sudah tidak bekerja lagi.
Teman saya mengatakan semenjak ditinggal istrinya, bapak itu merasa sangat kehilangan. Kejadian ini sangat memukul jiwanya sehingga dia terguncang. Dulu dia aktif dalam kegiatan keagamaan, namun sekarang sudah tidak lagi. Pekerjaanpun dia tinggalkan. Jadi sehari-hari dia hanya di rumah itu sendiri entah aktivitas apa yang dia kerjakan.
Mungkin saya dapat memahami betapa sulitnya ditinggal orang yang dicintai dan mencintainya yang sudah hidup bersama-sama dalam waktu yang lama. Maka benar juga kalau ada pernyataan bahwa stress yang paling berat yang dialami seseorang adalah ketika kehilangan pasangan hidupnya. Apalagi setelah anak-anaknya besar dan tidak tinggal di tempat yang dekat, maka bisa jadi kesepian dan perasaan tidak berdaya itu akan menerpanya.
Ketika ada sepasang pengantin menikah, mereka disatukan dalam segala hal : fisik, jiwa, roh dan sebagainya. Ibaratnya ada dua lembar kertas yang direkatkan semuanya dan bila merobek salah satu kertas itu maka terkoyaklah ke dua kertas itu. Disitulah kesatuan pernikahan. Oleh karena itu, sebenarnya bila dua orang sudah menyatu dalam “daging” maka ke dua orang itu sudah terikat satu dengan yang lain.
Maka pernikahan itu sejatinya sekali untuk seumur hidup dan hanya untuk dua pasangan itu saja. Tentu sulit untuk berbagi dengan yang lain apapun alasannya. Kecuali memang maut memisahkannya. Apabila ada pasangan yang salah satunya berselingkuh, maka pasangannya akan terluka namun sebenarnya diapun terluka karena hakekat kesatuan tersebut.
Pemahaman hakekat kesatuan ini akan mendorong orang untuk menghargai pasangan, diri sendiri sekaligus pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar