Jumat, 18 November 2011

Jangan Aniaya Aku (Renungan Batin-suami &istri - 1)



Kemarin aku melihat pemandangan yang membuat hati terasa miris. Dari kejauhan, berlawanan arah dari mobilku yang melaju, kulihat seorang ibu muda sedang berlari seraya menggandeng anaknya laki-laki. Nampak terlihat wajahnya agak takut dan berusaha untuk menyelamatkan diri. Sedangkan dari arah belakang, terlihat seorang laki-laki bercelana pendek mengikutinya dengan mengendarai sepeda motor.

Mobilku terhenti dan membiarkan pandanganku terus mengikuti adegan yang aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ibu muda dan anak laki-lakinya membelok ke arah gang. Tepat sekali aku melihatnya dari balik kaca mobil. Laki-laki yang mengendarai motor itu mendekati si ibu dan menarik kerudung kepala (jilbab) yang dikenakan si ibu itu lalu memukulnya. Si ibu dan anaknya berusaha meronta dan terus berlari mnyelamatkan diri. Laki-laki itu terus mengejarnya dan penganiayaan masih berlangsung di dalam gang yang orang sering berlalu-lalang di sana. Aku terhenyak. Tidak menyangka akan melihat peristiwa seperti ini.

Sebagai laki-laki aku marah dan tidak terima dengan perlakuan itu, meskipun aku tidak tahu duduk persoalannya. Layaknya yang lemah ditindas semena-mena oleh yang kuat. Namun aku juga bingung, tidak mengerti apa yang harus aku lakukan terhadap mereka. Aku takut ada salah paham, jangan-jangan itu memang masalah rumah tangga mereka dan saya dituduh terlalu ikut campur tangan rumah tangga orang lain bila saya mencoba berbuat sesuatu.

Sembari menyetir, pikiranku terusik dengan kejadian itu. Apakah mereka suami istri dan sedang bertengkar? Apakah suaminya itu marah dan sampai menganiaya istrinya karena memang istrinya itu sudah keterlaluan?

Ada banyak pertanyaan yang berkembang dalam benakku. Namun dalam renunganku pribadi, apakah dilayakkan seorang suami memukul dan menganiaya fisik (apapun) terhadap istri bila terjadi pertengkaran? Apakah terhormat dan merasa hebat seorang laki-laki dengan kekerasan untuk menundukkan seorang perempuan? Apakah hal itu juga efektif untuk membuat seorang istri akan baik bila seandainya sang istri berbuat kesalahan? Kalau memang benar mereka sedang konfilk rumah tangga.

Rasanya sulit diterima, dulu sebelum menikah disayang-sayang bahkan mungkin dipuja-puja setingginya. Namun setelah menikah, dengan mudahnya menggunakan kekerasan sebagai jalan keluarnya. Tidak lagi mengingat masa lalu. Jangan-jangan memang laki-laki itu memiliki kebiasaan suka marah dan menyalurkannya secara tidak sehat alias dengan memukul. Hal itu harus menjadi pelajaran bagi gadis-gadis bila akan menikah dengan seorang pria yang punya pola seperti ini.

Apalagi tindak kekerasan seperti ini terjadi dihadapan anaknya. Bagaimana reaksi si anak melihat kedua orang tuanya bertengkar dan melihat ibu yang telah mengandung dan melahirkannya sekarang diperlakukan demikian oleh ayahnya sendiri. Tentu ini akan menimbulkan “luka” yang serius terhadap si anak. Dia akan dibayangi perasaan tidak aman. Timbul juga perasaan marah dan benci terhadap si ayah yang mungkin saja kelak akan dibalaskan oleh si anak.

Dan juga tidak kalah seriusnya, pola kekerasan seperti ini akan terulang dan menjadi contoh bagi si anak. Sungguh berbahaya bila dia dalam ketidaksadarannya dia memahami bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah harus dengan kekerasan supaya efektif.

Perlu disadari bahwa kekerasan melahirkan kekerasan. Orang terluka cenderung melukai orang lain. Orang yang kepahitan akan mudah membuat hati orang lain pahit.

Jangan pernah ada lagi kekerasan dalam rumah tangga. Berharap tidak ada lagi penganiayaan seorang istri oleh suaminya sendiri yang seharusnya menjadi pelindungnya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar