Kamis, 29 Desember 2011

Anak yang takut pada ayah, tp berani dengan ibu (Renungan Batin-Orangtua & Anak - 8)


Mendidik anak supaya tunduk dan menghormati kepada orangtua bukan sesuatu yang mudah, karena tabiat dasar semua orang adalah selalu melawan dan tidak mau diatur.

Hal ini dilakukan bukan karena orangtua sok berkuasa dan suka mengatur. Namun ini penting supaya anak-anak menghargai dan tunduk pada otoritas. Bila anak sudah bisa belajar tunduk pada otoritas orangtua, maka ini akan menjadi modal dasar dalam bersikap terhadap orang lain. Sikapnya yang menghargai orangtua akan menolongnya dalam menghargai pihak-pihak di sekolah, masyarakat, polisi, hukum dan orang-orang lain dimanapun mereka akan berhubungan.

Ketidaktundukan ini dimulai dari perkara sederhana pada saat anak-anak masih kecil. Misalnya anak minta dibelikan jajanan dan mulanya orangtuanya menolak dengan memberi penjelasan, namun si anak terus merengek bahkan menangis keras sampai berguling-guling di lantai. Akhirnya orangtuanya menyerah lalu menuruti keinginan si anak. Bila ini terus dibiasakan maka anak akan terus memakai cara ini untuk melawan kewibawaan orangtuanya dan kasus yang dihadapi akan makin berat.

Masalahnya adalah seringkali anak lebih takut melawan ayahnya namun berani terhadap ibunya. Mengapa demikian?

Bisa jadi ayah kebanyakan bersikap tegas dan ibu lebih banyak belas kasihannya. Bila ibu menegur anak-anak dan mengancam bila anak tidak menurut, seringkali hukuman itu tidak dilakukan. Artinya si ibu mudah kompromi. Misalnya : ibu menyuruh anak-anaknya merapikan mainan sambil mengancam bila tidak mainan itu akan diberikan ke teman anaknya. Setelah beberapa saat anaknya tidak melakukan, lalu si ibu ngomel-ngomel sambil membereskan sendiri mainan anaknya tapi kemudian ancaman itu tidak pernah dilakukan.

Oleh karena itu, belajar untuk bersikap tegas dan konsekuen dengan apa yang dikatakan pada anak-anak. Maka perlu dipikirkan matang-matang disiplin apa yang tepat dan bisa dilakukan sesuai dengan kesalahan si anak. Bila ibu mengatakan akan menghukum apa maka sebaiknya dilakukan.

Selain itu kadang bila anak bertanya atau minta ijin pada si ibu untuk melakukan sesuatu, lalu si ibu menjawab : “coba tanya pada ayahmu”. Demikian juga kadang si ayah juga bersikap demikian. Artinya orangtua tidak ada kesepakatan dan tidak tegas, sehingga yang terjadi anak akan mencari kelemahan ini dan memanfaatkannya. Siapa orang tua yang bisa menuruti keinginannya, itulah yang akan dimintai pendapatnya. Bisa jadi orangtua akan diadu domba oleh si anak.

Yang sebaiknya orangtua lakukan adalah bersepakat dulu dalam menetapkan aturan bagi si anak. Bila ada kasus yang belum disepakati, maka sebaiknya orangtua akan mengatakan pada anaknya : “sebentar, nanti ibu/ayah bicarakan dulu dengan ayah/ibumu”. Maka anak akan melihat bahwa orangtuanya sepakat dan memiliki otoritas yang sama. Antara ibu dan ayah sama dalam membuat aturan dan otoritasnyapun sama.

Selain itu, ayah bisa mengatakan pada anak-anaknya untuk menghormati ibu mereka. Dengan demikian mereka sama artinya mereka menghormati ayahnya. Bila melawan ibu itu juga sama artinya melawan ayahnya.

Ayahpun perlu sering menceritakan kepada anak-anaknya bagaimana pengorbanan ibu mereka pada saat mengandung mereka dan bagaimana si ibu mengasuh dengan kasih sayang yang tak terhitung banyaknya. Hal ini dilakukan supaya anak-anak melihat bahwa ibunya sudah banyak berbuat baik pada mereka.

Ayah juga perlu terus memuji dan membanggakan si ibu di depan anak-anaknya sehingga anak-anakpun diharapakan memiliki sikap yang sama kepada ibu mereka.

Ayah dapat mengatakan bahwa dia sangat mengasihi ibu dan sangat membutuhkan keberadaan ibu dalam mengasuh dan merawat anak-anak. Bila tanpa ibu, maka pasti akan ada yang kurang dalam diri anak-anak.

Rabu, 28 Desember 2011

Mendidik anak laki-laki (Renungan Batin – Orangtua & Anak - 7)


Mendapatkan anak berjenis kelamin tertentu bagaimanapun tetap harus disyukuri meskipun kadang ada keluarga yang mempunyai anak berturut-turut jenis kelaminnya sama. Itu semua tentu ada dalam kedaulatan Tuhan. Walaupun ada orang yang menyatakan supaya bisa memperoleh anak dengan kelamin tertentu ada caranya atau tekniknya. Namun tetap harus diyakini, otoritas Yang Mahakuasa tetap berlaku.

Hal yang disadari bahwa anak-anak dengan jenis kelamin berbeda, itu menandakan mereka memiliki kekhasan yang tidak sama dan tentu saja perlakukan kepada mereka juga berbeda. Anak laki-laki beda dengan anak perempuan. Namun keberbedaan itu bukanlah mana yang lebih baik, juga mana salah dan benar, juga bukan lebih enak mana tapi sekali lagi itu berkaitan dengan keunikan dan perlakuan yang berbeda dalam hal tertentu. Tapi ada juga didikan yang sama bagi semua anak berjenis kelamin apapun.

Rasanya mendidik anak laki-laki biasanya (tetapi tidak selalu) lebih sulit daripada anak perempuan. Kadang melihat tingkah laku mereka yang terus bergerak dan menantang bahaya, membuat hati ini sering berdebar-debar. Bahkan suara teriakan orangtua yang memanggil atau memperingatkan mereka seperti tertelan dengan kegaduhan polah mereka.

Mereka kadang melompat-lompat dimanapun, juga di tempat tidur maupun di sofa. Meski sudah diperingatkan, besuk sudah dilakukan lagi. Kadang mereka akan memanjat apapun bahkan tubuh orangtuanya juga menjadi salah satu pilihan mereka. Eksperimen lain, mereka bisa mengambil palu untuk memukul mainan yang baru saja dibeli atau dibongkar mainan itu tapi tidak mampu merakitnya lagi.

Bisa saja alat-alat kecantikan ibunya menjadi alat untuk mengespresikan imajinasinya. Lipstic dipakainya untuk mewarnai seperti crayon dan kuas pipinya dijadikan kuas untuk menggambar. Bedak menjadi bubuk warnanya. Setelah itu, si ibu tinggal marah-marah melihat tingkah laku anak laki-lakinya karena sudah merusak barang kesayangannya yang harganya cukup mahal.

Lain waktu, mereka berlari-lari sambil teriak-teriak kejar-kejaran. Petak umpet dan bermain seperti koboi-koboian. Laksana serombongan gajah yang lewat sedang memasuki dan memporak-porandakan seisi rumah. Demikian juga dengan perabotan rumah tangga, sudah berapa banyak yang rusak dan hancur karena dijadikannya permainan laksana sedang memainkan alat musik, dipukul sana sini.

Sepertinya anak laki-laki memang didesain untuk sesuatu yang bersifat tantangan, lebih tegas, berani, bergairah, berpetualang. Mereka harus membuat keputusan, termasuk ketika mereka menghadapi masalah dalam hidup mereka. Mereka sepertinya memang harus bergerak.

Disini orangtua harus belajar menerima segala keberadaan anak laki-lakinya termasuk dengan segala geraknya yang seperti tidak ada lelahnya. Menyesuaikan diri dengan segala riuh ramainya suasana rumah, berantakan barang yang berceceran di mana-mana. Menyiapkan hati ketika si anak laki-lakinya bereksperimen laksana super hero dengan kegagahannya melompat, berlari, memanjat, bahkan berusaha terbang seperti Superman yang akhirnya timbul lecet atau luka di tubuh anaknya.

Bahkan siap dengan kejutan demi kejutan yang diperbuat anak laki-lakinya, seperti sekarang ini di saat saya menulis artikel ini, dua anak laki-laki saya dengan antusiasnya membuat sirup putih yang diaduk yang terbuat dari lelehan Tippex. Entah apa yang mereka pikirkan. Tidak tahu apa yang terjadi bila mereka kemudian meminumnya.

Syukuri bila kita mendidik anak laki-laki dengan baik, maka kelak mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin yang baik. Minimal akan menjadi kepala rumah tangga yang bertanggungjawab untuk keluarganya.

Bila memberikan petunjuk kepada anak laki-laki bukan dengan cara samar-samar karena itu tidak bisa dipahami dan akan diabaikan namun ungkapkan permintaan yang diungkapkan secara ringkas dan jelas.

Senin, 26 Desember 2011

Damai Natal, damainya aku dengan ayahku


Aku tidak pernah merasakan bagaimana memiliki seorang ayah yang mendampingi, memilihara dan mendidik hidupku secara terus menerus. Karena sejak aku masih di dalam kandungan ibuku, ayahku sudah meninggalkan kami dengan alasan untuk bekerja di Jakarta. Namun semenjak kepergiannya, dia jarang mengunjungi kami dan membiayai hidup kami.

Oleh karena itu, ibuku mau tidak mau harus membanting tulang demi mencukupi kebutuhan kami. Dia bekerja tiap hari dari pagi hingga sore untuk berjualan makanan yang dijajakannya dengan menaiki sepeda meskipun sampai jarak yang sangat jauh.

Jadi hampir jarang sekali aku melihat ayahku. Mungkin sepanjang usiaku hanya beberapa kali kami bertemu, demikian juga dengan pemberian uang kepadaku tidak terlalu banyak. Hadiah dari ayahku yang aku ingat sampai sekarang adalah sebuah radio yang tatkala itu selalu menemaniku menjelang tdur malam dengan musik-musik kegemaranku. Kamipun jarang berkomunikasi. Jadi aku merasa asing dengannya. Mungkin juga ayahku terhadapku.

Setelah aku remaja baru aku mengetahui kalau ayahku ternyata menikah lagi ketika usiaku masih kanak-kanak dan memiliki anak-anak lagi. Hal tersebut memang pernah diberitahukan kepadaku oleh ibu, namun kemudian ayahku juga mengatakannya sendiri kepadaku. Memang jujur, itu sungguh tidak nyaman untuk didengarkan. Tapi aku belajar menerima hal tersebut sebagai kenyataan yang sudah terjadi, termasuk aku harus menyadari kalau ayahku jarang menemuiku dan jarang memberi apa yang aku butuhkan.

Sebenarnya perlakuan ayahku terhadap ibuku dan aku sudah menyakitkan hatiku. Namun ada satu peristiwa yang sangat membuat aku terpukul dan sangat marah kepada ayahku hingga menimbulkan rasa pahit dihatiku.

Saat itu aku lulus SMA dan berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, namun ibu sudah menyatakan ketidaksanggupannya untuk membiaya apabila aku kuliah. Maka aku berusaha berharap siapa tahu ayahku akan mau menerima dan membiayai aku kuliah di Jakarta. Tanpa sepengetahuan ayah, aku pergi dengan ibu ke Jakarta. Seperti sudah yakin ayah akan menerimaku maka aku juga berpamitan dengan teman-teman dan para tetangga untuk tinggal bersama ayahku.

Namun saat bertemu ayah, kami dibuat kelu tidak bisa berkata-kata banyak dan hanya menerima kondisi yang tidak nyaman. Dia berkata kalau di Jakarta tidak enak dan segala macam alasannya, yang intinya dia tidak mau menerimaku dan menyarankan aku supaya kembali pulang saja.

Sungguh tak terbayang betapa malu ketika menjumpai lagi teman-teman dan para tetangga yang bertanya kenapa aku tidak jadi tinggal di Jakarta. Aku kecewa, marah dan merasa tertolak dengan tindakan ayahku sendiri. Timbul perasaan makin benci dengannya. Hal tersebut makin membuat aku tidak ingin bertemunya lagi.

Waktu terus berjalan, hingga saat menjelang Natal. Seperti biasa aku sangat menikmati suasana Natal. Mendengar lagu-lagu Natal dan perayaan-perayaan yang diadakan. Namun kala itu, aku merasakan suatu Natal yang berbeda.
Dari uraian kotbah yang disampaikan, aku menyadari bahwa Natal adalah kelahiran Sang Juruselamat ke dalam dunia ini. Dia datang untuk membawa damai, dimana manusia yang memusuhi Tuhan dengan perkataan, pikiran dan tindakannya yang jahat. Dia mendamaikan manusia dengan Tuhan. Bila sudah demikian maka dia akan dimampukan berdamai dengan dirinya sendiri dan orang lain.

Saat itu aku datang bersujud mengakui segala dosa dihadapan Tuhan dan mengakui kebencian yang telah lama tertimbun dalam hatiku terhadap ayah. Atas pertolonganNya, aku dipulihkan dan dikuatkan kemudian untuk berdamai dengan ayahku. Aku belajar mengampuninya. Meski kadang jatuh bangun perasaanku untuk bisa mengampuni dengan tulus. Namun aku makin merasakan kasih sayang itu tumbuh dihatiku terhadap ayah. Aku juga bersyukur bagaimanapun beliau adalah alat untuk menghadirkan aku di dunia ini terlepas apapun perbuatannya padaku.

Hingga saatnya ayahku meninggal, aku hadir dipemakaman beliau. Dan saat itu juga aku dengan ibu tiri dan adik-adik tiriku bisa bertemu dan kami jadi saling mengenal. Terkuaklah semuanya. Namun karena anugrahNya dalam Natal itu membuat aku bisa berdamai denganNya dan sekaligus berdamai dengan ayahku. Damai Natal, damainya aku dengan ayahku

Di Natal-Mu, saya bersimpuh


Setelah sekian lama melewati suasana Natal dari tahun ke tahun, saya bisa merasakan pengalaman yang berbeda pada saat Natal di tahun itu. Dulunya saya hanya menikmati keceriaan Natal sebatas lagu-lagu Natal yang diperdengarkan atau dari perayaan-perayaan Natal yang diadakan yang biasanya sangat menggembirakan : ada drama Natal, puji-pujian, foto-foto dengan Santa Claus demikian juga ada makanan dan kado yang dibagikan, dua terakhir itu yang paling saya tunggu-tunggu.

Namun pada saat Natal istimewa itu, saya menemukan sesuatu yang esensi yang lebih dari sekedar kegembiraan tradisi Natal. Itu sesuatu yang berarti bagi hidup saya dan peristiwa bersejarah yang tak mungkin saya lupakan. Hal tersebut juga membuat hidup saya berubah yang mempengaruhi seluruh aspek hidup saya.

Pada saat itu, saya baru menyadari apa makna Natal yang sesungguhnya. Natal bukan hanya merayakan kelahiran seorang bayi. Natal juga tidak identik dengan pohon terang (pohon Natal) yang biasanya dihiasi dengan penuh warna dan cahaya, tidak juga sama dengan Santa Claus yang berpakaian khas dengan kadonya. Natal juga bukan semata-mata tradisi.

Tapi Natal adalah kelahiran seorang Juruselamat. Karena sedemikian kasihNya yang begitu besar, Dia datang untuk menyelamatkan umat manusia dari belenggu dosa dan yang terancam hukuman kekal. Jadi ini adalah persoalan antara manusia dengan Tuhan yang terpisah karena dosa-dosa manusia itu sendiri. Dimana kelahiran Sang Juruselamat itu untuk mendamaikan relasi antara Tuhan dan manusia tersebut.

Dengan kesadaran itu, saya merasakan betapa diri ini sangat buruk dan betapa compang-campingnya hidup saya. Saya sudah begitu melukai hati ibu saya dengan kelakuan dosa saya. Saya teringat pertanyaan ibu kepada saya ketika saya pulang mabuk di saat dini hari ketika beliau justru sedang terlelap dalam tidurnya setelah seharian dia bekerja untuk mencukupi kebutuhan kami semenjak ayah meninggalkan kami karena menikah dengan wanita lain. Ibu bertanya “ kowe mendem ya?- bahasa jawa (kamu mabuk ya?). Biasanya saya tidak menjawab, namun saya segera masuk ke rumah setelah ibu membukakan pintu. Saya tidak berubah meskipun ibu pernah menangis di bawah kaki saya sambil membawa pisau supaya saya membunuhnya saja. Hal itu dia lakukan karena sudah tidak tahan lagi menanggung penderitaan melihat tingkah laku anaknya yang durhaka ini.

Pada malam itu, saya dalam keberdosaan saya datang kepada Sang Juruselamat. Saya membawa ketidaklayakan, kenajisan dan segala kebejatan hidup saya dihadapanNya. Saya mengakui segala dosa saya dengan perasaan menyesal, apalagi mengingat dosa-dosa saya pada ibu. Tuhan, di hari yang istimewa ini saya datang kepadaMu. Saya bersyukur Engkau mau menerima saya, orang berdosa ini. Di Natal-mu ini, saya bersimpuh. Pulihkan saya.

Dan memang benar, setelah itu hidup saya berubah. Dia memulihkan hidup saya. Setelah saya bersimpuh dihadapan Tuhan maka kemudian saya bersimpuh di depan ibu untuk meminta maaf.

Jumat, 16 Desember 2011

Wah Cantiknya…! (Renungan Batin – Orangtua & Anak - 6)


Aku ingat tatkala itu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) kira-kira kelas empat. Ada teman sekolahku namanya sebut saja Ratih. Dia berasal dari luar pulau Jawa. Wajahnya manis, kulitnya putih dan yang aku suka, rambutnya hitam terurai panjang melebihi bahunya.

Pada saat itu aku sudah memiliki perasaan tertarik padanya dan tentu saja teman-teman laki-laki yang lain juga merasa demikian. Aku sering mencuri-curi pandang melihatnya. Namun aku tidak berani mendekat dan mengajaknya berbicara. Aku minder, malu dan tidak tahu harus ngomong apa bila dihadapannya. Jadi aku hanya menikmati “keindahan” wajahnya dan segala apa yang nampak padanya hanya dari kejauhan.

Sekarang aku sudah tidak berjumpa lagi dengan temanku itu. Entah dimana dia sekarang. Namun pengalaman berkesan dan hanya sekelumit itu tidak bisa hilang dari ingatanku. Aku juga tidak tahu pasti bagaimana mulanya perasaanku mulai timbul. Namun yang aku rasakan, aku merasa suka dan tertarik karena kecantikannya. Tidak terpikir olehku tentang pacaran dan sebagainya. Apakah ini normal dialami oleh anak seusiaku dulu yang baru duduk di sekolah dasar?

Hal ini menyangkut yang dialami anak lelakiku. Rasanya dia juga merasakan seperti yang kurasakan dulu. Padahal dia masih duduk di bangku awal-awal sekolah dasar.
Pada suatu hari sepulang sekolah, wajahnya begitu ceria dan matanya berbinar-binar lalu tiba-tiba dia merebahkan diri sambil tersenyum-senyum. Matanya menatap ke langit-langit dan kemudian terucap suara keras dan mantap “Yes !” sambil jemarinya mengepal kencang. Panggilan ibunya tidak begitu diperhatikan sebelumnya.
Ibunya bertanya “kamu kenapa? “

Dia menjawab sambil tersenyum “aku melihatnya tadi disekolah, wah cantiknya…!”
Ibunya melongo terbengong. Ada apa dengan anaknya yang usianya masih belum genap sepuluh tahun ini. Apakah dia sudah merasakan jatuh cinta?

Ternyata sikapnya makin terlihat kalau dia memang menyukai anak perempuan teman sekolahnya. Aku mulai ingin tahu seperti apa anak itu. Ternyata dia memang memiliki wajah yang cantik, pintar menyanyi dan lagi….hmh rambutnya panjang lurus terurai lebih sebahu. Kok mirip dengan gadis yang ayahnya sukai dulu ya?..

Ternyata ketertarikan anakku pada teman gadis sekolahnya makin terlihat namun semuanya dalam kewajaran dan tidak terlalu berlebihan.

Aku tidak tahu apa ini karena “perasaan” yang diturunkan ataukah karena lingkungan atau karena begitu banyak media massa yang mempengaruhi sehingga anak-anak terkhusus anak lelaki jadi begitu cepat matang secara seksual atau ketertarikan dengan lawan jenis.

Namun aku harus tahu apa yang akan aku lakukan dalam menyikapi kondisi anakku seperti itu. Kami (orangtuanya) belajar menyikapi tidak terlalu reaktif atau dengan serta merta melarang atau mengatakan itu tidak baik.

Justru kami ingin menemani anak kami memasuki perjalanan hidup yang bagi kami sendiri sesuatu yang baru. Kami ingin menciptakan suasana yang aman dan nyaman dimana anak kami bisa bebas bercerita atau curhat tentang perasaannya dan tidak merasa itu sebagai sesuatu yang tabu atau terlarang.

Sebagai sesama laki-laki, tentu aku juga ingin membagi perasaan dan pikiran apa yang harus dilakukan seorang laki-laki bila sedang dalam kondisi seperti itu. Dengan duduk atau berbaring bersama atau dalam suasana santai, kami bisa saling berbagi. Aku juga ingin berbagi bagaimana pengalamanku dulu.

Kami ingin anak kami bisa menjadikan kami tempat untuk bertanya, berbagi, belajar, diskusi tentang apapun yang dialami tanpa rasa takut sehingga dia tidak akan mencari ke orang-orang atau media-media yang menyesatkan.

Saat ini anak kami bisa berbagi perasaannya tentang rasa suka kepada teman gadisnya itu dan kami mengajarnya tentang nilai-nilai pernikahan dan sikap-sikap apa yang seharusnya dilakukan.

Kamis, 15 Desember 2011

Derita Anak Sulung (Renungan Batin – Orangtua & Anak - 5)


Ada banyak kisah yang bisa diceritakan tentang keberadaan anak sulung. Seperti dua sisi mata uang. Ada sisi menyenangkan namun juga ada dukanya. Kadang keadaan yang tidak mengenakkan bisa terjadi sejak masih kanak-kanak hingga dewasa.

Tentu tidak semuanya (anak sulung) merasakan hal yang sama. Ini bagian contoh dari beberapa kondisi yang dialami oleh anak yang dilahirkan pertama dalam salah satu keluarga. Seringkali persoalan ini hanya menjadi bagian yang harus ditanggung oleh anak sulung meski kadang tidak tahu kenapa harus begitu. Bahkan sering pula tanpa pembicaraan lebih lanjut. Ulasan ini mencoba melihat apa yang dirasakan dan dialami dari “kacamata” si anak sulung.

Ketika aku dilahirkan sebagai anak sulung, wah aku berpikir aku ini akan menjadi anak kesayangan. Aku satu-satunya anak dari orangtuaku. Rasanya semua perhatian tercurah padaku. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Ketika aku baru menginjak usia satu tahun, ternyata ibuku hamil lagi. Tentu saja itu bukan karena direncanakan.

Menyadari kehamilan itu, ayah ibuku harus membuat keputusan dengan berat hati. Di saat aku masih membutuhkan kemanjaan dengan mereka dan asupan ASI dari ibu yang aku butuhkan. Maka dengan “terpaksa” terputuslah semua itu. Aku merasa kehilangan kedekatan dengan ibu. Digantinya “rasa aman” ku dengan sebuah dot karet. Sepertinya aku harus “dikalahkan” demi adikku. Betapa beratnya saat itu perasaanku, aku menangis di kamarku mencari ibu seperti biasa meminum ASI sebelum tidur tapi di kamar yang lain ibuku juga menangis karena tidak tega melihatku yang sedang “disapih”(putus ASI).

Ketika aku mulai kanak-kanak, adikku juga sudah mulai bertumbuh. Kadangkala kami bermain bersama. Sebagai anak-anak, tidak jarang kami berebut mainan dan merasa memiliki hak untuk memakai mainan sesuka kami. Kalau sudah begitu terjadilah pertengkaran karena tidak ada yang mau mengalah. Namun yang membuat aku sedih, orangtuaku memintaku supaya menyerahkan mainan itu kepada adikku. Alasan mereka karena aku sudah besar dan harusnya bisa mengalah kepada adik yang masih kecil.
Tentu saja aku tidak bisa protes. Bukankah aku juga punya hak untuk bermain? Bukankah adikku juga harus belajar menghargai hak milik orang lain? Apakah sebagai anak sulung harus selalu mengalah?

Ketika aku bertambah usia. Orangtuaku ternyata juga menambah jumlah anak. Entah direncanakan atau tidak. Tapi yang terjadi, aku sekarang memiliki empat adik. Padahal sebenarnya kemampuan ekonomi keluarga kami hanya pas-pasan. Kedua orangtuaku harus bekerja demi mencukupi kebutuhan kami sekeluarga. Itupun kadang masih harus ngutang sana sini.

Sebagai anak sulung, mau tidak mau, aku harus menerima tanggungjawab menjaga adik-adikku selagi orangtuaku bekerja. Kadang aku tidak bisa bebas pergi bermain dengan teman-temanku karena adik-adikku selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Bila ada sesuatu yang buruk menimpa salah satu adikku, maka aku yang akan terkena amarah orangtuaku. Dikatakan aku tidak becus mengurusi adik-adik.

Dengan susah payah orangtuaku berusaha untuk membiayai aku sampai aku bisa kuliah. Dan memang benar aku bisa diterima di PTN dan kuliah. Namun yang sering membuatku risih, orangtuaku selalu berpesan supaya kelak bila aku sudah bekerja maka aku dimintanya untuk membiayai adik-adikku. kata mereka “supaya bisa membalas budi orangtua”.

Akhirnya satu demi satu aku membiayai sekolah adik-adikku. Memang ini sesuatu yang wajar apabila kakak membantu adik termasuk anak membatu orangtua. Ini sesuatu yang baik pula. Pasti ini juga bisa menjadi teladan bagi orang lain.

Namun yang membuat aku merasa tidak nyaman. Apakah sebagai anak sulung harus menerima semua beban orangtua? Bukankah hidup dan sekolah adik-adikku tetap harus menjadi tanggungjawab orangtuaku? Kalau itu dibebankan kepadaku, maka aku akan terbebani dengan dua tanggungjawab : yang pertama, untuk adik-adikku. yang kedua, untuk anak-anakku sendiri kelak. Bukankah itu sesuatu yang berat. Bukankah aku juga tidak merencanakan atau meminta untuk dilahirkan sebagai anak sulung?

Sebenarnya akan sangat baik bila orangtua tidak memerintahkan atau membebankan tanggungjawabnya ke anak sulung. Kalau toh si anak sulung akhirnya membantu, biarlah itu bukan karena balas budi dan kewajiban. Kewajiban dan tanggungjawab anak adalah kepada anak-anaknya kelak. Dan tentu saja, anak yang baik, pastilah akan memahami kondisi keluarganya.

*) tokoh “aku” hanyalah rekaan saja

Selasa, 13 Desember 2011

Anak Monster (renungan batin – Orangtua & Anak - 4)


Memiliki anak memang menyenangkan. Bagi keluarga muda yang merindukan segera menimang anak, tentu sesuatu yang sangat menggembirakan bila anak itu lahir. Apalagi bagi pasangan yang telah lama menikah namun belum dikarunia anak, itu pasti juga sangat dinanti-nantikan. Apalagi itu anak pertama.

Biasanya hanya berdua dan suasana rumah terasa sepi, kini terdengar suara bayi yang memecah keheningan dan menciptakan keramaian yang menyenangkan. Tangis bayi itu, ocehannya, ketawanya dan sebagainya sepertinya menjadi sesuatu yang menyenangkan. Meskipun harus sering mengganti popok yang basah terkena pipis atau kotoran, malam-malam terbangun karena si bayi justru tidak tidur, namun semua itu tidak menjadi beban bagi orangtua untuk melakukannya karena perasaan yang gembira karena kehadiran bayi itu tak tergantikan.

Selalu ada moment untuk diabadikan dalam foto-foto dan itu menjadi catatan perjalanan si anak. Bila orang tua bertemu temannya, temanya selalu tentang anak yang dibicarakan dan tak berat hati si orangtua akan menunjukkan foto terbaru anaknya kepada teman-temannya. Selalu ada cerita tentang anak dan tidak pernah kehabisan kata-kata untuk menguraikannya.

Selalu ada kerinduan bila orangtua pergi. Yang dirasakan menyesak di dada adalah dorongan untuk memeluk, bercanda, membelai dan sebagainya kepada si anak. Maka seringkali orangtua akan menyimpan foto anaknya di dompet atau di HP bahkan mem-video-kan anaknya supaya bisa dilihat dimanapun di saat rasa “kangen” itu muncul. Bila salah satu pasangan pergi, entahlah apakah kerinduan ini sama yang dirasakan terhadap pasangannya? Atau kerinduan terhadap anak berbeda dengan kerinduan terhadap pasangan?

Namun saya menyadari bahwa didalam kondisi yang sangat menyenangkan dan hal itu sangat wajar dialami semua orangtua dalam hubungannya dengan anaknya. Ada fakta yang tidak bisa saya abaikan, anak saya tetaplah sebagai orang berdosa. Dia dilahirkan dalam dosa. Di dalam dia ada potensi untuk berbuat dosa. Ada waktunya nanti tanda-tanda pembrontakannya akan nampak. Dia akan mewarisi sikap tidak mau di atur dari nenek moyangnya.

Saya harus melihatnya secara seimbang. Saya tahu anak saya memberikan kegembiraan, penghiburan, dan bisa memberikan kebaikan-kebaikan yang lainnya namun di sisi lain anak saya tersebut dapat membuat saya sedih, kecewa, menangis bahkan marah dan kalau perlu ada tindakan disiplin kepadanya karena tabiat dosanya.

Akan ada waktunya, biasanya mulai usia dua tahunan anak akan makin menampakkan ciri perlawanannya. Mereka akan menentang kewibawaan orangtua. Pada masa itu terjadi “pergulatan” antara si anak dan orantuanya, untuk memenangkan siapa yang berkuasa dirumah.

Persoalannya seringkali perlawanan-perlawanan kecil ini dianggap remeh dan lucu oleh para orangtua, sehingga tidak jarang mereka malah mentertawakan perilaku tersebut. Mereka menganggap itu polah anak-anak.

Anak-anak tidak cukup mendapat pemenuhan sandang pangan dan kasih sayang. Namun juga membutuhkan disiplin. Hal ini diperlukan karena menghadapi dorongan dosa dalam diri anak, yang anak itu sendiri bergumul dalam mengatasinya. Dilakukan bukan karena benci tapi karena kasih, bersama-sama menolong anak mengatasi pergumulannya melawan dosa. Kadang akan menangis bersama karena menyadari betapa ngerinya dosanya, kadang tertawa bersama setelah melewati disiplin bersama.

Ada anak yang usia tiga tahun yang disuruh ibunya tidur siang, tapi ia tidak mau dan ia berteriak-teriak yang mengganggu tetangga. Lalu ia minta minum lalu minta yang lain, yang sebenarnya ingin menyatakan penolakan pada perintah ibunya. Pertama-tama ibunya menolak, tapi akhirnya ibu ini menyerah karena anaknya menjerit dengan keras. Ceritanya tidak sampai disini. Ada keadaan yang tragis dialami si ibu ini, suatu malam ketika dia tidur, anaknya bangun dan membuang pipisnya ketelinga si ibu.

Mungkin hal ini tidak pernah terbayang oleh si ibu bahwa anaknya yang dulu menyenangkan sekarang meyusahkan hatinya. Dulunya lucu dan baik sekarang menjadi anak monster.

Sebenarnya si anak membutuhkan pertolongan dalam mengatasi tabiat dosanya. Tugas orangtua menolong supaya dia menghargai orangtuanya dan taat. Ini dilakukan terus menerus dan membutuhkan kesabaran dan doa. Bila orangtua salah mengasuhnya, maka bisa jadi akan muncul monster dalam keluarga.

Rabu, 07 Desember 2011

Penebar pesona (Renungan Batin – 13)


Aku melangkah dengan tegap dan pasti. Kususuri jalan-jalan berliku tanpa lelah dan lesu. Aku lelaki muda yang penuh dengan gairah. Terbang bagai kumbang ke sana kemari menebar aroma untuk menikmati sari bunga.

Pada suatu waktu aku menikmati kebersamaan dengan Dinda. Kami sama-sama menyukai hobby bermain catur bahkan juga olah raga yang sedikit memacu adrenalin misalnya panjat tebing. Dia memang cewek unik, rambutnya dipotong pendek, minus anting di telinganya. Tapi tetap ciri kewanitaannya masih terlihat jelas. Biasanya setelah bermain bersama, kami suka makan bakso dan bercanda. Aku tidak segan-segan mengalungkan pelukanku di lehernya. Dia biasa aja, paling bila kucubit pipinya dia akan meninju perutku sambil matanya melotot.

Di kampus ada Wida, yang kemana-mana sering kuboncengkan. Aku banyak mendapat pertolongan darinya tentang mata kuliah yang aku tidak paham. Dia gadis yang pandai, alim, dan sederhana sekali. Dulu kalau berangkat dan pulang kuliah dia sering naik bis kota. Namun sejak aku dekat dengan dia, aku yang menjemput dan mengantarnya pulang. Orangtuanya juga sudah dekat dengan aku. Bahkan ak sering makan di rumahnya. Teman-teman kampus sering mengatakan kalau kami ini pacaran. Aku dan Wida hanya senyam-senyum saja mendengarnya.

Aku juga aktif dalam kegiatan rohani. Aku sering mengikuti persekutuan di gereja. Di sana pula aku bisa mengenal gadis-gadis yang kini juga dekat dengan aku. Kami sering sharing bersama, membentuk vocal group dan sering mengisi ketika kebaktian di gereja dan kegiatan-kegiatan lainnya. Ada Kurnia, Risa, Damar, dan sebagainya. Kepada mereka ini aku sering banyak dimintai tolong. Aku sering mentraktir mereka, mengantar kesana kemari, atau bahkan untuk hal-hal di luar urusan kegiatan gereja. Mereka sering berkata kalau aku ini cowok yang baik hati dan mudah untuk menolong.

Kepada teman-teman gadis ku itu, semuanya kuanggap istimewa. Aku dekat dengan semua namun aku tidak atau setidak-tidaknya untuk saat ini aku belum mau pacaran dengan siapapun termasuk dengan mereka. Mungkin yang aku lakukan ini karena rasa persahabatan atau persaudaraan, meskipun harus kuakui kadang ada perasaan tertarik pada beberapa orang dari antara mereka.

Memang banyak orang sering menegurku supaya aku tegas dan tidak mempermainkan perasaan wanita. Aku yang merasa tidak sedang sengaja bersikap demikian tentu saja aku tidak terima dengan pernyataan itu. Bagiku bila belum ada pernyataan resmi kalau “aku cinta kamu” dari aku ke seorang wanita maka itu artinya aku mengagapnya masih sebatas teman.

Namun sekarang aku menyadari, bisa saja sikap dan tingkah lakuku ini salah, karena aku tidak tahu dengan tepat bagaimana perasaan gadis-gadis itu. Selain itu mereka juga tidak sama tingkat kedewasaannya. Bisa saja, ada di antara mereka yang menganggap aku ini suka padanya atau bahkan menganggap aku pacarnya. Wah kalau begitu gawat sekali..

Ternyata benar, ada teman gadisku itu yang sudah menyebar isu sengaja atau tidak, kalau kami ini pacaran. Dia mengatakan buktinya kalau aku sering main kerumahnya, mengirim SMS yang bernada perhatian, memberikan kado istimewa di hari ulang tahunnya dan sebagainya. Dan itu memang benar, namun aku melakukan semua itu karena dia sahabatku. Aku memperlakukannya sama dengan teman-teman gadisku yang lain. Nampaknya dia jadi GR (gede rasa).

Mengetahui hal ini, memang ada perasaan bangga pada diriku. Bagaimana tidak, disukai banyak gadis dimana-mana. Sepertinya mereka menunggu pinanganku.
Namun aku jadi merasa bersalah, bingung, sungkan apalagi bila ternyata para orangtua mereka juga sudah menyimpulkan hal keliru terhadap sikapku selama ini pada anak-anak gadis mereka.

Sebagai manusia wajar bila aku bergaul dan memiliki banyak teman dengan siapapun. Sebagai laki-laki lumrah juga bila aku dekat dengan lawan jenis seperti aku dekat dan bersahabat dengan laki-laki lain.

Tapi yang aku harus ingat, bahwa sebagai laki-laki aku bisa saja terjebak dengan naluri untuk menolong, memberi perhatian, membela, melindungi dan sebagainya terhadap para wanita. Meskipun itu juga normal, namun tidak semua gadis dapat berpikir dan merasakan itu sebagai hal yang wajar. Ada batas-batas antara perhatian ke sahabat dan dengan seorang kekasih atau yang sedang disukainya.

*) semua nama di atas hanya fiktif

Senin, 05 Desember 2011

Sampai Disini (Renungan Batin – 12)


Bila aku mengenangnya. Aku sering menangis sendiri. Apalagi saat aku melamun, maka tiba-tiba ingatanku melayang ke sana. Aku sudah mencoba untuk tetap tegar tapi toh kadang aku tidak bisa menghindar dari perasaan sedihku. Memang kesibukan study dan dengan bergaul dengan teman-teman sedikit mengalihkan perhatianku padanya.

Hubungan kami sudah cukup lama, sekitar 2 tahun. Selama itu kami menikmati banyak hal, suka dan duka bersama. Tawa canda dan tangis air mata mewarnai perjalanan percintaan kami. Pergi bersama dan berdiskusi tentang berbagai isu dengannya sungguh menyenangkan dan sulit untuk dilupakan. Memang kadang kami bertengkar, saling cemburu,lalu diam-diam an hingga akhirnya rujuk kembali.

Kami saling mengenal dan bersahabat lalu berpacaran ketika kami bersama-sama ikut dalam komunitas yang membangun pertumbuhan iman kami. Kami sering melakukan kegiatan bersama, berdoa, belajar firman Tuhan dan melayani bersama. Rasanya senang bisa mendapatkan pasangan yang seiman. Dan aku berpikir bahwa hubungan kami akan langgeng sampai ke jenjang pernikahan, namun nyatanya tidak demikian. Kami putus.

Memang sangat disayangkan keadaan ini, namun mungkin lebih baik terjadi sekarang ini ketika kami masih berpacaran dan belum masuk pernikahan. Persoalannya karena ketidakdewasaan kami. Pacarku tidak mau terikat. Dia maunya bisa bebas bergaul dengan siapapun dan lebih mementingkan waktu bersama teman-temannya daripada dengan aku. Padahal aku ingin dia lebih banyak waktu bersamaku. Memang dia sering mengatakan kalau aku ini banyak menuntut. Nggak boleh ini nggak boleh itu. sering dia jengkel dan aku juga kesal. Karena sering bertengkar untuk masalah ini, akhirnya kami menyudahi hubungan kami.

Harus aku akui ternyata aku termasuk orang yang “possesive”. Apabila aku berhubungan dekat dengan seseorang maka aku cenderung ingin menguasainya. Dalam pikiranku, dia adalah milikku. Maka segala sesuatu harus terkait dengan diriku. Bila ada orang atau apapun yang lebih dekat dengannya maka aku akan cemburu dan berusaha untuk menarik perhatiannya lagi ke aku. Bahkan dengan orangtuanya, aku juga sering iri hati bila pacarku itu terlalu dekat dan bermanja-manja dengan mereka. Apalagi bila dia sering curhat dengan orangtuanya tapi dia tidak cerita kepadaku, pasti aku akan marah sekali. Padahal sebenarnya dia memang masih menjadi tanggungjawab orangtuanya, sudah tentu dia baik kalau ada apa-apa cerita kepada orangtuanya.

Bahkan aku sering memaksanya untuk memperlihatkan kepadaku setiap SMS yang masuk ke HP nya, karena pikirku siapa tahu ada orang lain yang suka ke mantan pacarku itu. Kadang dia santai saja menanggapinya, namun kalau dia sedang tidak enak hati maka dia sering marah-marah karena desakanku itu.

Aku memang terlalu banyak mengatur mantan pacarku dulu. Seharusnya aku menyadari bahwa diri kami ini belum terikat secara formal dalam pernikahan. Kalau sekarang saja sudah banyak mengatur, apalagi besuk kalau menikah. Pasti pasanganku tidak akan tahan bila sikapku demikian.

Aku juga harus mewaspadai kelemahanku ini karena bila aku tidak berubah maka pasti aku akan bermasalah bila berhubungan dengan siapapun juga.

Sekarang harus bagaimana setelah putus?

Aku tahu ternyata meskipun kami dulu saling mendoakan sebelum kami memutuskan untuk berpacaran, kami bisa putus. Itu artinya bisa jadi kami dulu salah menangkap kehendak Tuhan bagi kami. Bisa jadi perasaan kami yang lebih banyak mendominasinya dalam membuat keputusan. Atau dalam perjalanan pacaran, kami menemukan karakter kami yang tidak baik, oleh karena itu kami harus mengevaluasi diri.

Yang penting aku harus membenahi sifat burukku ini. Dan aku tetap bersikap terbuka dengan siapapun kelak Tuhan akan memberi teman hidup bagi aku. Bila dengan mantan pacarku bisa rujuk, biarlah kami sudah dipersiapkan dalam karakter yang dewasa. Namun aku tidak boleh terlalu berharap supaya tidak kecewa bila tidak terjadi. Namun bila dengan orang lain, aku juga akan membangun hubungan dengan baik untuk saling menghargai dan tahu batas-batas dalam berpacaran.

Aku tidak boleh terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Hidupku harus berjalan. Bukankah masalah teman hidup bukan segala-galanya dalam hidupku. Aku harus terus bertumbuh dan melayani Tuhan.