Minggu, 29 Januari 2012

Sentuhanmu menghangatkanku (Renungan Batin – Suami & istri - 8)


Malam itu aku tidak bisa melupakan dan selalu kukenang. Itu bukan yang pertama dan yang terakhir. Hari-hari selanjutnya istriku melakukannya lagi padaku. Dulunya aku yang memintanya namun sekarang tanpa kumintapun dia berinisiatif melakukannya. Bahkan dia melakukan dengan senang hati dan penuh kasih sayang.

Dia tahu bagian mana dari tubuhku yang sensitive untuk dipegangnya. Dia selalu menyentuh dan membelai kening dan kepalaku. Itu bagian yang peka sekali bila disentuh istriku. Seperti anak kecil yang dibelai ibunya aku meringkuk dalam pelukan istriku.

Bila terjadi proses “penyentuhan’ ini, maka terasa tenang, lega dan hangat mengalir dari atas kepala menyelinap ke dasar hati dan jiwaku. Semua beban terasa terangkat. Dia tidak usah mengurai kata-kata penghiburan padaku. Sentuhannya sudah menyatakan komunikasi di antara kami berdua.

Kehausan sentuhan dan belaian ini kurasakan begitu lama sedari aku kecil. Betapa sedikitnya aku mengecap prosesi penting ini yang seharusnya aku bisa nikmati dulu dari ke dua orangtuaku. Namun ayahku justru sama sekali tidak peduli dengan keberadaanku dan ibuku menjadi “keras” dan berkurang kelembutannya karena tempaan hidup yang tercipta karena ayahku. Maka aku bertumbuh hingga dewasa menjadi orang yang keras juga namun sebenarnya jiwaku rapuh dan nyaliku kecil. Itu semua karena minimnya sentuhan yang kudapatkan.

Tapi syukur sekarang kudapatkan dari istriku. Memang itu terjadi pada mulanya ketika ada “badai” kehidupan yang menerpaku. Aku tidak mampu menghadapinya dan aku merasakan kerapuhan jiwaku. Di saat-saat seperti itu, Tuhan mengingatkan bahwa aku lemah, tak berdaya, tak mampu sendiri dan aku membutuhkan istriku. Dalam belaian tangannya, kubiarkan dia merasuki seluruh sanubariku dan kutenggelamkan tangisku dalam dekapan hangatnya. Seakan terucap : “ aku di sini bersamamu”, “kamu tidak sendirian”, kamu aman”, “jangan takut”, “bebaslah kamu menangis”.

Sering juga kuupayakan diriku membelai dan menyentuh tubuh istriku, tidak dalam aktivitas dan motivasi seksual. Namun dorongan kasih sayang dan kelembutan. Demikian juga aku dan istriku membiasakan selalu membelai, memeluk dan memegang anak-anak. Itu bahasa komunikasi sentuhan.

Aku menyadari betapa besarnya pengaruh sentuhan itu. Setiap orang membutuhkannya semenjak bayi hingga dewasa sekalipun. Itu akan menyalurkan semangat dan perasaan-perasaan yang positif. Bisa juga menenangkan detak jantung yang cepat, mengurangi rasa sakit dan sebagainya.

Bukankah dalam kulit manusia penuh dengan jutaan ujung saraf yang disebut reseptor sentuhan. Bila kita disentuh maka reseptor-reseptor itu akan mengirim pesan ke otak dan kemudian otak akan mengeluarkan zat-zat kimia yang dibutuhkan dalam situasi itu.
Sentuhan yang dikenal dengan “ibu segala perasaan” ini dapat mengomunikasikan bermacam-macam pesan : “ aku cinta kamu”, “percayalah”, “aku disampingmu” dan sebagainya tergantung situasi yang terjadi saat itu.

Yang jadi masalah adalah pasangan-pasangan yang belum menikah berusaha aktif melakukan aktivitas sentuhan fisik ini, sedangkan pasangan-pasangan yang sudah menikah malah jarang melakukannya kecuali saat aktivitas seksual atau sentuhan ala kadarnya cium pipi sebelum pergi dan sebagainya. Ini sama-sama salah. Sentuhan fisik yang intim ini justru perlu dilakukan dalam pernikahan.

Istriku, aku tahu bahwa sentuhanmu menghangatkanku. Jiwaku ditegarkan karena belaianmu. pertolonganNya mengalir melalui usapanmu. Selalu kurindu saat ku masuk dalam dekapanmu.

Jumat, 27 Januari 2012

Gaya Hidup (Renungan Batin – Suami & Istri - 7)


Bersyukur sekali pernikahanku dapat berjalan dengan baik dan aku sangat menikmatinya. Seiring dengan itu karierku di sebuah perusahaan swasta juga menanjak dengan relatif cepat. Maka itu otomatis mempengaruhi penghasilanku sehingga kehidupan keluarga kamipun tercukupi bahkan berlimpah. Apalagi ditambah dengan pemasukan dari bisnisku yang lain.

Rasanya makanan apapun bisa kami nikmati. Pakaian mewah model rancangan siapapun bisa kami kenakan. Mobil jenis apapun juga bisa kami tumpangi. Rumah dengan gaya arsitektur apapun juga dapat kami tinggali. Termasuk tempat-tempat wisata manapun juga bisa kami singgahi. Semuanya itu bisa kami miliki dan nikmati dengan kekayaan yang kami punya.

Apalagi simpanan kami berupa deposito, tanah, emas, obligasi, saham dan sebagainya juga tersebar di sana sini. Aku rasa aku sudah bisa mendapatkan semua yang aku impikan selama ini. Aku juga dapat mengecap rasanya menjadi orang kaya yang dihormati dimana-mana, berpakaian necis, kemana-mana tak lupa menenteng BB, Ipad, Laptop atau apapun peralatan komunikasi canggih lainnya, HP selalu berdering tanda selalu dibutuhkan orang, dan sebagainya. Bukankah ini yang dicari semua orang?

Aku ingat dulu di waktu masih kanak-kanak. Aku hidup dari keluarga yang sangat melarat. Aku sudah merasakan pahitnya menjadi orang miskin. Bahkan kadang karena tidak ada makanan di rumah, kami sering meminta belas kasihan ke tetangga supaya dapat menyambung hidup. Meski sering kami mendapat cibiran bibir bahkan omelan karena mereka merasa terganggu sebab kami bukan sekali dua kali merepotkan mereka. Namun ada juga beberapa tetangga yang baik hati mau memberi makan kepada kami walaupun itu hanya nasi dan sayur olahan kemarin yang dihangatkan lagi.

Tidak jarang aku juga makan nasi hanya dengan garam atau sambal. Hmm…saat itu bagiku rasanya sangat nikmat sekali. Untuk makan daging ayam kami harus menunggu pemberian orang lain atau kalau ada hajatan dari tetangga. Demikian juga dengan pakaian, sangat minim sekali. Namun semua itu justru membuatku terpacu untuk belajar dengan sungguh-sungguh.

lambat laun kondisi ekonomi kami mulai membaik. Beruntung kedua orangtuaku sangat memperjuangkan aku supaya dapat terus sekolah. Aku menjadi siswa yang berprestasi dan sering mendapat beasiswa bahkan sampai aku lulus kuliah.

Nampaknya “luka” masa lalu karena kemiskinan itu sangat mempengaruhi aku pada awal-awal aku bekerja dan menikah. Apa yang aku dulu tidak dapat menikmatinya, maka setelah punya uang semua itu aku lampiaskan untuk menikmatinya. Sepertinya gaya hidupku seperti OBK atau “orang baru kaya”.

Sekarang aku mulai merenungkan semua ini. Apa sebenarnya arti hidup dan apa tujuan hidupku. Apakah aku akan hidup berfoya-foya dengan segala kegelimangan harta benda? Apakah semua ini membuatku puas? Apakah aku haus penerimaan atau penghargaan orang dengan kekayaanku ini? Ataukah sebenarnya aku ini orang yang mengalami kepahitan hidup?

Aku menyadari masih banyak orang yang mengalami keadaan seperti aku pada masa kecil. Hidup serba kekurangan, bukankah mereka juga membutuhkan uluran bantuan? Bukankah dulu juga ada orang yang rela memberikan nasi dan sayur kepadaku sehingga aku bisa hidup sampai sekarang? Bagaimana kalau tidak ada orang yang mau memberiku makan saat itu? Mungkin aku sudah mati.

Aku mulai membicarakan dengan istriku. Aku harus mengakhiri semua gaya hidup yang tidak sehat ini. Aku harus menetapkan seberapa besar gaya hidupku dan keluargaku untuk batas “cukup”. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan pakaian? Bukankah cukup bila memiliki pangan, sandang dan papan. Tentu saja pendidikan. Oleh karena tidak semua orang memiliki hal itu.

Aku dan istriku mulai berhitung seberapa kebutuhan kami per bulan dan untuk tabungan. Bila kami mempunyai uang lebih, biarlah itu diberikan kepada orang lain yang membutuhkan dan untuk hamba Tuhan dan pekerjaanNya. Aku harus komitmen untuk mengatakan bahwa kelebihan uang itu adalah rejeki bagi orang lain. Barang-barang yang baik dan tidak lagi dipakai, diberikan kepada orang lain. Tidak ada penumpukan benda atau harta yang tidak digunakan. Siapa tahu ada yang membutuhkan. Membeli dan menggunakan barang yang dibutuhkan dan bukan yang diinginkan.

Gaya hidupku haruslah sederhana. Bahkan aku ingin supaya hal ini tidak dilihat orang lain. Pernikahan menjadi berarti ketika hidup kami bisa menjadi pertolongan bagi orang lain dalam hal apapun juga.

Rabu, 25 Januari 2012

Sapi Perahan (Renungan Batin – Suami & Istri - 6)


Aku memang dibesarkan dalam keluarga yang miskin. Untuk pendidikan merupakan barang mewah bagi kami, sehingga rasanya sulit untuk bisa kuliah. Bahkan untuk biayaku masuk SMA dibutuhkan kerja keras dari orangtuaku. Makan kenyang tiga kali sehari dengan lauk apa adanya saja sudah penuh dengan ucapan syukur. Apalagi kami keluarga besar. Aku dilahirkan sebagai anak sulung dari tiga orang adik-adik yang masih kecil. Sedangkan ayah dan ibuku hanyalah bekerja sebagai buruh dengan penghasilan pas-pasan.

Sedari aku kecil orangtuaku selalu menekankan padaku supaya sebagai wanita aku harus dapat merawat diri. Meskipun miskin namun aku harus bisa kelihatan cantik dan bersih. Kata ibuku lagi, itu merupakan modal yang penting untuk memikat kaum lelaki. Bukankah pada mulanya para pria rasa tertariknya didorong karena melihat penampilan dan wajah cantik perempuan?

Orangtuaku juga berharap supaya kelak aku bisa menikah dengan seorang laki-laki yang kaya. Dengan begitu hidupku akan terjamin dan segala keperluanku akan tercukupi. Demikian juga dengan keluargaku tentu saja akan menerima kelimpahan dengan pemberian-pemberianku kelak. Mereka juga berpesan supaya aku juga memperjuangkan nasib ketiga adik-adikku. Masa depan mereka tergantung dari aku.

Beberapa kali sempat ada teman-teman laki-laki sekolahku yang mencoba naksir aku. Bahkan ada yang berani datang ke rumah berharap untuk mendapat “lampu hijau” dari orangtuaku. Namun akhirnya mereka semua mundur teratur karena orangtuaku tegas menolak mereka. Aku dipaksa untuk menjauhi mereka. Aku sempat protes dan marah karena mereka teman-temanku dan aku sempat juga jatuh hati kepada salah seorang dari mereka. Alasan orangtuaku karena teman-temanku itu tidak bisa menjamin masa depan kami. Masa depan mereka sendiri saja belum jelas.

Aku mau tidak mau hidup dengan tekanan dari orangtuaku itu. Selepas lulus dari SMA aku bekerja di sebuah perusahaan kecil dan hidup sehari-hari dengan mengandalkan gaji sebagai karyawan pabrik itu. Namun target orangtua sebenarnya supaya aku segera menikah. Tidak perlu menunggu waktu lama. Oleh karena itu mereka sangat senang kalau ada teman kerjaku apalagi atasanku yang posisinya tinggi dan gajinya besar main ke rumahku. Sikap orangtuaku sangat manis menyambut mereka tentu aku tahu apa motivasi mereka mau melakukan hal itu.

Akhirnya memang setelah beberapa tahun kemudian aku menikah dengan seorang duda dengan satu anak. Usianya terpaut sepuluh tahun denganku. Dia memiliki bengkel mobil dan toko onderdil. Sebenarnya aku tidak mencintainya. Dulunya dia datang ke orangtuaku dan memintaku untuk menjadi istrinya. Tanpa berpikir panjang orangtuaku segera memaksaku untuk menerima lamarannya. Yang mereka lihat calon menantu ini punya usaha dan pasti uangnya banyak serta akan mengangkat martabat mereka. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya dan kemanapun dibawa pergi kerbau itu akan menurut. Demikian juga aku pada saat itu.

Bagiku pernikahan ini bukanlah untuk dinikmati dan bukan untuk dirasakan. Rasa itu sudah terkubur mati. Yang ada hanyalah kewajiban dan tanggungjawab. Ibarat kerbau yang membajak sawah yang dipundaknya dikenakan kuk. Menjalani nasibku seperti kerbau dan orangtuaku penunggang kerbaunya. Yang penting aku bisa makan dan hidup. Demikian juga dengan orangtuaku dan adik-adikku mendapat aliran-aliran dana yang rutin dariku.

Tak peduli dengan tubuhku akan dijadikan pemuas nafsu. Tak kupikirkan apa itu cinta. Tak kugubris aku menikah dengan duda yang sudah berumur. Bahkan tak kuambil pusing, seandainya dia akan berselingkuh dan menikah lagi. Yang penting bagiku, aku tidak dicerai dan aku tetap bisa ikut hidup menikmati kekayaan bersama keluargaku. Suamiku dan pernikahanku adalah rasa amanku dan pencukupanku.

Aku sadar ini sesuatu yang salah. Sebenarnya siapa yang menikah? Orangtuaku atau aku? Apakah mereka peduli kalau seandainya aku menderita? Akankah nasibku akan terus begini? Menjadi sapi perahan….

Senin, 23 Januari 2012

Tanpa Intimacy (Renungan Batin – Suami & istri - 5)


Setelah sekian tahun aku berumah tangga dan tidak terasa waktu dijalani dengan kesibukan sehari-hari. Mengurusi keperluan anak-anak, memasak, mencuci pakaian dan sebagainya. Demikian juga dengan suamiku yang mencurahkan waktunya untuk bekerja dari pagi hingga menjelang malam, belum lagi kalau ada lemburan di kantor. Keadaan itu yang kami jalani setiap hari yang mau tidak mau harus dihadapi.

Bila ditambah lagi dengan kegiatan lain seperti kegiatan social atau pelayanan ke orang lain, maka sudah sedemikian padat wakt-waktu kami, sehingga tak disadari waktu yang dijalani terasa begitu cepat dan menjadi rutinitas yang tidak dapat dinikmati lagi. Hubungan suami istri dan hubungan orangtua anak-anak juga terasa “jauh”. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri-sendiri.

Komunikasiku dengan suami juga datar-datar saja. pembicaraan-pembicaraan kami tidak lebih hanya membahas seputar masalah anak-anak, ekonomi dan persoalan-persoalan sehari-hari lainnya yang sepertinya tidak pernah habis. Bahkan kami sering sekali atau enggan untuk berkomunikasi secara mendalam karena kelelahan fisik dan emosi yang sudah terkuras seharian dengan kegiatan-kegiatan yang ada.

Hubungan intim kamipun terasa tidak lagi bisa dinikmati. Kalau toh dilakukan, itupun seperti memenuhi kewajiban demi mematuhi dengan apa yang dinamakan “melayani” suami. Jadi seringkali aku merasa “terpaksa” dalam melakukan aktivitas yang penting ini. Suamikupun demikian juga, bila sudah selesai dengan “tugasnya” , maka cepat-cepat dia hanyut dalam bunyi-bunyian khasnya yang mengiringi lelap mimpi-mimpinya. Tidak ada komunikasi, tidak ada rasa, dan semuanya terasa berjalan mekanis. Daging bisa menyatu tapi hati dan perasaan bisa tak berpadu.

Maka yang terjadi seringkali kami mudah konflik karena kesalahpahaman. Demikian juga nada yang kami pakai sering menggunakan nada tinggi sehingga mudah membuat kami saling menyakiti. Aku merasa akulah yang benat dan suamiku salah. Mungkin begitu juga yang dipikir dan rasakan suamiku terhadapku. Kami jadi sering diam-diaman. Kami saling merasa asing satu dengan yang lain seperti tidak saling kenal sebelumnya.

Akupun merasa suamiku tidak mengerti perasaanku. Sebenarnya aku hanya ingin dimengerti dan didengar. Kadang aku tidak ingin dinasehati atau diberitahu kalau aku sedang menceritakan masalahku. Karena kadang aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan bila menghadapi masalah dalam keluarga. Aku hanya ingin sekali suamiku memahami apa yang kurasakan dan aku akan merasa dapat kekuatan menanggung kesulitan apapun. Aku jadi merasa dapat dukungan dan aku tidak sendirian.

Aku menyadari semua ini karena kami sudah kehilangan “intimacy”. Kesempatan-kesempatan untuk berbagi perasaan sudah terenggut dengan kegiatan-kegiatan rutin di rumah ataupun di kantor. Namun bisa juga oleh pelayanan yang kelihatannya baik, tapi tidak terasa dapat menggeser prioritas hubungan kami berdua. Kami sudah mengabaikan apa yang menjadi kebutuhan kami sebagai pribadi. Kami membutuhkan keintiman secara hati atau perasaan.

Ternyata pernikahan tidak hanya sibuk mengurusi masalah makan dan pendidikan bagi anak-anak namun juga perlu diperhatikan bagaimana kami mengisi kebutuhan intimacy suami istri. Keintiman ini justru dibutuhkan dalam pernikahan karena dapat memperat hubungan suami istri yang pada akhirnya akan menjadi kebaikan juga bagi anak-anak kami.

Apabila kami tidak memperhatikan hal ini, maka bisa jadi kami akan menjalani pernikahan kami dengan berat bahkan sekalipun kami tidak bercerai. Selain itu bila kami tidak membenahi hal ini maka peluang untuk perselingkuhan akan sangat terbuka bagi kami masing-masing karena kami yang sedang “kosong” akan dimasuki oleh orang-orang yang sepertinya bisa mengisi pengertian, kepedulian dan perhatian secara instan.

Akhirnya aku dan suamiku sama-sama menyadari kebutuhan ini. Oleh karena itu kami membuat komitmen untuk menyediakan waktu bagi kami berdua setiap hari untuk berbicara dari hati ke hati dan mencurahkan perasaan kami masing-masing. Ada kalanya kami harus “tega” menitipkan anak-anak ke orang lain supaya kami bisa pergi berdua untuk makan, nonton atau hanya sekedar jalan-jalan berdua seperti yang dapat kami nikmati ketika pacaran dulu.

Kami menyadari “intimacy” bisa hilang dalam pernikahan dan itu harus diupayakan terus menerus sehingga terjalin keintiman suami istri secara menyeluruh.

Sabtu, 21 Januari 2012

Pernikahan bukan untuk bahagia (Renungan Batin – Suami & Istri - 4)


Sebelum menikah aku juga mengangankan supaya kelak pernikahanku akan berbahagia. Bukankah itu yang terbayang dalam benak setiap orang bila memasuki hidup berumah tangga. “Semoga berbahagia” Itu pula yang diucapkan dan dituliskan dalam kartu-kartu ucapan pernikahan. Meskipun kata “semoga” itu juga menyiratkan kemungkinan bisa terjadi kondisi yang sebaliknya alias tidak bahagia.

Aku mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan kata “bahagia” itu dalam pemikiran banyak orang. Biasanya orang menjelaskan arti “bahagia” dalam pernikahan adalah harmonis, rukun, tercukupi kebutuhannya, punya anak-anak yang baik dan tidak bercerai sampai maut memisahkan. Aku pikir itu sesuatu yang sangat baik. Namun apakah itu tujuan pernikahan yang dibangun?

Persoalannya ada keluarga-keluarga yang tidak memiliki anak, apakah mereka tidak bahagia? Atau kebahagiaannya tidak lengkap? Ada juga yang tercukupi dengan segala harta bendanya namun sering ada pertengkaran yang membuat tidak nyaman di rumah, apakah ini juga kebahagiaan? Tidak sedikit pula ada pasangan-pasangan yang secara status tidak bercerai namun sebenarnya mereka sudah “pisah ranjang” di bawah satu atap, meskipun nampak di depan orang mereka kelihatan rukun-rukun saja, bukankah itu sebenarnya juga sudah “bercerai”? apakah ini juga bahagia?

Ketika aku memasuki pernikahan maka sebenarnya aku dan teman hidupku sedang menuju arah yang sama dan mencapai tujuan bersama. Pernikahan ini bukan untuk coba-coba dan juga bukan dijalani seperti “air mengalir”. Selain itu pernikahan ini juga bukan akhir dari tahapan hidupku tapi merupakan sarana untuk mencapi tujuan tertentu.

Aku menyadari bahwa tujuan ini bukanlah kami yang menetapkan namun Pemilik hidup kami itulah yang menghendakinya. Karena hidup kami memang diperuntukkan bagiNya. Dan tujuan pernikahan kami bukanlah untuk sekedar punya anak, kepuasan seksual, status sosial, tuntutan masyarakat, supaya punya teman ngobrol dan sebagainya.

Dengan tujuan ini menjadi arah maju bagiku untuk membangun pernikahan ke depan. Diharapkan melalui pernikahan yang Tuhan tetapkan ini rencana Tuhan akan digenapi baik terhadapku dan pasanganku itu sendiri namun juga kepada orang banyak.

Pernikahan yang Tuhan bentuk akan membawa kami makin “diproses” semakin serupa dengan gambarNya sehingga kami akan menyatakan sifat-sifatNya yang nyata dan hidup yang dapat dilihat dan dirasakan orang-orang disekitar kami. Pem-proses-an itu bisa terbentuk melalui sarana persekutuan dengan PenciptaNya maupun interaksiku dengan pasanganku itu sendiri, orang lain dan peristiwa sehari-hari.

Selain itu pernikahanku juga dimaksudkan untuk menyatakan kehadiran Tuhan yang nyata dalam keluargaku ini. Bagaimana Tuhan menjadi pemimpin dalam keluarga ini, bagaimana Tuhan memelihara/menjaga, bagaimana Tuhan memberikan hukum-hukumNya yang ditaati dan menjadi standard hidup dari keluargaku ini. Akhirnya keluargaku ini akan menyatakan “kesaksian” hidup yang baik ini bagi orang lain sehingga diharapkan orang banyak dapat mengenal si Pencipta melalui kami.

Kalau Tuhan mengijinkan kami memiliki anak maka kami juga akan mengarahkan anak kami untuk mencapai tujuan itu. Dan Tuhan melihat kalau Dia menganugerahi kami anak-anak, itu tentu dengan maksud supaya kami justru makin efektif mencapai tujuan itu. Bila tidak memiliki anak, maka tidak menjadi masalah karena tujuan itu bisa tetap kami capai.

Tentu saja ada kesenangan-kesenangan yang dapat dinikmati dalam pernikahan selayaknya pernikahan lainnya, misalnya : prokreasi, intimacy, dan sebagainya.

Maka bukanlah kebahagiaan yang menjadi tujuan pernikahan karena orang dapat mencapai kebahagiaan yang seperti dibayangkan banyak orang namun mereka tidak bisa mencapai tujuan yang Tuhan tetapkan. Contohnya : suami istri bisa tidak bercerai sampai mati dan rukun-rukun saja, namun mereka tidak mencapai tujuan Tuhan bagi pernikahan itu.

Bila pernikahan mencapai tujuan yang Tuhan tetapkan maka pasti akan menyukakan dan mengalami buah kebahagiaan yang sejati. Bisa jadi tidak punya anak atau tidak kaya, namun pasti makin mengasihi satu dengan yang lain dan pasti akan sampai langgeng.

Oleh karena itu, maka pasanganku haruslah sepadan : satu tujuan denganku dan itu pasti satu iman. Karena ini persyaratan mendasar dan tidak mungkin orang “tidak percaya” bisa mencapai tujuan itu bahkan untuk memahami perkara ini saja sulit.

Kamis, 19 Januari 2012

“Pokoknya !” (Renungan Batin – Pranikah - 15)


Kulihat dia sedang bercanda dengan teman-temannya. Kelihatan sekali kalau dia menikmatinya. Tertawa, berbicara dengan lepas dan sesekali kuperhatikan tangannya menepuk bahu satu dua teman disampingnya. Akrab sekali.

Aku pandangi mereka dari kejauhan dalam kesendirianku. Perasaanku campur aduk. Marah, kecewa, sedih, tertolak dan cemburu. Kalau seandainya dia bersendau gurau dengan teman-teman sejenisnya, mungkin aku tidak menanggung perasaan begitu. Aku menginginkan bisa bercakap-cakap dan bergurau dengannya, tapi seringkali dia menghindar bila aku mencoba mendekatinya.

Aku menyukainya kalau bisa dikatakan aku mencintainya. Sudah lama aku memendam perasaan ini dan rasanya ingin mengungkapkan padanya namun kesempatan itu belum tiba. Entahlah dia mengerti perasaanku ini atau tidak, tapi aku sungguh-sungguh merasa dialah orang yang bisa membahagiakan aku kelak.

Dalam lamunanku, terbayang segala apa yang indah didirinya. Ah seandainya aku bisa bersama dia selamanya. Itu yang mengiringi hari-hariku yang sepi. Dalam tidurkupun dia selalu “hadir” menemani mimpi-mimpiku. Meskipun banyak orang yang mungkin lebih menarik dari pada dia, namun aku tetap memilih dia. Bagiku dia adalah idaman yang selama ini kucari. Biarlah semuanya boleh berlalu, tapi bagiku dia tetap nomer satu.

Suatu hari aku mencoba menghubunginya via SMS. Aku menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan study dan ia menjawabnya. Perasaanku senang sekali, lalu aku melanjutkan dengan pertanyaan yang bersifat pribadi, namun dia tidak menjawab sepatah katapun. Entahlah, apakah dia tidak suka, aku tidak tahu. Namun aku merasa kecewa dan tertolak.

Dengan rasa cintaku itu aku berusaha untuk berbuat apapun demi mendapatkan cintanya. Aku mencoba menulis puisi cinta untuknya. Bahkan aku juga menggubah sebuah lagu yang menceritakan seorang manusia yang lama menantikan jawaban cinta dari orang yang disukainya. Lagu itu kunyanyikan dan kerekam dalam sebuah CD. Semuanya itu kukirimkan kepadanya melalui teman dekatku. Aku sangat berharap dia akan membaca puisi dan mendengarkan laguku yang merupakan curahan perasaanku padanya. Dengan begitu semoga dia akan membalas cintaku.

Dengan perasaan harap-harap cemas, aku menanyakan perihal “kiriman” itu padanya. Lagi-lagi lewat SMS karena aku tidak siap untuk berbicara langsung dengannya. Lama kunanti dan tidak ada jawaban sama sekali. Akhirnya aku tidur dengan penuh tanya.

Esok harinya. Temanku membawa kembali “kirimanku” itu, utuh dan bungkusnya belum tersentuh sama sekali. Ternyata dia menolak pemberianku itu. Aku kecewa, marah dan malu. Aku merasa seperti tidak ada harganya. Lalu temanku itu juga mengatakan kalau dia ingin ketemu dan berbicara denganku nanti siang di satu warung dekat sekolah kami.

Dalam pertemuan itu, dia banyak mengungkapkan rasa ketidaksukaannya mengenai sikap dan tindakanku selama ini terhadapnya. Dia tahu aku menyukainya dan ia menghargai itu. Namun dia merasa risih dengan SMS ku yang bertubi-tubi yang isinya dianggapnya sesuatu yang “gombal”. Apalagi teman-teman sekolah banyak yang meledek dan mengganggap kami sudah pacaran dan ia benci dengan hal itu. Dia juga marah kalau aku terlalu ikut campur dengan urusan pribadinya : dengan siapa dia harus bergaul, bagaimana dia menggunakan waktunya, kemana dia akan melanjutkan studynya nanti, mau makan apa dan sebagainya.

Selama pembicaraan itu, aku hanya termenung mendengarkan semua curahan pikiran dan perasaannya atau lebih tepatnya kemarahannya. Apa yang aku harapkan bahwa dia akan menerima cintaku ternyata tidak terjadi apa-apa, justru aku lebih banyak merasa sakit hati.

Namun aku jadi mengerti sekarang. Aku ternyata egois. Sebenarnya aku bermasalah dengan diriku sendiri. Aku menuntut orang yang aku sukai menurut apa yang aku pikirkan. Aku tidak mencintai dengan tulus tapi cinta yang mengikat dan membuatnya menderita.

Padahal kami belum jadian apa-apa, tapi aku sudah merasa memiliki dia. Aku berpikir “pokoknya” harus bisa menikah dengan dia padahal dia tidak mencintaiku. Akhirnya aku dan dia sama-sama terluka karena ketidakdewasaanku sendiri.

NB :
-Gombal (bhs jawa) yang artinya kain kotor atau kain yang dipakai untuk mengelap sesuatu yang kotor

Minggu, 15 Januari 2012

Ketertarikan (Renungan batin – Pranikah - 14)


Aku seorang laki-laki muda yang memang kata orang usiaku sudah cukup siap untuk menjalani hubungan dengan seorang perempuan. Setelah aku lulus kuliah, beruntung aku segera mendapat pekerjaan yang baik. Aku sangat menikmati pekerjaanku. Dengan gajiku yang ada, sebenarnya sudah cukup untuk menghidupi sebuah keluarga kecil. Namun masalahnya, aku belum mempunyai pacar sampai saat ini.

Aku mempunyai banyak teman termasuk dengan banyak perempuan. Aku memang suka bergaul dan menikmati kebersamaan dengan mereka. Tidak jarang kami melakukan aktivitas dan bergembira bersama-sama. Dan aku juga dekat atau bisa dikatakan “bersahabat” dengan beberapa perempuan, tapi tidak ada di antara mereka yang menjadi pacarku. Entahlah, kalau ada di antara mereka yang suka padaku. Namun yang pasti, aku tidak pernah sekalipun mengatakan “I love you” kepada salah seorang perempuan manapun.

Sering temanku dan keluargaku mendorongku untuk segera memiliki pacar. Mereka juga menyangka aku terlalu pilih-pilih perempuan sehingga lama tidak mempunyai pacar. Namun jujur saja sebenarnya bukan aku terlalu pilih-pilih namun aku merasa tidak memiliki dorongan rasa suka. Aku merasa tidak ada “passion” atau getaran-getaran ketertarikan. Atau bisa dikatakan aku tidak merasa cinta pada teman-teman perempuanku.

Tentu aku laki-laki normal yang menyukai dan ingin menikah dengan perempuan. Namun bagaimana aku bisa memaksakan diri untuk berpacaran dengan perempuan yang tidak aku sukai atau cintai? Atau bagaimana mungkin kelak aku bisa menikah tanpa cinta?

Aku juga memikirkan hal ini kenapa aku tidak tertarik dengan salah seorang dari teman-teman perempuanku padahal mereka juga baik-baik hidupnya. Karakternya dan kepribadiannya cukup matang menurutku. Mungkin aku merasa tidak tertarik karena di antara mereka wajahnya kuanggap biasa-biasa saja. Tidak ada seorangpun yang kaunggap cantik atau manis. Entahlah, apakah aku memiliki selera tinggi dalam hal wajah ataukah aku korban dari infotaiment sehingga muncul mimpi-mimpi mendapatkan istri yang cantik seperti bintang film.

Demikian juga dalam hal masalah tubuh. Aku sangat berhasrat memiliki istri yang badannya seksi dan kulitnya putih mulus. Kalau aku menemukan sedikit “belang” dikakinya saja…wah perasaan tertarikku bisa langsung merosot meskipun yang lain sudah “ok”.

Pencarian demi pencarian. Pergaulan demi pergaulan. Pendekatan demi pendekatan. Namun akhirnya aku tidak menemukan orang ideal menurutku yang aku cari. Setiap bertemu dengan satu orang yang sudah beberapa hal aku suka, ternyata aku melihat ada yang kurang di sisi lainnya dan aku tidak melanjutkan rasa tertarikku itu demikian seterusnya. Hingga aku merasa lelah, apalagi mengingat usiaku juga terus bertambah. Bukankah juga semua manusia pasti ada kekurangannya dan tidak ada yang sempurna.

Dalam kebodohanku aku menyadari bahwa keputusanku untuk menyukai seorang perempuan hanya berdasar persoalan fisik semata. Aku suka kalau dia cantik, kulitnya putih mulus dan badannya seksi. Dan perasaan suka itu pula yang melatarbelakangi keputusanku untuk menjalani hubungan serius dengan seorang wanita bahkan untuk menikah. Meskipun sesuatu yang penting bila orang menikah, tentu harus ada rasa suka juga. Namun bukan itu satu-satunya dan tidak bisa menunggu terus menerus rasa suka itu untuk muncul dengan sendirinya tanpa aku mengupayakan supaya itu “ada”.

Sebenarnya aku tidak harus melangkah ke hubungan yang serius dengan seorang wanita hanya dengan menanti datangnya rasa suka atau “passion” itu, tapi aku bisa mempertimbangkan karakter dan kepribadiannya apakah baik atau tidak. Jadi perasaan suka-ku difokuskan kepada apa yang esensi maka itu akan berkembang dan menumbuhkan rasa cintaku padanya bila kami semakin dalam membangun hubungan. Meskipun itu bisa bertumbuh sedikit demi sedikit.

Di sisi yang lain, apabila pertimbanganku dalam memilih teman hidup hanya didominasi oleh masalah fisik semata maka aku bisa kecewa karena hal itu tidak langgeng. Seiring dengan bertambahnya usia, maka akan ada perubahan fisiknya yang makin tua.

Maka pertimbanganku yang paling mendasar adalah karakter dan kepribadiannya yang matang dan tentunya persoalan itu bersumber dari kerohaniannya yang bertumbuh.

Petualangan Baru Dimulai (Renungan Batin – Suami & Istri - 3)


Betapa senang hatiku karena perjalananku dalam kesendirian sudah berakhir. Ketika aku dan kekasihku sudah secara sah menjadi suami istri pada saat pemberkatan di gereja. Rasanya lega dan ingin segera menikmati mimpi-mimpiku dulu menjadi kenyataan dalam pernikahanku bersama pasanganku.

Dulu aku sudah berpacaran dengannya lebih dari dua tahun, cukup lama memang. Aku berharap dengan waktu pacaran itu kami bisa mempersiapkan diri masuk dalam rumah tangga secara matang. Ketika kami merasa telah cukup, maka kami memutuskan menikah.

Dalam pikiranku,usai sudah segala usahaku dalam masa pengenalan itu. Tentunya aku merasa sudah sedemikian mengenalnya, begitu juga dengan pasanganku itu terhadap aku. Kami masing-masing membawa segala harapan dalam pernikahan kami. Apalagi dulu aku sering membaca dan melihat gambar-gambar pakaian pengantin, pesta-pesta perkawinan atau apapun yang terkait dengan pernikahan yang terlihat begitu anggun dan bahagianya. Maka pikiranku langsung melayang membayangkan seandainya aku yang menjadi pasangan itu.

Di masa-masa awal pernikahan banyak hal-hal indah dan menyenangkan yang bisa kami nikmati bersama, karena masih dalam suasana bulan atau tahun madu. Banyak kesalahan masih bisa dikompromikan karena topangan modal rasa senang dan daya tarik seksual masih ada, meski kadang juga ada ribut-ribut kecil.

Namun lambat laun aku sudah merasa mulai “mendarat”. Aku sudah mulai melihat realita apa yang terjadi dalam pernikahan kami. Aku mulai menemukan kebiasaan-kebiasaan dan cara hidup dari pasanganku yang aku tidak bisa terima. Demikian juga dia sering marah dan menegurku karena perilaku yang baginya tidak baik. Akhirnya kami jadi sering bertengkar dan beberapa hari sempat diam-diaman, saling gengsi tidak ada yang mau mengalah dan mendahului untuk mengajak bicara. Namun akhirnya kami bisa akur lagi.

Memasuki babak baru setelah lahir anak kami yang pertama. Kesibukan bertambah dan fokus menjadi terarah bagaimana merawat bayi kami sebaik-baiknya. Memang dengan hadirnya si kecil dalam keluarga kami member suasana riang dan kehangatan tersendiri. Sejenak bisa terhibur di kala kelelahan kami berdua menjalani aktivitas sehari-hari. Apalagi memang kami kami juga sama-sama merindukan segera memiliki momongan. Tapi tak dapat dipungkiri juga, masalah anak juga dapat menjadi bahan pertengkaran kami.

Awalnya ketika aku merasa lelah seharian mengurus pekerjaan dan malam itu aku ingin sejenak tidur tanpa terganggu oleh urusan apapun. Lalu aku memberitahu pasanganku itu supaya nanti membuatkan susu atau mengganti celana bayi kami bila pipis. Dia meng-iya-kan sembari terus mengarahkan matanya ke layar computer, asyik bermain game. Namun, ternyata aku kaget dan terbangun karena mendengar tangisan anak kami yang sepertinya sudah beberapa saat dibiarkan dalam keadaan baju dan celananya basah karena pipis. Aku jadi jengkel dan marah kepada pasanganku karena dia masih duduk tak beranjak dari game-nya. Ketika kutegur, dia beralasan dengan tanpa merasa besalah “sayang kalau ditinggalkan karena sedang online. Aku tidak terima dan kami bertengkar.

Kebiasaannya main game online ini sebenarnya sudah cukup lama sebelum kami menikah dan dulunya aku tidak begitu mempersoalkannya karena aku berpikir kelak siapa tahu kebiasaan ini akan berubah dengan sendirinya setelah menikah. Namun kenyataannya “tidak”. Dan hal ini sekarang menjadi persoalan kami. Yang menjengkelkan aku, dia merasa hal tersebut bukan sesuatu masalah yang besar.

Sekarang aku menyadari bahwa ternyata pernikahan bukan otomatis membuat orang berubah atau menjadi baru. Bisa jadi kebiasaan dan perilaku yang buruk dari pasangan yang menikah akan terbawa terus setelah berumah tangga.

Pernikahan juga bukan tempat untuk terjadinya realisasi mimpi-mimpi. Yang kemungkinan malah terjadi sebaliknya. Bisa terjadi antara mimpi dan realita dalam pernikahan seperti ada jurang yang lebar memisahkan.

Pernikahan juga bukan tempat untuk berharap ada pemulihan dari luka-luka karena bisa saja pasangan itu membawa luka-luka masa lalunya masing-masing dan kemudian saling melukai dalam pernikahan mereka dan menimbulkan luka baru.

Masa pacaran yang cukup tidak juga menjadi jaminan seratus persen untuk membuat pernikahan baik karena di dalam pernikahan itu sendiri pasangan tetap harus mengerjakan bagiannya masing-masing untuk mengelola pernikahan tersebut sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.

Jadi sebenarnya pernikahan bukanlah tempat berakhirnya semua pengalaman hidupku dan juga bukan tujuan akhir. Namun dalam pernikahan itu, perjalanan petualangan baru hidupku justru baru dimulai.

Senin, 02 Januari 2012

Memberi uang saku (Renungan Batin – Orang Tua & Anak - 10)


Hari ini anak kami yang sulung, Marvel mendapat uang saku. Ketika kami memberitahukan hal ini, wajahnya kelihatan senang. Dia memang sudah lama meminta uang saku karena teman-teman kelasnya ada yang membawa uang saku. Tapi kami baru memberikan uang saku hari ini di semester ke 2 dan saat dia kelas 3.

Tentu ada pertimbangan yang kami punya kapan, berapa dan mengapa harus memberi uang saku kepada anak-anak kami. Apalagi selama ini setiap mereka sekolah, kami selalu membekali dengan makanan entah itu nasi atau roti atau jajanan lainnya.

Kamipun juga mendoakan supaya Tuhan menolong kami agar kami tidak salah dalam membuat keputusan, karena hal ini merupakan sesuatu yang baru bagi kami sebagai orang tua dalam hal memberi uang saku.

Dulu ketika saya masih menjadi anak-anak, ibu saya memberi uang saku ketika saya SD sejak saat itu saya tidak diberi bekal lagi. Dengan uang saku itu saya bisa membeli makanan ketika istirahat tapi juga bisa untuk membeli mainan.

Pertimbangan kami memberi uang saku, karena di semester lalu di kelas Marvel ada pelajaran tentang mengatur keuangan dan menyinggung tentang uang saku. Marvel merasa sudah mendapat pengetahuan tentang uang dan apa fungsinya lalu dia merasa sudah pantas menerima uang saku.

Namun kami lebih memperhatikan bahwa dia sudah bisa mengetahui apa itu uang, kegunaaannya dan nilainya. Selain itu kami juga ingin mengajar dia untuk mengelola uang bagaimana cara dia menggunakan uang sakunya. Biarlah dia belajar mengontrol diri dalam hal keuangan mulai dari jumlah nominal kecil supaya nanti dia bisa mengelola dalam jumlah yang makin bertambah. Selain itu memberi dia kesempatan untuk memprioritaskan mana yang harus dia beli dan mana yang tidak perlu.

Kami katakan kepada dia maksud memberikan uang saku dan bisa digunakan untuk apa saja. Yang pertama, uang saku itu dipakai untuk memberikan persembahan perpuluhan kepada Tuhan. Kami mengajar supaya sejak kecil dia sudah memberikan persembahan untuk pekerjaan Tuhan.

Yang kedua, uang saku itu bisa dipakai untuk menabung untuk kebutuhannya pribadi yang nominalnya besar dan ia belajar sabar untuk mendapatkan itu dan menguasai diri supaya bisa menabung. Sebelumnya dia bisa membeli sepeda dengan uang tabungannya sendiri. Uang itu telah ditabung cukup lama, salah satunya dari hadiah lomba mewarnai.

Yang ketiga, dia dapat menggunakan uang saku untuk beli jajan bila diperlukan dan menolong temannya yang mungkin tidak membawa bekal dari rumah. Sering kadang di kelasnya, dia dan teman-temannya berbagi makanan atau mainan. Biarlah ini juga melatihnya menjadi orang yang mudah berbagi kepada orang yang membutuhkan.

Kami memberikan per hari dengan jumlah nominal yang wajar supaya dia belajar mengelola dengan jumlah yang belum terlalu besar dan pada waktu yang tidak panjang. Kelak pada saatnya bila sudah terlatih, maka pemberian uang saku akan diberikan per minggu dan per bulan demukian seterusnya dan jumlahnya akan mengikuti perkembangan usia dan kebutuhannya.

Kami juga akan mengevaluasi secara bertahap apakah maksud pemberian uang saku ini mencapai apa yang kami harapkan atau tidak.

Minggu, 01 Januari 2012

Waktu untuk ibu/istri (Renungan Batin – Orangtua dan Anak - 9)


Betapa sibuk dan repotnya tugas seorang ibu/istri di rumah. Tiap hari harus mengurusi urusan rumah tangga. Melakukan pekerjaan dari memasak, mencuci piring, dan sebagainya. Hingga mengasuh anak-anak dengan menyuapinya kalau anak-anak masih kecil, menemani belajar, bercerita dan seterusnya. Belum lagi ada tugas-tugas yang berkaitan dengan suaminya. Menemani suami ketika ada acara pesta, menjadi tempat curhat suami sampai memijiti atau mengeroki ketika suami capai atau terkena masuk angin.

Kalau ditambah lagi bila si ibu/istri bekerja juga karena penghasilan suami tidak mencukupi maka tugas-tugas harian di rumah di atas tetap tidak bisa dialihkan pada orang lain. Maka betapa dibutuhkan kekuatan fisik yang sungguh-sungguh namun juga kekuatan mental yang besar karena si ibu/istri bisa saja menghadapi persoalan atau masalah yang akan menguras energi pikiran dan emosinya. Padahal semuanya menuntut kualitas terbaik dari peran ibu/istri atau karyawan bila ibu/istri tersebut bekerja. Harus ada keseimbangan antara tugas dengan pengisian kebutuhan roh, jiwa dan fisiknya.

Bila ini terjadi dan si ibu/istri tidak mampu mengendalikan diri dan situasi yang dihadapi maka ini akan mempengaruhi kualitas tanggungjawab mulia yang dilakukan ibu/istri di rumah. Dampaknya seluruh isi rumah akan terlantar dan tak terpenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu jangan sampai meremehkan peran ibu atau istri di rumah dan jangan pula mengabaikan kebutuhan ibu/istri yang pantas ibu/istri itu dapatkan.

Persoalan sekaligus bagian sensitif yang bisa menjadi kekuatan bagi ibu/istri dan harus diperhatikan para suami adalah hubungan suami istri. Istri akan merasa aman dan nyaman bila mendapat kepastian kualitas hubungan dengan suaminya. Istri tidak hanya ingin dianggap suaminya sebagai “istri” tapi dia ingin dianggap sebagai “kekasihnya”.

Istri membutuhkan perhatian suaminya dan ingin yang terutama dibanding anak-anaknya. Tidak bijak mengganggap anak-anak lebih penting dari istri. Bila demikian, maka sering istri akan merasa dirinya tidak istimewa di mata suaminya.

Istri membutuhkan waktu-waktu hanya berdua dengan suaminya : makan bersama sambil mencurahkan perasaannya tanpa membicarakan pekerjaan atau orang lain, duduk berdua sambil berbincang di rumah dan tidak sambil nonton TV dan sebagainya.

Selain itu, ibu/istri juga punya hak untuk memiliki waktu pribadi untuk memenuhi kebutuhan pribadinya dan tidak dicampuri dengan urusan rumah tangga terus menerus. Kadang dibutuhkan untuk menjadwal waktu bagi ibu/istri untuk pergi belanja sendiri atau hanya sekedar jalan-jalan.

Ada juga kesempatan yang rutin ibu/istri untuk bisa ikut senam aerobic atau olah raga apapun, atau mungkin untuk pergi ke salon untuk facial, creambath, pedicure, manicure atau apapun yang “cure-cure” entah untuk mempercantik diri atau sekedar relaksasi. Dan sangat baik juga bila sang suami bisa memberikan uang untuk kebutuhan itu dan bahkan mengantar jemput istrinya tersebut.

Selain itu yang lebih penting dan mendasar, ibu/istri membutuhkan persekutuan pribadi dengan Tuhan. Ini akan mengisi rohnya supaya dapat segar sekaligus mendapat penghiburan dan kekuatan dari Sang Sumber. Oleh karena itu sangat baik ibu/istri tidak terganggu ketika berdoa dan membaca firman Tuhan. Biarkan semua kerepotan berhenti dan ditinggalkan sejenak untuk mendapatkan kesegaran ilahi.

Waktu untuk ibu/istri secara pribadi sangatlah bermanfaat dan tidak boleh dirampas oleh siapapun dan apapun. Justru bila ini dimiliki secara teratur oleh ibu/istri maka akan keluar kehidupan berkualitas dari ibu/istri yang akhirnya bisa dirasakan kebaikannya bagi suami dan anak-anaknya.

MENYUSURI TANYA


Duduk tidak jauh dari jangkauan mataku
Menikmati makan siangnya di suatu gerai
Kusisir seluruh gerak geriknya dengan tatapanku
Tentu tak kupandang bila biasa kutemui

Berpakaian hitam dan mengkilat legam kulit punggung terbuka
Rambut terurai memanjang tak lagi asli warnanya
Bibirnya tak henti menghisap dan memainkan irama asap mengepul
Cantikkah ia? Begitu tak terkira

Apakah itu kenikmatan atau sebuah gaya hidup
Benarkah itu kegelisahan atau usaha menutup diri
Mungkinkah itu sebuah juga hasil emansipasi
Ataukah itu justru membuktikan ke-siapa-annya

Aku menerawang tak henti bertanya
Lalu mengapa selalu ada tanya
Ataukah aku yang tak biasa
Entahlah apakah aku kelak masih akan terpana
(Purwokerto - Menutup tahun – 31 des 2011)