Sabtu, 21 Januari 2012

Pernikahan bukan untuk bahagia (Renungan Batin – Suami & Istri - 4)


Sebelum menikah aku juga mengangankan supaya kelak pernikahanku akan berbahagia. Bukankah itu yang terbayang dalam benak setiap orang bila memasuki hidup berumah tangga. “Semoga berbahagia” Itu pula yang diucapkan dan dituliskan dalam kartu-kartu ucapan pernikahan. Meskipun kata “semoga” itu juga menyiratkan kemungkinan bisa terjadi kondisi yang sebaliknya alias tidak bahagia.

Aku mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan kata “bahagia” itu dalam pemikiran banyak orang. Biasanya orang menjelaskan arti “bahagia” dalam pernikahan adalah harmonis, rukun, tercukupi kebutuhannya, punya anak-anak yang baik dan tidak bercerai sampai maut memisahkan. Aku pikir itu sesuatu yang sangat baik. Namun apakah itu tujuan pernikahan yang dibangun?

Persoalannya ada keluarga-keluarga yang tidak memiliki anak, apakah mereka tidak bahagia? Atau kebahagiaannya tidak lengkap? Ada juga yang tercukupi dengan segala harta bendanya namun sering ada pertengkaran yang membuat tidak nyaman di rumah, apakah ini juga kebahagiaan? Tidak sedikit pula ada pasangan-pasangan yang secara status tidak bercerai namun sebenarnya mereka sudah “pisah ranjang” di bawah satu atap, meskipun nampak di depan orang mereka kelihatan rukun-rukun saja, bukankah itu sebenarnya juga sudah “bercerai”? apakah ini juga bahagia?

Ketika aku memasuki pernikahan maka sebenarnya aku dan teman hidupku sedang menuju arah yang sama dan mencapai tujuan bersama. Pernikahan ini bukan untuk coba-coba dan juga bukan dijalani seperti “air mengalir”. Selain itu pernikahan ini juga bukan akhir dari tahapan hidupku tapi merupakan sarana untuk mencapi tujuan tertentu.

Aku menyadari bahwa tujuan ini bukanlah kami yang menetapkan namun Pemilik hidup kami itulah yang menghendakinya. Karena hidup kami memang diperuntukkan bagiNya. Dan tujuan pernikahan kami bukanlah untuk sekedar punya anak, kepuasan seksual, status sosial, tuntutan masyarakat, supaya punya teman ngobrol dan sebagainya.

Dengan tujuan ini menjadi arah maju bagiku untuk membangun pernikahan ke depan. Diharapkan melalui pernikahan yang Tuhan tetapkan ini rencana Tuhan akan digenapi baik terhadapku dan pasanganku itu sendiri namun juga kepada orang banyak.

Pernikahan yang Tuhan bentuk akan membawa kami makin “diproses” semakin serupa dengan gambarNya sehingga kami akan menyatakan sifat-sifatNya yang nyata dan hidup yang dapat dilihat dan dirasakan orang-orang disekitar kami. Pem-proses-an itu bisa terbentuk melalui sarana persekutuan dengan PenciptaNya maupun interaksiku dengan pasanganku itu sendiri, orang lain dan peristiwa sehari-hari.

Selain itu pernikahanku juga dimaksudkan untuk menyatakan kehadiran Tuhan yang nyata dalam keluargaku ini. Bagaimana Tuhan menjadi pemimpin dalam keluarga ini, bagaimana Tuhan memelihara/menjaga, bagaimana Tuhan memberikan hukum-hukumNya yang ditaati dan menjadi standard hidup dari keluargaku ini. Akhirnya keluargaku ini akan menyatakan “kesaksian” hidup yang baik ini bagi orang lain sehingga diharapkan orang banyak dapat mengenal si Pencipta melalui kami.

Kalau Tuhan mengijinkan kami memiliki anak maka kami juga akan mengarahkan anak kami untuk mencapai tujuan itu. Dan Tuhan melihat kalau Dia menganugerahi kami anak-anak, itu tentu dengan maksud supaya kami justru makin efektif mencapai tujuan itu. Bila tidak memiliki anak, maka tidak menjadi masalah karena tujuan itu bisa tetap kami capai.

Tentu saja ada kesenangan-kesenangan yang dapat dinikmati dalam pernikahan selayaknya pernikahan lainnya, misalnya : prokreasi, intimacy, dan sebagainya.

Maka bukanlah kebahagiaan yang menjadi tujuan pernikahan karena orang dapat mencapai kebahagiaan yang seperti dibayangkan banyak orang namun mereka tidak bisa mencapai tujuan yang Tuhan tetapkan. Contohnya : suami istri bisa tidak bercerai sampai mati dan rukun-rukun saja, namun mereka tidak mencapai tujuan Tuhan bagi pernikahan itu.

Bila pernikahan mencapai tujuan yang Tuhan tetapkan maka pasti akan menyukakan dan mengalami buah kebahagiaan yang sejati. Bisa jadi tidak punya anak atau tidak kaya, namun pasti makin mengasihi satu dengan yang lain dan pasti akan sampai langgeng.

Oleh karena itu, maka pasanganku haruslah sepadan : satu tujuan denganku dan itu pasti satu iman. Karena ini persyaratan mendasar dan tidak mungkin orang “tidak percaya” bisa mencapai tujuan itu bahkan untuk memahami perkara ini saja sulit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar