Kamis, 19 Januari 2012

“Pokoknya !” (Renungan Batin – Pranikah - 15)


Kulihat dia sedang bercanda dengan teman-temannya. Kelihatan sekali kalau dia menikmatinya. Tertawa, berbicara dengan lepas dan sesekali kuperhatikan tangannya menepuk bahu satu dua teman disampingnya. Akrab sekali.

Aku pandangi mereka dari kejauhan dalam kesendirianku. Perasaanku campur aduk. Marah, kecewa, sedih, tertolak dan cemburu. Kalau seandainya dia bersendau gurau dengan teman-teman sejenisnya, mungkin aku tidak menanggung perasaan begitu. Aku menginginkan bisa bercakap-cakap dan bergurau dengannya, tapi seringkali dia menghindar bila aku mencoba mendekatinya.

Aku menyukainya kalau bisa dikatakan aku mencintainya. Sudah lama aku memendam perasaan ini dan rasanya ingin mengungkapkan padanya namun kesempatan itu belum tiba. Entahlah dia mengerti perasaanku ini atau tidak, tapi aku sungguh-sungguh merasa dialah orang yang bisa membahagiakan aku kelak.

Dalam lamunanku, terbayang segala apa yang indah didirinya. Ah seandainya aku bisa bersama dia selamanya. Itu yang mengiringi hari-hariku yang sepi. Dalam tidurkupun dia selalu “hadir” menemani mimpi-mimpiku. Meskipun banyak orang yang mungkin lebih menarik dari pada dia, namun aku tetap memilih dia. Bagiku dia adalah idaman yang selama ini kucari. Biarlah semuanya boleh berlalu, tapi bagiku dia tetap nomer satu.

Suatu hari aku mencoba menghubunginya via SMS. Aku menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan study dan ia menjawabnya. Perasaanku senang sekali, lalu aku melanjutkan dengan pertanyaan yang bersifat pribadi, namun dia tidak menjawab sepatah katapun. Entahlah, apakah dia tidak suka, aku tidak tahu. Namun aku merasa kecewa dan tertolak.

Dengan rasa cintaku itu aku berusaha untuk berbuat apapun demi mendapatkan cintanya. Aku mencoba menulis puisi cinta untuknya. Bahkan aku juga menggubah sebuah lagu yang menceritakan seorang manusia yang lama menantikan jawaban cinta dari orang yang disukainya. Lagu itu kunyanyikan dan kerekam dalam sebuah CD. Semuanya itu kukirimkan kepadanya melalui teman dekatku. Aku sangat berharap dia akan membaca puisi dan mendengarkan laguku yang merupakan curahan perasaanku padanya. Dengan begitu semoga dia akan membalas cintaku.

Dengan perasaan harap-harap cemas, aku menanyakan perihal “kiriman” itu padanya. Lagi-lagi lewat SMS karena aku tidak siap untuk berbicara langsung dengannya. Lama kunanti dan tidak ada jawaban sama sekali. Akhirnya aku tidur dengan penuh tanya.

Esok harinya. Temanku membawa kembali “kirimanku” itu, utuh dan bungkusnya belum tersentuh sama sekali. Ternyata dia menolak pemberianku itu. Aku kecewa, marah dan malu. Aku merasa seperti tidak ada harganya. Lalu temanku itu juga mengatakan kalau dia ingin ketemu dan berbicara denganku nanti siang di satu warung dekat sekolah kami.

Dalam pertemuan itu, dia banyak mengungkapkan rasa ketidaksukaannya mengenai sikap dan tindakanku selama ini terhadapnya. Dia tahu aku menyukainya dan ia menghargai itu. Namun dia merasa risih dengan SMS ku yang bertubi-tubi yang isinya dianggapnya sesuatu yang “gombal”. Apalagi teman-teman sekolah banyak yang meledek dan mengganggap kami sudah pacaran dan ia benci dengan hal itu. Dia juga marah kalau aku terlalu ikut campur dengan urusan pribadinya : dengan siapa dia harus bergaul, bagaimana dia menggunakan waktunya, kemana dia akan melanjutkan studynya nanti, mau makan apa dan sebagainya.

Selama pembicaraan itu, aku hanya termenung mendengarkan semua curahan pikiran dan perasaannya atau lebih tepatnya kemarahannya. Apa yang aku harapkan bahwa dia akan menerima cintaku ternyata tidak terjadi apa-apa, justru aku lebih banyak merasa sakit hati.

Namun aku jadi mengerti sekarang. Aku ternyata egois. Sebenarnya aku bermasalah dengan diriku sendiri. Aku menuntut orang yang aku sukai menurut apa yang aku pikirkan. Aku tidak mencintai dengan tulus tapi cinta yang mengikat dan membuatnya menderita.

Padahal kami belum jadian apa-apa, tapi aku sudah merasa memiliki dia. Aku berpikir “pokoknya” harus bisa menikah dengan dia padahal dia tidak mencintaiku. Akhirnya aku dan dia sama-sama terluka karena ketidakdewasaanku sendiri.

NB :
-Gombal (bhs jawa) yang artinya kain kotor atau kain yang dipakai untuk mengelap sesuatu yang kotor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar