Rabu, 25 Januari 2012

Sapi Perahan (Renungan Batin – Suami & Istri - 6)


Aku memang dibesarkan dalam keluarga yang miskin. Untuk pendidikan merupakan barang mewah bagi kami, sehingga rasanya sulit untuk bisa kuliah. Bahkan untuk biayaku masuk SMA dibutuhkan kerja keras dari orangtuaku. Makan kenyang tiga kali sehari dengan lauk apa adanya saja sudah penuh dengan ucapan syukur. Apalagi kami keluarga besar. Aku dilahirkan sebagai anak sulung dari tiga orang adik-adik yang masih kecil. Sedangkan ayah dan ibuku hanyalah bekerja sebagai buruh dengan penghasilan pas-pasan.

Sedari aku kecil orangtuaku selalu menekankan padaku supaya sebagai wanita aku harus dapat merawat diri. Meskipun miskin namun aku harus bisa kelihatan cantik dan bersih. Kata ibuku lagi, itu merupakan modal yang penting untuk memikat kaum lelaki. Bukankah pada mulanya para pria rasa tertariknya didorong karena melihat penampilan dan wajah cantik perempuan?

Orangtuaku juga berharap supaya kelak aku bisa menikah dengan seorang laki-laki yang kaya. Dengan begitu hidupku akan terjamin dan segala keperluanku akan tercukupi. Demikian juga dengan keluargaku tentu saja akan menerima kelimpahan dengan pemberian-pemberianku kelak. Mereka juga berpesan supaya aku juga memperjuangkan nasib ketiga adik-adikku. Masa depan mereka tergantung dari aku.

Beberapa kali sempat ada teman-teman laki-laki sekolahku yang mencoba naksir aku. Bahkan ada yang berani datang ke rumah berharap untuk mendapat “lampu hijau” dari orangtuaku. Namun akhirnya mereka semua mundur teratur karena orangtuaku tegas menolak mereka. Aku dipaksa untuk menjauhi mereka. Aku sempat protes dan marah karena mereka teman-temanku dan aku sempat juga jatuh hati kepada salah seorang dari mereka. Alasan orangtuaku karena teman-temanku itu tidak bisa menjamin masa depan kami. Masa depan mereka sendiri saja belum jelas.

Aku mau tidak mau hidup dengan tekanan dari orangtuaku itu. Selepas lulus dari SMA aku bekerja di sebuah perusahaan kecil dan hidup sehari-hari dengan mengandalkan gaji sebagai karyawan pabrik itu. Namun target orangtua sebenarnya supaya aku segera menikah. Tidak perlu menunggu waktu lama. Oleh karena itu mereka sangat senang kalau ada teman kerjaku apalagi atasanku yang posisinya tinggi dan gajinya besar main ke rumahku. Sikap orangtuaku sangat manis menyambut mereka tentu aku tahu apa motivasi mereka mau melakukan hal itu.

Akhirnya memang setelah beberapa tahun kemudian aku menikah dengan seorang duda dengan satu anak. Usianya terpaut sepuluh tahun denganku. Dia memiliki bengkel mobil dan toko onderdil. Sebenarnya aku tidak mencintainya. Dulunya dia datang ke orangtuaku dan memintaku untuk menjadi istrinya. Tanpa berpikir panjang orangtuaku segera memaksaku untuk menerima lamarannya. Yang mereka lihat calon menantu ini punya usaha dan pasti uangnya banyak serta akan mengangkat martabat mereka. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya dan kemanapun dibawa pergi kerbau itu akan menurut. Demikian juga aku pada saat itu.

Bagiku pernikahan ini bukanlah untuk dinikmati dan bukan untuk dirasakan. Rasa itu sudah terkubur mati. Yang ada hanyalah kewajiban dan tanggungjawab. Ibarat kerbau yang membajak sawah yang dipundaknya dikenakan kuk. Menjalani nasibku seperti kerbau dan orangtuaku penunggang kerbaunya. Yang penting aku bisa makan dan hidup. Demikian juga dengan orangtuaku dan adik-adikku mendapat aliran-aliran dana yang rutin dariku.

Tak peduli dengan tubuhku akan dijadikan pemuas nafsu. Tak kupikirkan apa itu cinta. Tak kugubris aku menikah dengan duda yang sudah berumur. Bahkan tak kuambil pusing, seandainya dia akan berselingkuh dan menikah lagi. Yang penting bagiku, aku tidak dicerai dan aku tetap bisa ikut hidup menikmati kekayaan bersama keluargaku. Suamiku dan pernikahanku adalah rasa amanku dan pencukupanku.

Aku sadar ini sesuatu yang salah. Sebenarnya siapa yang menikah? Orangtuaku atau aku? Apakah mereka peduli kalau seandainya aku menderita? Akankah nasibku akan terus begini? Menjadi sapi perahan….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar