Senin, 23 Januari 2012

Tanpa Intimacy (Renungan Batin – Suami & istri - 5)


Setelah sekian tahun aku berumah tangga dan tidak terasa waktu dijalani dengan kesibukan sehari-hari. Mengurusi keperluan anak-anak, memasak, mencuci pakaian dan sebagainya. Demikian juga dengan suamiku yang mencurahkan waktunya untuk bekerja dari pagi hingga menjelang malam, belum lagi kalau ada lemburan di kantor. Keadaan itu yang kami jalani setiap hari yang mau tidak mau harus dihadapi.

Bila ditambah lagi dengan kegiatan lain seperti kegiatan social atau pelayanan ke orang lain, maka sudah sedemikian padat wakt-waktu kami, sehingga tak disadari waktu yang dijalani terasa begitu cepat dan menjadi rutinitas yang tidak dapat dinikmati lagi. Hubungan suami istri dan hubungan orangtua anak-anak juga terasa “jauh”. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri-sendiri.

Komunikasiku dengan suami juga datar-datar saja. pembicaraan-pembicaraan kami tidak lebih hanya membahas seputar masalah anak-anak, ekonomi dan persoalan-persoalan sehari-hari lainnya yang sepertinya tidak pernah habis. Bahkan kami sering sekali atau enggan untuk berkomunikasi secara mendalam karena kelelahan fisik dan emosi yang sudah terkuras seharian dengan kegiatan-kegiatan yang ada.

Hubungan intim kamipun terasa tidak lagi bisa dinikmati. Kalau toh dilakukan, itupun seperti memenuhi kewajiban demi mematuhi dengan apa yang dinamakan “melayani” suami. Jadi seringkali aku merasa “terpaksa” dalam melakukan aktivitas yang penting ini. Suamikupun demikian juga, bila sudah selesai dengan “tugasnya” , maka cepat-cepat dia hanyut dalam bunyi-bunyian khasnya yang mengiringi lelap mimpi-mimpinya. Tidak ada komunikasi, tidak ada rasa, dan semuanya terasa berjalan mekanis. Daging bisa menyatu tapi hati dan perasaan bisa tak berpadu.

Maka yang terjadi seringkali kami mudah konflik karena kesalahpahaman. Demikian juga nada yang kami pakai sering menggunakan nada tinggi sehingga mudah membuat kami saling menyakiti. Aku merasa akulah yang benat dan suamiku salah. Mungkin begitu juga yang dipikir dan rasakan suamiku terhadapku. Kami jadi sering diam-diaman. Kami saling merasa asing satu dengan yang lain seperti tidak saling kenal sebelumnya.

Akupun merasa suamiku tidak mengerti perasaanku. Sebenarnya aku hanya ingin dimengerti dan didengar. Kadang aku tidak ingin dinasehati atau diberitahu kalau aku sedang menceritakan masalahku. Karena kadang aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan bila menghadapi masalah dalam keluarga. Aku hanya ingin sekali suamiku memahami apa yang kurasakan dan aku akan merasa dapat kekuatan menanggung kesulitan apapun. Aku jadi merasa dapat dukungan dan aku tidak sendirian.

Aku menyadari semua ini karena kami sudah kehilangan “intimacy”. Kesempatan-kesempatan untuk berbagi perasaan sudah terenggut dengan kegiatan-kegiatan rutin di rumah ataupun di kantor. Namun bisa juga oleh pelayanan yang kelihatannya baik, tapi tidak terasa dapat menggeser prioritas hubungan kami berdua. Kami sudah mengabaikan apa yang menjadi kebutuhan kami sebagai pribadi. Kami membutuhkan keintiman secara hati atau perasaan.

Ternyata pernikahan tidak hanya sibuk mengurusi masalah makan dan pendidikan bagi anak-anak namun juga perlu diperhatikan bagaimana kami mengisi kebutuhan intimacy suami istri. Keintiman ini justru dibutuhkan dalam pernikahan karena dapat memperat hubungan suami istri yang pada akhirnya akan menjadi kebaikan juga bagi anak-anak kami.

Apabila kami tidak memperhatikan hal ini, maka bisa jadi kami akan menjalani pernikahan kami dengan berat bahkan sekalipun kami tidak bercerai. Selain itu bila kami tidak membenahi hal ini maka peluang untuk perselingkuhan akan sangat terbuka bagi kami masing-masing karena kami yang sedang “kosong” akan dimasuki oleh orang-orang yang sepertinya bisa mengisi pengertian, kepedulian dan perhatian secara instan.

Akhirnya aku dan suamiku sama-sama menyadari kebutuhan ini. Oleh karena itu kami membuat komitmen untuk menyediakan waktu bagi kami berdua setiap hari untuk berbicara dari hati ke hati dan mencurahkan perasaan kami masing-masing. Ada kalanya kami harus “tega” menitipkan anak-anak ke orang lain supaya kami bisa pergi berdua untuk makan, nonton atau hanya sekedar jalan-jalan berdua seperti yang dapat kami nikmati ketika pacaran dulu.

Kami menyadari “intimacy” bisa hilang dalam pernikahan dan itu harus diupayakan terus menerus sehingga terjalin keintiman suami istri secara menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar