Minggu, 20 Mei 2012

Makan untuk hidup atau hidup untuk makan ? (Renungan Batin)


 Dalam  suatu kesempatan saya sekeluarga makan siang di satu rumah makan. Selain makanan pokok ternyata ada banyak macam lauk pauk yang tersaji di meja. Hal tersebut tentu mengundang selera konsumen untuk menyantapnya, termasuk aku.
Dari semua lauk yang terpampang di depan mata dan tercium aroma yang menggoda, hampir semuanya aku suka. Bila disebutkan satu persatu misalnya ada tempe/tahu goreng, sate telur puyuh, sate otak, daging sapi (empal), perkedel, paru goreng dan sebagainya. Namun ternyata aku hanya makan 1 tahu goreng dan 1 perkedel. Persoalannya bukan suka atau tidak suka, mampu membeli atau tidak, mau hemat atau boros namun kalau mau jujur aku sebenarnya sangat ingin memakannya tapi masalahnya aku sudah memutuskan untuk tidak menyantap yang lain.
Pertimbanganku kalau aku memaksa melahap makanan-makanan tersebut di usiaku sekarang ini bisa mempengaruhi kesehatanku. Bukan berarti ketika aku hanya makan lauk perkedel dan tahu goreng aku puas dan menikmati. Justru agak sedikit terpaksa karena keinginan hatiku sebenarnya ingin makan lauk lebih dari itu. Berarti aku masih punya keinginan makan makanan tertentu. Aku masih suka menyantap lauk yang enak-enak.
Ada makanan yang menjadi kesukaanku dan kegiatan makan itu kadang dapat menjadi kesempatan bagiku untuk berpikir dan mencari ilham untuk suatu hal yang akan aku tulis atau aku putuskan. Biasanya aku berdiam diri sambil menikmati makanan dan minum teh di tempat yang aku sukai, lalu di saat itu aku bisa memikirkan dengan lebih nyaman bila ada yang harus aku putuskan.
Dulu apa yang bisa aku nikmati secara bebas dengan makan apapun, sekarang tidak lagi merdeka aku nikmati. Namun benarkah aku tidak lagi merdeka? Apakah aku merasa dibatasi dan itu membuat hidupku tak berdaya?
Bukankah aku justru merdeka sekarang. Karena aku bisa bebas memutuskan aku mau makan atau tidak dan bukan nafsu makanku atau dorongan perut yang mengatur hidupku. Saat ini aku yang menentukan perutku mau diisi apa, kapan dan seberapa. Dan itu aku lakukan karena berpikir dan memiliki pertimbangan. Dulu aku bisa saja seenaknya makan apapun, seberapapun, berapa kalipun dan itu aku lakukan pokoknya aku bisa puas dan kenyang. Dan yang menyedihkan lagi, sering kali hal tersebut aku lakukan karena tidak berpikir.
Ternyata persoalan makan ini menguak persoalanku di bidang lain. Seringkali aku bisa bertindak dan memutuskan hanya karena dorongan nafsu, emosi atau desakan-desakan lainnya. Aku sering melangkah tanpa mempertimbangkan secara matang. Wah bisa berbahaya sekali kalau aku menikah yang pertaruhannya seumur hidup itu hanya didasarkan pada nafsu, emosi, atau perasaan cinta. Atau masalah pemilihan tempat tinggal dan sebagainya.
Dalam hal membuat keputusan. Bisa saja di awal-awal ada perasaan terpaksa atau belum bisa menikmati namun aku harus konsisten dengan ketetapan hatiku. Yang penting keputusanku itu benar. Bisa jadi sekarang ini dalam proses pendewasaanku , dalam membuat keputusan atau pilihan-pilihan aku tidak lagi diperhadapkan pada benar atau salah, dosa atau tidak, hitam atau putih namun mana yang terbaik dari antara yang baik-baik.
Selain itu bukankah aku sendiri harus mempertanyakan apakah kenikmatanku itu justru mengikatku. Oleh karena itu aku tertantang untuk inovasi menemukan dalam kondisi apapun aku bisa menikmati hidup.
Jadi apakah makan untuk hidup atau hidup untuk makan? Kalau aku makan untuk hidup maka makan apapun tidak menjadi masalah bagiku. Namun kalau hidup untuk makan..wah makan menjadi tujuan hidupku. Apakah memang Tuhan menciptakan aku hanya untuk makan? Ataukah makan diberikan supaya aku bisa hidup dan mencapai tujuanNya?  

Selasa, 15 Mei 2012

Aku cinta kamu (Renungan Batin – Muda&Mudi)


 Rasanya kaget setengah hidup, hampir tidak bisa dipercaya. Bagai petir di siang bolong. Bagaimana mungkin seorang cowok yang cakep, pintar dan banyak dikagumi teman-teman cewekku, mau menyatakan ketertarikannya padaku. Dia mengatakan kalau dia cinta aku…wow so sweet !!
Siapakah aku ini sehingga dia terpikat padaku? Bukankah banyak gadis yang lebih cantik, lebih menarik dan lebih kaya dari aku yang pastinya mereka bersedia jadi pacarnya. Bahkan mereka itu siap menunggu pinangan cowok itu. Akh mimpikah aku?...
Jujur saja aku juga menjadi salah seorang pengagumnya meskipun secara diam-diam. Memang sering aku mengangankan seandainya aku bisa menjadi pacarnya, wah pasti senang rasanya. Sekaligus aku juga akan bangga apalagi dihadapan teman-temanku, pasti mereka akan iri padaku.
Aku sadar aku punya banyak kelemahan, menurut penilaianku sendiri sih. Meskipun tidak sedikit teman-temanku mengatakan aku ini kelihatan lembut, keibuan dan sedikit berwajah manis. Namun tetap saja aku merasa ada yang kurang di diriku ini. Entah dengan rambutku yang agak keriting sehingga aku sering ke salon untuk rebonding. Belum lagi dengan kulitku yang kata ibuku agak hitam dan tinggi badan yang kurang proporsional membuatku minder. Padahal aku sendiri juga tidak tahu apa salahnya dengan rambutku yang keriting, kulit hitam dan badan yang pendek. Itu semua juga sudah ada sejak dari sananya (sejak lahir). Memang mungkin karena aku sendiri yang bermasalah.
Aku mencoba untuk bertanya kepada cowok itu kenapa dia menyatakan cintanya kepadaku? Dia tidak menjawab dengan jelas tapi dia hanya ngomong “suka aja”. Malah dia balik bertanya apa aku tidak mau jadi pacarnya? Aku hanya senyum, bingung mau ngomong apa.  Pikirku dalam hati, pastilah gadis bodoh yang tidak mau jadi pacarnya. Apalagi yang mau dicari, semuanya sudah baik malah mendekati sempurna plus paket lengkap lagi.
Saat-saat pertama bersamanya, semuanya terasa  menyenangkan. Hari-hari kulewati terasa begitu cepat. Padahal keinginanku kalau perlu jarum jam tidak bergerak supaya aku bisa menikmati waktu yang panjang bersamanya. Apalagi ketika dilihat teman-temanku saat kami bersama, kebanggaanku besar sekali. Banyak teman-teman yang iri dan bahkan ada yang mengatakan kalau aku menggunakan ilmu pelet supaya bisa menggaet cowokku itu. Aku cuek saja. Batinku, mungkin aku lebih beruntung dari kalian.
Bulan demi bulan sudah berlalu dan tak ada persoalan yang berarti di antara kami. Bahkan aku sudah mengkhayalkan akan menikah dengannya dan memiliki anak yang banyak. Wow..indahnya.
Namun sungguh tragis nasibku, ternyata apa yang sudah kubayangkan indah-indah pada masa nanti semuanya musnah dan hancur berantakan. Ternyata selama ini cowokku telah menipuku dan ia ternyata tidak sungguh-sungguh mencintaiku.
Beberapa waktu yang lalu aku melihatnya bersama seorang gadis dan bergandengan tangan di suatu mall. Sebenarnya aku mau menegurnya saat itu tapi aku takut kalau aku tidak bisa mengendalikan emosiku dan malu dilihat orang banyak. Namun esoknya memang dia jujur mengatakan bahwa gadis itu adalah pacarnya dan ia sudah tidak menyukaiku lagi.
Lalu aku dulu dianggap apa? Apakah aku hanya sebagai barang mainan saja yang bisa diperlakukan seenaknya. Apabila dibutuhkan disayang tapi kalau sudah bosan dibuang? Bukankah kamu dulu menyatakan cinta padaku. Lalu apa artinya itu semua?
Mantan cowokku itu menjawab dengan entengnya : lho aku cinta kamu itu tidak berarti aku akan menyerahkan hidupku padamu..jadi hidupku memang bukan untukmu. Lalu dia pergi. Gubrak !! aku pingsan.

Senin, 14 Mei 2012

Kacamata (Renungan Batin)


 Ketika aku masih remaja dulu aku kadang-kadang memakai kacamata rayban. Bukan karena mataku minus atau juga bukan karena silau terkena sinar matahari dan aku senang-senang atau nyaman-nyaman saja karena aku memakai kacamata itu lebih dikarenakan untuk bergaya. Tujuan utamanya untuk menarik gadis-gadis supaya terpikat padaku. Harapanku siapa tahu dengan memakai kacamata itu aku terlihat lebih cakep. Makanya kadang aku ingin difoto dengan mengenakan kacamata keren tersebut.
Sebenarnya ini terinspirasi oleh bintang film yang kala itu cukup keren dan terkenal yaitu Eric Estrada dalam filmnya CHIPS. Dia memerankan polisi dan selalu memakai kacamata bila mengendarai mogenya (motor gede). Juga dengan bintang film Silverstone Stallone dengan film COBRA. Ketika memakai kacamata seperti itu, aku membayangkan aku akan segagah mereka dan pasti akan banyak gadis yang terpesona. Meskipun memakai kacamata ini tidak terlalu sering tapi aku merasa senang ketika mengenakannya.
Beberapa waktu lalu aku pergi ke salah satu optic untuk membeli kacamata setelah dilakukan pemeriksaan. Sebelumnya aku juga sudah memiliki kacamata karena mataku sudah tidak bisa membaca tulisan yang kecil dan ternyata juga silinder. Namun aku memakainya kalau untuk membaca saja, itupun kadang-kadang. Ketika diperiksa ulang ukuran silindernya bertambah, jadi terpaksa beli lensa baru.
Pada saat aku sedang berkaca untuk menentukan  bentuk frame dan lensa yang baru yang akan aku pilih, terbersit perasaan yang tidak nyaman. Artinya perasaan bangga yang dulu bila memakai kacamata sekarang justru tidak nyaman dan kalau perlu tidak memakainya. Aku mencoba mencari tahu penyebab perubahan perasaan ini dan aku menemukannya.
Sekarang aku tidak nyaman karena sebenarnya dengan mengenakan kacamata plus itu menandakan usiaku memang sudah tidak lagi remaja alias sudah mulai tua. Panggilan alam ini menggelinding tanpa terasa namun pasti. Dari waktu ke waktu yang dilalui semua berproses menuju ketuaan. Salah satunya adalah mataku yang dulu begitu jelas dan membaca tulisan ukuran apapun sekarang tanpa menggunakan kacamata tulisan itu hanya terlihat sederetan garis lurus saja. Belum lagi semua bagian dalam tubuh ini juga mengalami perubahan. Kadang antara siap dan tidak siap menerima keadaan ini terjadi, ada saja bagian yang dirasakan yang dulunya sepertinya tidak pernah merasakannya.
Bagaimana sikapku dengan semua ini. Sebagai manusia secara usia makin bertambah namun secara fisik kekuatannya makin berkurang dan makin lemah. Itu mau tidak mau harus disiapkan diri untuk menanggung semua proses alamiah ini.
Realita proses penuaan jasmani ini tidak bisa dihindari meskipun ada vitamin-vitamin yang bisa manjaga kebugaran atau mengulur waktu penuaannya. Termasuk juga dengan berolah raga, beristirahat cukup  dan sebagainya akan membantu kesehatan dan kekuatan tubuh namun bukan berarti proses itu berhenti tapi agak diperlambat dan puncaknya adalah mati. Maka tinggal sikap saya mau menerima relaita ini atau menolaknya, kalau aku menerima maka aku akan menyiapkan diri bila ada perubahan dan tentu saja akan membuatku nyaman dalam menghadapi setiap keadaan.
Namun yang jauh lebih penting adalah apakah hidup batiniahku makin bertumbuh dewasa. Seharusnya dengan bertambahnya umurku maka batiniahku juga makin matang. meskipun tidak menjamin demikian.
Biarlah hidupku makin sederhana dan persoalan yang harus dihadapi makin mematangkan hidupku. Tentu saja itu ditopang dengan relasi dengan Tuhan yang makin intim.

Menyuap orangtua (Renungan Batin – Muda mudi)


 Aku sulit menggambarkan perasaanku sekarang, rasanya campur aduk. Di satu sisi aku senang dan bangga  karena ada cowok yang sedang mendekati aku dan memang menyatakan rasa cintanya itu padaku. Entah apa sebabnya dia menyukai aku. Tapi di sisi yang lain hatiku masih ragu untuk mengiyakan cintanya padaku karena aku melihat karakternya tidak baik. Selama kami berteman dia suka berbohong dan mudah berjanji tapi seringkali tidak menepatinya. Omongannya saja yang besar dan sepertinya meyakinkan bahwa semua persoalan dapat dia atasi, terkesan sombong. Dan lagi dia itu keras kepala, yang penting maunya sendiri dan tidak mau mendengar kata orang lain.
Namun aku juga bingung karena gerakannya itu sangat agresif. Dia tidak hanya berusaha bersikap manis didepanku tapi terlebih kepada keluargaku. Berapa banyak kalau dia main ke rumahku selalu membawa sesuatu untuk keluargaku misalnya lauk pauk, barang-barang elektronik, membelikan pulsa dan ia juga terbiasa membelikan kado apabila salah satu keluargaku sedang berulangtahun.
Bukan itu saja, seringkali dia juga ikut ngobrol dengan orangtuaku. Jadi sepertinya aku dicuekin dan ia lebih asyik ngomong-ngomong dengan orangtuaku. Selain itu dia juga tidak segan-segan membantu keluargaku bila ada masalah.
Apa saja yang telah dilakukannya tentu saja membuat kesan baik bagi keluargaku, terutama orangtuaku. Mereka selalu memuji-muji teman cowokku itu. Mereka menganggap bahwa dia cocok jadi pacarku dan calon menantu yang ideal karena menurut anggapan mereka cowok yang baik itu tidak hanya mencintai pacarnya saja tapi juga peduli kepada keluarga pacarnya. Sepertinya mereka sudah menyetujui dan menerimanya padahal aku sendiri belum membuat keputusan apa-apa.
Hal ini tentu saja membuatku jadi serba sulit. Kalau aku menyetujui keinginan orangtuaku supaya aku menerima dia jadi pacarku maka aku takut dengan rumahtanggaku kelak, aku tidak berani mengambil resiko dengan perilakunya yang bisa jadi tidak berubah atau melah lebih buruk dari yang nampak sekarang ini dan tentu saja bukan saja aku sendiri yang akan menderita tapi keluargaku atau orangtuaku juga akan menanggung penderitaan itu.
Namun bila aku menolak cintanya maka aku akan menanggung resiko bisa dimarahi orangtuaku, dianggap bodoh, egois dan tidak memahami mereka, dianggap aku terlalu sulit atau milih-milih dan sebagainya.
Aku harus membuat keputusan secepatnya. Ini menyangkut masa depanku sendiri dan aku punya andil besar dan aku harus memiliki keyakinan sendiri setelah mempertimbangkan dengan matang. Hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut supaya nanti tidak makin menyulitkan aku karena teman cowokku itu makin mempengaruhi keluargaku.
Aku jujur melihat bahwa apa yang dilakukan temanku itu sebenarnya bagian dari bentuk “penyuapan”.  Karena dia memiliki tujuan untuk mendapatkan cintanya dariku maka dia berusaha mendekati keluargaku dulu secara intensif dengan harapan akan mendapat dukungan mereka. Dan tentu saja memang seringkali hal ini menyulitkan posisiku. Aku sepertinya tidak punya pilihan lain karena aku dibenturkan pada orangtuaku sendiri.
Namun tindakan “penyuapan” kepada orangtua ini merupakan tindakan pengecut karena tidak berani mengatakan sendiri, tidak berani berjuang sendiri dan tidak berani menerima kenyataan jawaban “tidak”.
Selain itu bentuk “penyuapan” ini juga merupakan trik kuno yang sebenarnya juga bentuk perjodohan di jaman Siti Nurbaya dulu dimana orangtua berperan dalam memutuskan calon menantunya.
Pertanyaannya apakah dia benar-benar tulus mau memperhatikan keluargaku atau jangan-jangan sementara saja karena supaya mendapatkan aku?  Bila demikian, maka kelak dia belum tentu mau membantu persoalan keluargaku setelah aku jadi istrinya.
Memang menolong dan peduli dengan keluarga baik namun biarlah ini jangan jadi “penyuapan” kepada orangtua. Bila ternyata tidak jadi maka orangtuapun juga akan kecewa karena tidak lagi bisa menikmati bentuk-bentuk kebaikan dari calon menantunya itu.
Dan keputusanku sudah mantap. Aku tidak mau menjadi pacarnya meskipun aku harus disalahmengerti orangtuaku dan dia sudah banyak menolong keluargaku.

Kamis, 10 Mei 2012

Dalam lelapmu kutemukan teduhku (Renungan Batin – orangtua & anak)

 

Hampir  tiap malam kuhampiri kamarmu dan kubiarkan diriku sejenak menatapmu yang tengah berbaring dalam tidur. Entah kadang aku sebelumnya sudah tertidur tatkala menemanimu memasuki saat istirahat malam, aku terjaga dan sempat memandangi wajahmu yang telah lelap. Namun juga kadang dalam kesibukanku mengerjakan sesuatu hal, kamu tidur sendiri tanpa aku disampingmu. Tapi setelah itu aku pasti menengokmu menjelang aku juga akan mengistirahatkan ragaku ini.
Saat kamu terlelap, banyak sekali wajahmu itu berbicara kepadaku dalam diam. Banyak pesan yang kamu sampaikan masuk dalam sanubariku dalam hening. Aku bisa menangkap sinyal-sinyal kehidupan yang kamu pancarkan saat kamu terbaring dalam ketenangan.
Wajah dalam lelap itu menyatakan kepasrahan. Seharian kamu melewati semua aktivitas dan kepenatan, dan saatnya tiba kamu kembalikan hidupmu pada panggilan alam. Menyerahkan seluruh hidupmu kembali pada pengaturan Tuhanmu. Saatnya kamu tidur, mengakui keterbatasanmu, menyadari kamu membutuhkan istirahat, bukankah esok masih ada waktu dan kepasrahan hari esok ditanganNya.
Ketenangan lelapmu itu juga menyatakan rasa bersalahku. Berapa banyak aku sering tidak sabar dalam menghadapi tingkah polahmu. Berapa kali aku menuntutmu untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya belum waktunya kamu memahami. Ada kesedihan, kekecewaan, rasa bersalah dan penyesalan atas apa saja yang telah aku lakukan padamu. Aku sebagai orangtua belum sempurna melakukan peranku, justru kadang masih diiringi dengan kesalahan yang aku perbuat padamu. Aku membasuh jiwaku dan diriku dalam genangan wajah lelapmu itu.
Tergolek dengan pancaran wajah yang berseru “akulah anakmu, seluruh hidupku ada dalam perlindunganmu”. Tak bisa dipungkiri akulah orangtuamu. Menatapmu memberiku tenaga untuk bersemangat menjalani hidup meski banyak terjangan badai. Aku ingin hidup menemanimu lebih lama dan menjadi teman sampai menghantarmu masuk dalam kedewasaan yang mandiri. Aku juga merasa tertantang untuk memberi apa yang kamu butuhkan sekaligus menjagamu dari apapun yang akan menghancurkan hidupmu.
Dalam lelapmu, wajah itu tidak bisa menipu. Aku menemukan diriku juga rapuh. Tak bisa aku hidup sendiri. Aku juga ingin kamu disampingku, memelukku, menemaniku….
Helaan nafas yang mengalir melalui luasnya wajahmu itu juga menyiratkan berapa guratan tempaan hidup yang telah kutanamkan dalam hidupmu. Kiranya helaan nafas itu panjang tanda kelegaan. Aku harap bukan helaan pendek yang membuktikan keputusasaan. Biarlah semua itu tertanam dalam keabadian melewati batas-batas waktu.
Namun bila lelap wajahmu terusik dengan rintihan, erangan dan desahan kesakitan oleh apapun. Betapa sedihnya juga hatiku. Tak tega aku melihatnya. Kadang tak terucap dalam bingkai kata-kata apa yang kamu rasakan. Tak juga aku memahami isyarat itu tapi kamu mengalaminya. Namun aku hanya memeluk dan menemani sampai kamu terlelap kembali.
Anakku..
Biarlah aku berkaca dari wajahmu. Aku justru menemukan pelajaran kehidupan saat kamu terlelap dalam tidurmu. Aku menemukan keteduhan dalam lelapmu. Tak kuusik lelapmu. Bagiku keheningan tak selalu diam, tapi keheningan menyeruak kesepian menyuarakan bunyi tanpa kata-kata.
Selamat tidur anakku…aku sayang padamu.