Sabtu, 31 Maret 2012

Curahan hati buat ortu (Renungan Batin – anak & orangtua)


Telah lama aku ingin membagikan apa saja yang kupikir dan rasakan pada ayah dan bunda. Namun tidak cukup keberanian bagiku untuk melakukannya apalagi bila kuungkapkan secara lisan, entah kenapa. Aku tahu tidak boleh begitu sebenarnya tapi ini yang terjadi. Maaf ya ayah dan bunda he he… Semua telah terpendam begitu dalam dan kadang aku mencoba untuk menyimpannya sendiri namun lama-lama aku tidak tahan dan aku harus berbicara. Semoga lewat tulisan ini bisa mewakili semuanya dan aku berharap ayah dan bunda bisa memahaminya.
Ini berkaitan dengan diriku dan tentu saja juga menyangkut ayah dan bunda. Ayah dan bunda, terima kasih kalau selama ini sudah mau mengasuh dan memelihara aku. Tidak lepas juga atas semua nasehat-nasehatnya aku begitu menghargainya. Aku sadar kalau sampai memasuki usia remaja sekarang ini, tentu tidak lepas dari didikan dan kasih sayang ayah dan bunda.
Namun saat ini, dengan segala  hormat, ijinkan aku menyampaikan isi hatiku. Tentu saja nanti ayah dan bunda boleh menanggapinya. Sebagai seorang remaja, aku sudah mulai berkembang. Wawasan dan pergaulanku juga makin bertambah. Ada banyak hal-hal baik namun juga tidak sedikit perkara-perkara yang jelek. Tantangan, tawaran maupun jebakan hidup juga beraneka ragam. Dunia menyajikan segala pernak-perniknya dari hal yang kudus sampai tidak kudus. Tentu saja aku sebagai remaja pasti akan senang dengan dunia baruku ini namun juga sadar aku bisa menjadi incaran empuk bagi “serigala-serigala ganas” di sekitarku seperti teman-teman, media informasi, dan sebagainya. He he maaf ya ayah dan bunda, aku kok jadi filosofis sih..itu sih gara-gara ayah dan bunda yang terus mendorongku untuk banyak membaca buku pengetahuan, he he tapi asyik juga ya.
Di saat inipun aku tetap membutuhkan bimbingan ayah dan bunda, namun aku juga ingin diberi kesempatan untuk belajar menghadapi setiap tantangan hidup ini. Menimbang-nimbang dengan keyakinanku sendiri dan membuat keputusan sendiri. Bukankah ini kesempatan untuk berlatih sekaligus untuk menguji bagaimana dengan norma-norma yang ayah dan bunda telah ajarkan padaku selama ini? Kalau ada yang aku tidak tahu, pasti aku akan bertanya pada ayah dan bunda. Ayah dan bunda dapat memberi masukan apapun dan biarlah aku belajar mengambil keputusan untuk itu bahkan kadang harus menanggung resiko karena kesalahan pilihanku. Tapi jangan dimarahi ya…jangan disalah-salahkan. He he hmh aku senang ayah dan bunda sudah tidak memukul pantatku lagi bila aku nakal. (aku ingat dulu ketika memanjat pohon mangga tetangga dan mengambilnya ketahuan bunda..dan ya gitu deh kena pukul pantat..he. tapi sekarang sudah tidak mencuri mangga lagi kok)
Aku juga ingin memikirkan kemana masa depanku. Jurusan apa yang aku ambil nanti bila aku kuliah dan di universitas mana biarlah itu sesuai minat dan kemampuanku. Pastilah menyenangkan bila menjalani sesuatu karena disukai dan sesuai kemampuannya. He he ayah dan bunda pasti bisa menebak apa yang kumau..ya khan?
Eh ini ada yang lebih serius ya ayah dan bunda. Mengenai pacaran bagaimana? He he Cuma bercanda kok aku tahu kalau belum boleh pacaran ya, aku kan masih SMA. Tapi justru aku ingin berterima kasih pada ayah dan bunda yang telah mengajariku prinsip-prinsip bagaimana memilih pasangan hidup dengan benar. Namun bila kelak ayah dan bunda melihat sudah saatnya aku berpacaran dan menikah tapi ternyata belum juga aku menemukan calon teman hidupku nanti, aku minta ayah dan bunda jangan memarahi aku atau menyalahkan aku apalagi dengan segala ancaman untuk memaksaku menikah menurut maunya ayah dan bunda. Kalau begitu pastilah aku akan tertekan dan bisa salah membuat keputusan. Akibatnya aku bisa menderita dan pasti ayah dan bunda juga akan kena getahnya.
Aku tahu ayah dan bunda akan bijaksana. Aku akan memutuskan dengan orang seperti kriteria yang telah ayah dan bunda ajarkan padaku, Cuma ijinkan aku diberi keleluasaan untuk membuat keputusan kapan akan menikah. Jangan takut dengan penilaian orang lain ya ayah dan bunda tentang aku nanti.
Lho aku kok sudah cerita hal-hal yang belum pasti sih ya…he he namun ini kesempatan yang baik untuk cerita hal penting ini pada ayah dan bunda. Tentu saja pasti ayah akan mengajak diskusi nanti, aku siap kok ayah he he.
Aku hanya ingin seperti bunda yang tunduk pada suami (ayahku) dan ayah yang begitu sayang dengan bunda. Biarlah aku kelak mendapat suami seperti ayah dan aku akan menjadi seperti bunda yang menghormati suami. Doakan aku ya ayah dan bunda.
Ayah dan bunda…ini sekelumit curhatku. Kapan-kapan disambung lagi ya..aku mengasihi ayah dan bunda

Kamis, 29 Maret 2012

Ancaman (Renungan Batin – muda mudi)


Aku takut sekali karena aku baru saja mendapat SMS dari pacarku. Dia memberitahu kalau dia akan bunuh diri dan katanya dia sudah membeli obat pembasmi serangga bahkan sekarang ini sudah siap diminumnya. Dia mengancam akan melakukan tindakan nekat ini bila aku tetap meminta putus hubungan dengannya. Intinya dia ingin supaya aku tetap jadi pacarnya.
Aku bingung menghadapi kondisi ini. Memang baru-baru ini aku sering bertengkar dengannya. Aku sudah jengkel dengan sikap dan perilakunya selama ini yang malas untuk bekerja. Aku sudah menyarankannya berkali-kali supaya dia segera melamar bekerja dimanapun namun dia selalu banyak alasan. Tentu saja dia sempat bekerja juga di beberapa perusahaan tapi selalu tidak bertahan lama dan keluar. Dia beralasan karena pimpinannya tidak enak atau teman kerjanya jahat-jahat atau jam kerjanya tidak jelas dan segala macam persoalan yang dia ungkapkan untuk membenarkan keputusannya. Dan akhirnya kembali menganggur.
Memang orangtuanya mampu dan ia menggantungkan hidup pada kekayaan mereka. Tapi seharusnya dia tidak boleh begitu apalagi usianya sudah bukan lagi anak-anak. Bukankah nanti dia harus menjadi kepala rumah tangga kalau menikah dan harus menafkahi anak istrinya. Bagaimana bisa kebutuhan keluarganya harus disokong dari orangtuanya ?
Tapi bagaimana dengan ancaman ini? Kalau aku tetap dengan keputusanku dan ia bunuh diri bagaimana? Nanti aku bisa disalahkan orang lain atau merasa bersalah sendiri. Wah betapa peliknya hubunganku dengannya. Akhirnya setelah mempertimbangkan dengan matang-matang, aku menjawab bahwa keputusanku telah bulat untuk mengakhiri saja percintaanku dengannya.
Suasana terasa mencekam dan dia tidak membalas SMS ku. Aku tambah kuatir. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sana. Malam ini aku gelisah sekali sehingga tidak mungkin aku bisa tidur. Pikiranku melayang-layang membayangkan bagaimana dengan pacarku itu. Aku tidak berani telp atau sms, namun aku juga takut kalau ada sms atau telp masuk jangan-jangan ada kabar yang kutakutkan itu.  
Sampai esok hari tidak ada berita, perasaanku mulai lega. Dan sorenya aku secara tidak sengaja ketemunya di jalan tapi dia segera pergi dengan wajah marah dan tidak membalas senyumku. Aku sakit hati namun kelegaanku justru lebih besar, karena dia masih hidup. Rasanya plong sekali bisa memutuskan sesuatu yang dulu sudah sering ingin kulakukan tapi tidak berani-berani.
Aku sudah ingin putus dengan cowokku itu beberapa kali. Selain karena dia malas tapi dia juga sering mengancam aku kalau aku memutuskan hubungan dengannya. Kata orang dia sangat “possesive” sekali denganku. Pernah dia mengancam mau jadi anak berandalan : suka mabuk, kebut-kebutan dan memang dia sempat melakukan hal-hal tersebut beberapa saat dan dia mau berhenti setelah aku mau kembali kepadanya. Pernah juga dia minggat dari rumah tanpa memberi kabar sampai keluarganya kebingungan dan sebagainya.
Setelah aku pikir-pikir, aku akan menderita apabila menikah dengannya kelak. Setiap kali ada masalah denganku, tindakannya justru melarikan diri atau merusak dirinya sendiri. Padahal itu baru masalah seperti itu. Bagaimana nanti kalau sudah berumahtangga dengan berbagai persoalannya seperti masalah keuangan, anak sakit, genteng bocor, ngepel dan nyapu dan segala pernak-pernik yang lainnya. Apakah dia sanggup? Padahal dia laki-laki yang seharusnya bisa melindungi keluarganya. Padahal aku juga sudah menunggu dia untuk berubah namun dia tidak juga menunjukkan itikad mau berubah, maka ya sudah bagiku tidak ada pilihan lain.
Aku rasa keputusanku sudah sangat tepat. aku tidak mau pernikahanku nanti justru membuatku menderita. Untuk apa menikah bila hanya makin membuat banyak persoalan. Aku juga tidak mau menikah karena terpaksa atau karena takut ancaman.
Ancaman yang dia ungkapkan padaku ternyata tidak dilakukannya. Itu hanya emosi. Itu hanya ancaman. Namun kalau seandainya dia tetap dengan tindakan nekat itu, aku tetap tidak boleh merasa bersalah dan tidak mau dipersalahkan karena dasar keputusanku itu bisa dipertanggungjawabkan dan aku juga tidak menyuruhnya melakukan hal tersebut.
Tentu tidak ada wanita di dunia ini yang mau hidupnya selalu tertekan dalam menjalin hubungan dengan pasangannya. 

Selasa, 27 Maret 2012

di bawah rindangnya pohon beringin (Renungan Batin -muda & mudi)


Siang itu di saat panas matahari begitu menyengat aku duduk berdua dengannya. Tak terusik keasyikan kami dengan segala mata memandang dan lalu lalang orang lain dengan kesibukannya masing-masing di alun-alun kota itu.

Hatiku resah, jantungku berdebar-debar dan pikiranku tak lagi bisa tenang. Tak kusadari salah satu kakiku menghentak-hentak berirama senandung tak berlagu. Hmh kenapa aku ini? Hai..kamu kan laki-laki mengapa untuk menghadapi situasi ini saja nyalimu kecil? Ucapku dalam hati.

Sejenak kutatap wajahnya dan dia  hanya tersenyum. Wah makin kencang debar jantungku. Huih…kacau deh kalau begini. Ayo sikat aja ! kamu kan sudah pengalaman. Terus saja pikiranku berkecamuk tak karuan.

Kugenggam jemari tangannya dengan penuh kehangatan. Tak ada penolakan, namun justru aku segera menarik tanganku dan terasa sekali getaran jemariku tanda kegugupanku. Baru kali ini aku merasa seperti ini. Berapa banyak gadis yang sudah aku pacari dan aku dengan percaya diri menyatakan cintaku pada mereka. Tak ada seorang gadispun yang menolak cintaku saat itu. Namun sekarang, aneh justru semua pengalamanku dulu tak laku. Kepercayaan diri justru luntur dihadapam gadis yang sederhana ini.

Dengan terbata-bata aku memberanikan diri untuk berbicara, meski sambil menunduk. Belum sampai aku menumpahkan semua perasaanku, dia memotong perkataanku. “kamu mengajakku disini ada perlu apa?”
Nah justru itulah yang aku mau katakan tapi sepertinya mulutku terkunci. Dia mulai gelisah dan sepertinya aku harus segera memberitahu untuk maksud apa aku mengajaknya. Yap..aku harus ngomong.

“Aku cinta kamu. Maukah kamu jadi pacarku…hmh calon istriku” akhirnya keluar juga keberanianku

Dia terperangah dan matanya agak melotot tapi tetap tidak menghilangkan kecantikannya. Lalu dia terseyum “kalau untuk jadi calon istri tentu saja aku tidak mau”

Terus terang aku juga kaget dengan jawabannya sekaligus agak bergirang terasa ada harapan dibalik kata-katanya.

“Tentu setelah itu jadi istriku dong..”ujarku dengan semangat

Sekarang justru dia tertawa terbahak-bahak, seakan-akan dapat membaca pikiranku. Lalu wajahnya serius dan meluncurlah ucapannya yang begitu tenang dan tegas.

“Terima kasih untuk kehormatan ini tapi maaf aku tidak bisa menjadi pacarmu atau apapun namanya karena aku sudah memiliki kriteria seperti apa calon suamiku kelak dan sekali lagi maaf..kamu tidak masuk kriteriaku itu” Lalu dia segera pamit dan meninggalkanku dengan pandangan kosong.

Seperti petinju yang kena KO demikianlah aku saat itu. Tak mengira dapat pukulan telak. Tak dinyana ada seorang gadis yang begitu kuat memegang prinsip dan keriteria, tak mudah hanyut dengan perhatian dan rayuan laki-laki. Tak juga melambung ketika dibuai perasan cinta dan logikanya tetap berjalan. Aku salut dengannya. Makanya aku tadi begitu gugup. Tidak seperti pacar-pacarku dulu, diberi perhatian sedikit saja sudah menyodorkan diri.

Dibawah pohon beringin yang rindang ini seharusnya aku nyaman berteduh dari panasnya matahari namun kini seakan tercabut dengan akar-akarnya, tatapan mata orang-orang disekelilingku juga seperti mengejekku. rumput-rumput lembut dikakiku juga terasa seperti  duri yang menusuk-nusuk.

ah aku kena batunya..sekarang tinggallah aku sendiri. Segera aku berlalu dari tempat itu dan teringatlah lagunya Sheila On 7 “Aku pulang tanpa dendam…”. Biarlah ini menjadi pelajaran bagiku untuk menghargai wanita dan tidak menganggapnya bahwa mereka adalah mahkluk yang mudah dijerat dengan apa yang dinamakan “cinta” lalu membuangnya begitu saja ketika aku sudah tidak menyukainya lagi.

Jumat, 23 Maret 2012

Mengasihi bantal yang kumal (Renungan Batin – relasi dengan orang lain - 1)

Ketika anak saya Marvel baru lahir. Ada kado dari seorang teman untuknya yaitu sebuah bantal kecil yang dipakainya ketika dia digendong. Maksudnya supaya kepalanya bisa nyaman dan terhindar dari sentuhan keringat si penggendong. Bantal itu bergambar tokoh kartun si beruang Pooh.

Sekarang usia Marvel sudah hampir 9 tahun, namun bantal itu masih setia menemani tidurnya. Bahkan ketika bantal itu tidak terlihat di kasur maka dia akan mencarinya hingga ketemu. Tentu saja pembungkus bantal kecil itu sudah berganti dan sekarang ini sudah terlihat kumal dan kotor. Rasanya sudah tidak layak lagi untuk disimpan apalagi sebagai teman tidur. Sebenarnya bisa saja diganti dengan bantal yang baru yang lebih bersih, namun Marvel tidakmau. Bahkan ketika kami mencoba membuang dan memegang bantal itu dengan rasa jijik, Marvel terlihat tidak suka dengan sikap kami. Justru dia memeluk bantal yang kotor itu dan terlelaplah tidurnya.

Mengapa Marvel sedemikian menyukai bantal yang sudah kumal itu? Ketika aku berpikir dari sudut pandangku maka aku tidak menemukan satu alasan untuk merawat dan menyimpan bantal itu karena penampilannya tidak menarik dan sebagainya, dia tidak layak disukai atau dikasihi. Namun ketika aku mencoba berpikir dari sudut pandang Marvel terhadap bantal itu, maka aku jadi melihat sisi yang berbeda. Aku jadi bisa menghargai, merawat dan menjagai serta memperlakukan bantal itu secara senang dan dengan penuh kasih sayang.

Pelajaran yang begitu dalam bisa aku dapatkan. Bagaimana aku bersikap kepada orang lain seharusnya tidak ditentukan dari sudut pandangku dan juga bukan karena kondisinya. Aku mengasihi, menghargai dan menerima orang lain bukan karena dia layak untuk dikasihi apalagi bukan karena dia sudah banyak berbuat baik kepadaku.

Tentu saja ada banyak alasan untuk sulit mengasihi orang lain apalagi bila orang lain tersebut sudah banyak merugikan dan manyakiti hatiku. Yang seringkali terjadi aku akan mudah membencinya dan menaruh dendam kepadanya. Atau minimal berharap atau mengangankan supaya orang yang telah membuatku menderita itu akan mendapat celaka dalam bentuk apapun. Maka aku tinggal merasa lega dan mensyukuri hal itu telah terjadi atasnya. Sebenarnya ini juga tidak lebih dari hati yang jahat. Banyak orang mengatakan adalah adil kalau kejahatan ya harus dibalas dengan kejahatan. Kalau orang memukul aku maka aku juga harus ganti memukulnya. Kalau diam saja, maka aku dikatakan “pengecut” dan “goblok” atau sejenisnya.

Jadi aku akan mengasihi dan menerima orang dengan baik bukan karena kondisinya pantas untuk aku perlakukan demikian, juga bukan karena dia kasihan sehingga aku belas kasihan padanya, juga bukan karena banyak jasanya padaku. Namun aku harus mengasihi orang bagaimanapun karena Tuhan yang menciptakan dan memiliki orang itu mengasihi orang itu.

Jadi hanya itu alasanku untuk mengasihi orang lain. Sehingga tidak ada alasan apapun buatku untuk tidak mengasihi orang lain bagaimanapun keberadaannya. Apalagi aku juga bukanlah orang yang sempurna. Kalau Sang Sempurna saja mengasihi dan menerima aku apa adanya maka tentu aku juga harus belajar demikian. Ternyata memang benar, Tuhan sudah membuktikan bagaimana Dia diperlakukan tidak adil, diludahi, ditampar, dikhianati, dicemooh, dicambuk,ditusuk, diejek bahkan disalibkan. Namun Dia masih bisa mengatakan “Bapa ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Apakah ada moral yang lebih tinggi dari ini?