Dalam suatu kesempatan saya sekeluarga makan siang
di satu rumah makan. Selain makanan pokok ternyata ada banyak macam lauk pauk
yang tersaji di meja. Hal tersebut tentu mengundang selera konsumen untuk
menyantapnya, termasuk aku.
Dari semua lauk yang terpampang
di depan mata dan tercium aroma yang menggoda, hampir semuanya aku suka. Bila disebutkan
satu persatu misalnya ada tempe/tahu goreng, sate telur puyuh, sate otak,
daging sapi (empal), perkedel, paru goreng dan sebagainya. Namun ternyata aku
hanya makan 1 tahu goreng dan 1 perkedel. Persoalannya bukan suka atau tidak
suka, mampu membeli atau tidak, mau hemat atau boros namun kalau mau jujur aku
sebenarnya sangat ingin memakannya tapi masalahnya aku sudah memutuskan untuk
tidak menyantap yang lain.
Pertimbanganku kalau aku memaksa
melahap makanan-makanan tersebut di usiaku sekarang ini bisa mempengaruhi
kesehatanku. Bukan berarti ketika aku hanya makan lauk perkedel dan tahu goreng
aku puas dan menikmati. Justru agak sedikit terpaksa karena keinginan hatiku
sebenarnya ingin makan lauk lebih dari itu. Berarti aku masih punya keinginan
makan makanan tertentu. Aku masih suka menyantap lauk yang enak-enak.
Ada makanan yang menjadi
kesukaanku dan kegiatan makan itu kadang dapat menjadi kesempatan bagiku untuk
berpikir dan mencari ilham untuk suatu hal yang akan aku tulis atau aku
putuskan. Biasanya aku berdiam diri sambil menikmati makanan dan minum teh di
tempat yang aku sukai, lalu di saat itu aku bisa memikirkan dengan lebih nyaman
bila ada yang harus aku putuskan.
Dulu apa yang bisa aku nikmati
secara bebas dengan makan apapun, sekarang tidak lagi merdeka aku nikmati. Namun
benarkah aku tidak lagi merdeka? Apakah aku merasa dibatasi dan itu membuat
hidupku tak berdaya?
Bukankah aku justru merdeka
sekarang. Karena aku bisa bebas memutuskan aku mau makan atau tidak dan bukan
nafsu makanku atau dorongan perut yang mengatur hidupku. Saat ini aku yang
menentukan perutku mau diisi apa, kapan dan seberapa. Dan itu aku lakukan
karena berpikir dan memiliki pertimbangan. Dulu aku bisa saja seenaknya makan
apapun, seberapapun, berapa kalipun dan itu aku lakukan pokoknya aku bisa puas
dan kenyang. Dan yang menyedihkan lagi, sering kali hal tersebut aku lakukan
karena tidak berpikir.
Ternyata persoalan makan ini menguak
persoalanku di bidang lain. Seringkali aku bisa bertindak dan memutuskan hanya
karena dorongan nafsu, emosi atau desakan-desakan lainnya. Aku sering melangkah
tanpa mempertimbangkan secara matang. Wah bisa berbahaya sekali kalau aku
menikah yang pertaruhannya seumur hidup itu hanya didasarkan pada nafsu, emosi,
atau perasaan cinta. Atau masalah pemilihan tempat tinggal dan sebagainya.
Dalam hal membuat keputusan. Bisa
saja di awal-awal ada perasaan terpaksa atau belum bisa menikmati namun aku
harus konsisten dengan ketetapan hatiku. Yang penting keputusanku itu benar. Bisa
jadi sekarang ini dalam proses pendewasaanku , dalam membuat keputusan atau
pilihan-pilihan aku tidak lagi diperhadapkan pada benar atau salah, dosa atau
tidak, hitam atau putih namun mana yang terbaik dari antara yang baik-baik.
Selain itu bukankah aku sendiri
harus mempertanyakan apakah kenikmatanku itu justru mengikatku. Oleh karena itu
aku tertantang untuk inovasi menemukan dalam kondisi apapun aku bisa menikmati
hidup.
Jadi apakah makan untuk hidup
atau hidup untuk makan? Kalau aku makan untuk hidup maka makan apapun tidak
menjadi masalah bagiku. Namun kalau hidup untuk makan..wah makan menjadi tujuan
hidupku. Apakah memang Tuhan menciptakan aku hanya untuk makan? Ataukah makan
diberikan supaya aku bisa hidup dan mencapai tujuanNya?