Kamis, 06 Desember 2012

Trainer Gratis (Renungan Batin)


 Dulu ketika aku di jalanan mengendarai kendaraan, tidak jarang bertemu atau berpapasan dengan orang-orang yang tidak tertib berkendaraan. Misalnya ketika aku sudah antri panjang berderet karena jalanan padat atau memasuki suatu arena tertentu, tiba-tiba tanpa diduga ada kendaraan lain muncul dan memotong jalanku ingin mendahului entah karena tidak sabar atau memang. Dia mengambil posisi mepet terpaksa aku harus berhenti atau aku agak menepi untuk memberi jalan kepadanya. Kadang aku jadi emosi dan seperti memancing kemarahan. Tidak jarang aku tidak mau mengalah sehingga aku terus maju saja dengan resiko terserempet dan mungkin akan konflik.
Kadang-kadang ada kendaraan dari arah berlawanan mengambil jalur kendaraan yang dari arah sebaliknya karena menyalip kendaraan lain di depannya. Hal ini juga cukup membuat berdebar-debar. Aku jadi jengkel dan seringpula aku marah-marah dan sengaja aku tidak mau meminggirkan kendaraanku. Sebenarnya resikonya sangat berbahaya yaitu kecelakaan. Namun karena aku sedang marah, maka jadi tidak berpikir waras.
Menemui orang yang menjengkelkan tidak hanya di jalanan. Bisa saja ada orang yang memfitnah aku dengan mengatakan tindakanku begini begitu padahal aku tidak demikian. Atau orang itu mengabarkan info yang tidak benar tentang aku dan apa yang aku lakukan, padahal menurutku itu salah sama sekali. Biasanya responku adalah segera menemui orang itu siapapun dia dan mencoba mengklarifikasi apa yang dia katakan dan aku akan mencoba menjelaskan panjang lebar siapa aku menurut versiku.
Di rumah juga kadang berbenturan dengan anak-anak, pembantu atau bahkan istri. Mereka bersikap atau berperilaku yang dapat memancing kemarahanku. Maka aku jadi membentak dan memarahi  mereka.
Banyak hal sudah kejadian demi kejadian aku alami bersinggungan dengan orang lain yang aku rasa dan pikirkan mereka tidak beres. Aku merasa akulah yang benar. Aku menuntut orang harus hidup sesuai stadardku. Misalnya mereka harusnya tahu etika berkendaraan, tahu sopan santun, tidak sekedar ngomong tanpa data yang betul dan sebagainya.  
Dengan keadaan itu aku merasa tertekan sendiri, mudah marah, jadi merasa mudah lelah karena emosinya tegang, hubungan dengan orang lain jadi tidak nyaman, aku jadi mudah menuntut orang lain dan sebagainya. Semuanya jadi tidak enak, aku tidak bersukacita dan tidak menikmati hidup.
Setelah aku renung-renung. Persoalanku adalah tidak mencoba memahami bahwa kejadian-kejadian dan adanya orang-orang itu bukan kebetulan untuk dialami. Semua ada maksudnya. Tidak serta merta itu terjadi begitu saja. Kalau aku menangkap sinyal ini bukan sebagai sesuatu yang kebetulan, maka tinggal aku merenungkan ada maksud apa semuanya ini harus ada.
Aku menyadari ternyata sifatku masih egois, aku masih mudah marah, mudah tersinggung untuk perkara remeh sekalipun, aku tidak rendah hati, masih merasa harga diriku penting bahkan naluri perilaku “preman” ku yang ada sebelum bertobat masih bercokol meskipun aku sudah sekian lama bertumbuh dan melayani juga. Hah ! lalu aku ini manusia apa? Bagaimana mau melayani kalau diperlakukan sebagai pelayan saja aku gusar? Bagaimana mau memberi diri pada orang lain kalau difitnah aja sudah mau membenarkan diri? Bagaimana akan menjadi hamba yang melayani kalau bibirnya tidak tersungging senyum tapi justru mudah tersinggung? Malu aku…
Padahal…
“kerendahan hati adalah ketenangan hati yang sempurna yang tidak pernah merasa dilukai atau disakiti atau dikecewakan; yang tidak mengharapkan suatu apapun; tidak heran terhadap apapun yang terjadi atas dirinya; yang selalu tenang meski tidak seorangpun yang memuji; atau meski difitnah dan dihina sekalipun.” (Andrew Murray)
Rasa-rasanya aku masih jauh dari sifat itu. Tapi sepertinya Tuhan mau membentuk aku supaya aku menjadi rendah hati, dengan cara mengirimkan “trainer-trainer gratis” itu. Luar biasa, aku tidak perlu mengundang mereka, tidak perlu membayar mereka dan tidak perlu menjamu mereka tapi mereka dipakai untuk melatih aku secara gratis. Ternyata trainer tidak harus menyampaikan materi dalam ruangan, tidak harus penampilan sopan dan baik hati tapi juga ada yang memiliki sifat yang tidak baik dan langsung diajak praktek.  Trainer itu bisa siapapun. Seharusnya aku senang ya…
Jadi aku belajar merubah cara pandangku. Aku memandang mereka sebagai trainer gratis diutus dari surga untuk mengubah watakku yang masih tidak baik. Dan kalau aku rendah hati, oh alangkah nyamannya hidup ini karena aku dapat menikmati sukacita tanpa tergantung bagaimana sikap dan perilaku orang terhadapku. Selamat datang trainer gratis !!

Selasa, 18 September 2012

Bila tiba saatnya (Renungan Batin)


 Baru saja aku menerima SMS dari seseorang yang membuatku terhenyak, seakan tidak percaya. Aku mencoba mengkonfirmasi apakah memang benar berita yang baru saja aku baca tersebut. Dan ternyata memang benar. Aku masih bengong belum begitu sadar bahwa memang kejadiannya begitu. Aku telp seseorang lagi dan menanyakan hal sama. Jawabannya tidak berbeda, ya memang benar demikian.
Baru saja telah dipanggil Tuhan atau tepatnya Bapa di surga. Seorang sahabat, saudara seiman, saudara seperjuangan di dunia ini, seorang hamba Tuhan. Setelah sempat melewati sakit beberapa waktu dan sempat dirawat di rumah sakit.
Banyak pertanyaan muncul di benak, ada apa? Padahal dia masih muda dan sedang giat-giatnya melayani Tuhan? Masih banyak pekerjaan yang belum selesai dilakukannya. Tapi memang itu realitanya. Aku mencoba bergelut dengan segala pikiranku.
Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku sendiri. Ada kesedihan, ada pengharapan, ada kerelaan, ada kebingungan, ada ketakutan dan sebagainya namun jujur aku tidak tahu.
Namun memang harus terus aku sadari bahwa bila tiba saatnya bagi seseorang untuk dipanggil pulang, hal itu kadang bisa mengagetkan bagi orang-orang yang ditinggalkan. Ada ketidaksiapan untuk melepas pergi apalagi bila orang tersebut sangat berarti hidupnya bagi banyak orang. Ada perasaan hilang yang menyeruak tiba-tiba. Ada perasaan asing yang menggelayut di dada. Dan itu hanya dapat dirasakan secara pribadi bagi yang mengalami.
Itu juga menyatakan bahwa bila saatnya tiba maka tak seorangpun bisa menghindar dari panggilan kudusnya tersebut. Bagi orang tersebut perhatiannya sudah tidak lagi pada apa yang ada disekitarnya : keluarganya, hartanya, cita-citanya, pekerjaannya da lain-lain namun yang ada dihadapannya sekarang hanya Tuhan dan hanya Allah saja yang sedang berurusan dengannya. Tak seorangpun bisa mewakili dan tak seprangpun bisa menemani. Sekarang antara dia dan Allah saja.
Apa yang akan dikatakannya kepada Tuhan? Apa yang akan dipertanggungjawabkan pada pencipta alam semesta ini? Apa yang mengikuti perjalanan kekalnya ini? Dan apa juga komentar Tuhan terhadapnya? Apa sambutan Tuhan baginya?
Betapa fananya manusia. Semua memang perlu kembali pada pemilik hidupnya. Dunia ini memang sudah rusak dan menjalani proses kehancurannya. Dunia cemar ini bukanlah rumah tinggal abadi. Tak perlu dipegangi dan tak usah dipertahankan. Semua akan ditinggalkan. Hanya yang perlu terus sadarkan diri untuk menyambut panggilan itu. Siapkan diri sebaik-baiknya. Jangan terlena oleh dosa dan jangan sampai aku hidup seenakku sendiri.
Aku juga tidak berusaha menjadi orang yang menegarkan diri ketika kehilangan. Dan bila aku butuh menangis, aku akan menangis, bila aku akan bertanya pada Tuhan maka itu pula akan kulakukan. Aku membiarkan diriku berproses dalam perasaan secara alamiah dan tidak mencoba menutupinya atau menyangkalinya.
Bila saatnya tiba, biarlah kelak Sang Kekal itu akan mengatakan “sekarang beristirahatlah hai hambaKu yang setia, kamu sudah bekerja melakukan apa yang menyenangkanKu selama di dunia. Biarlah kamu masuk dan menikmati kemuliaanKu. Dan lihatlah jerih lelahmu menyertaimu”
Saudaraku, Saat ini kenangan-kenangan yang baik yang diingat orang. Selamat jalan saudaraku, hamba Tuhan. Saat ini kamu bisa bertemu muka dengan muka dengan Tuhan yang telah kau layani selama ini. Biarlah kami saudara-saudaramu di sini masih berjuang melakukan amanatNya untuk melayani masyarakat di sini seperti yang dulu telah kau perjuangkan juga.
Selamat jalan Sony T.  Putra. Perjalananmu di dunia ini telah usai dan perjuanganmu telah berakhir. Kini tinggal menikmati sukacitamu.
Memo, kamis 21 Juni 2012

Teman lama atau kenangan lama? (Renungan Batin-suami istri)


 Taxi yang membawaku dari bandara meluncur dengan gesitnya dan tanpa kusadari tibalah aku di sebuah rumah makan yang teduh di pusat kota gudeg  itu. Sudah lama sekali aku meninggalkan kota ini dan berjuang menjalani hidup di ibu kota. Namun rasanya tidak banyak perubahan yang terjadi di sini. Mungkin hanya perasaanku saja yang seperti tamu di rumah bersama ini. Sejenak ingatanku melayang ke masa silam dan sepertinya baru kemarin aku pergi. Semuanya begitu melekat dan sulit untuk bisa dilupakan. Ah terlalu banyak kenangan di sini.
Dari balik kaca mobil kulihat dia sudah menunggu, bersandar di sebuah bangku yang agak menyudut letaknya. Hmh..dia masih hafal dengan letak dan situasi itu. Betapa sudah kubayangkan pertemuan ini.
Sesaat kami telah duduk berhadapan. Terdiam, mungkin gugup dan bingung apa yang harus kami lakukan dan katakan dalam kondisi itu. Terasa agak aneh, bisa jadi karena sudah lama tidak bertemu dan tidak ada komunikasi di antara kami. Itu semua memang sudah menjadi kesepakatan kami sejak kami berpisah. Sejenak kuperhatikan sosok yang dulu dihadapanku in.  Masih terlihat jelas garis-garis ketampanan di wajahnya, meskipun rambutnya sudah mulai beruban disana sini. Dan lagi senyumnya itu tidak berubah… senyum yang dapat kunikmati selama kami bersama. Senyum itu yang membuatku terasa hangat.
“Halo, apa kabar?” sapanya sambil menjulurkan tangannya. Tidak berubah, dulu juga begitu orangnya pendiam tapi ramah. Kuambil sebuah buku dari dalam tasku dan kuberikan padanya. Dia tersenyum dan sejenak asyik membolak balik isi buku itu lalu dia sodorkan lagi buku itu padaku sambil mengulurkan sebuah pena. Aku tahu. Segera kububuhkan tanda tanganku di bagian halaman depan buku itu sambil kutulisi “ Terima kasih telah bersama”.
Itu buku kesekian hasil karyaku sejak aku memutuskan untuk menjadi penulis. Sebuah novel yang baru lounching di pasaran. Berharap dia suka dan tentu saja kebersamaan kami dulu sebagian mengisi deretan-deretan kisah yang tertulis di sana.
Lalu mengalirlah kami dalam perbincangan. Dari menceritakan pengalaman masa lalu, apa yang kami alami saat ini dan rencana kami ke depan. Sesekali kami saling tertawa bila mengingat kisah lucu. Rasanya mencair sudah kekakuan diantara kami sebelumnya.
Dulu kami memang pernah bersama ketika sama-sama kuliah. Kami pacaran hampir dua tahunan. Dan hubungan kami baik-baik saja saat itu. Bahkan menjelang lulus kami sudah memiliki rencana akan bekerja di suatu kota tertentu. Namun tanpa kami duga dan kehendaki, keluargaku tidak menyetujui hubungan kami karena alasan mereka kami beda suku dan dia dari keluarga yang tidak berada. Tragis memang tapi itu kenyataannya, dan meskipun aku berusaha untuk meyakinkan mereka namun sepertinya jalan itu sudah tertutup. Dengan berat hati kami harus menerima keadaan yang pahit ini dan belajar dewasa menyikapinya.
Setelah sekian tahun berpisah kamipun telah menikah dan dikarunia masing-masing rumah tangga yang baik. Tak terasa air mataku mengalir tatkala mengenang masa itu, sungguh berkesan namun menyakitkan. Ternyata kenangan ini telah menjadi bagian penting dalam hidupku. Dan kadang itu muncul menghiasi perjalanan lamunan dan perasaanku. Ada kerinduan, harapan, pelarian dari realita hidup yang sekarang dan sebagainya.  
Namun aku tidak boleh membiarkan hal ini berlanjut. Semua sudah berlalu dan kekinian yang kujalani. Ruang itu masuk ada dan terbuka dan membiarkannya di sana. Namun apa yang kami jalani sekarang bukan untuk mengulangi apa yang telah terjadi. Masing-masing kami menyadari semua sudah menjadi kenangan dan biarlah pengalaman itu menjadi bagian kecil dari pengisi ruang puzzle dari keseluruhan gambar hidup kami.
Entah kebetulan atau tidak mengalun diruangan itu “
“Pulang ke kotamu ada setangkup harum dalam rindu
….penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
……………………………………
Seiring laraku kehlanganmu
Merintih sendiri ditelan deru kotamu
Walau kini kau telah tiada kembali
Namun kotamu menghadirkan senyummu abadi
(Yogyakarta – milik KLA Project)

Hidup yang berarti (Renungan batin)


 Baru saja aku mendengar tentang kematian seorang anggota densus 88 (alm) Bripda Suherman yang tertembak ketika sedang melakukan penyergapan kepada dua orang teroris di Solo. Dimana kota ini sedang dilanda teror penembakan yang dilakukan para teroris tersebut. Tentu saja tewasnya salah seorang anggota pasukan khusus anti teroris ini menimbulkan duka yang mendalam di lembaga kepolisian dan di antara orang-orang yang mengenalnya serta terutama keluarganya. Demikian kesedihan juga dirasakan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia ini yang memang tidak suka dengan tindakan teroris dan benci dengan kekerasan.
Ketika jenazah tiba banyak masyarakat dari pejabat tinggi sampai masyarakat biasa datang melayat dan memberi penghormatan bahkan mengelu-elukan sebagai pahlawan. Ayah almarhum berkomentar meskipun dia berduka karena kehilangan anaknya namun dia bangga karena anaknya gugur dalam menjalankan tugas mulia.
Ketika aku merenungkan hal ini. Aku merasa ini benar adanya. Terlepas dari pandangan sisi-sisi yang lain. Aku menghargai dan menganggap tindakan almarhum patut dijadikan teladan, meskipun masih muda namun hidupnya sudah diabdikan bahkan nyawanya dia pertaruhkan untuk bangsa dan negaran ya serta memberikan rasa aman di masyarakat. Hidup dan matinya berarti bagi orang lain.
Ada orang yang bernama Dawson Trotman yang hidupnya diabdikan untuk melatih banyak murid bagi  Kristus. Sampai sekarang pengaruh hidupnya tidak berhenti. Di usia yang belum terlalu tua, dia meninggal tenggelam dan mayatnya tidak ditemukan tatkala dia menolong orang yang nyaris tenggelam di suatu danau. Matinya demi menolong orang lain.
Seorang yang bernama Jim William mengalami cacat polio ketika remaja. Tubuhnya nyaris lumpuh total dan terbaring di panti jompo dan ditinggalkan orangtuanya yang tidak mau bertanggungjawab. Hidupnya masih ditopang paru-paru besi, kalau dia duduk maka dia bisa langsung mati. Jarinya hanya bisa digerakkan tiga inchi saja. Namun karena imannya kepada Tuhan Yesus, hidupnya berarti. Orang yang menengok untuk memberi perhatian dan penghiburan padanya justru pulang dengan dihibur. Ada yang mengenal Sang juruslamat setelah dikenalkan oleh Jim. Doanya supaya ada orang yang memberinya uang kepadanya bukan untuk dia tapi untuk diberikan orang lain yang membutuhkan. Saat kematiannya dihadiri banyak orang yang telah “disentuh” hidupnya. Hidup yang terbatas dan menderita dan seharusnya membutuhkan perhatian orang lain, justru hidupnya melayani orang banyak.
Seorang misionaris di kutub selatan, yang hidupnya hanya mentaati Tuhan dan melayani suku di sana di tengah cuaca sangat dingin. Masih relatif muda dan istrinya masih mengandung anaknya, dia meninggal saat dia menolong seorang anak perempuan yang kepayahan membawa bongkahan es. Senapan yang sering dipakainya untuk berburu anjing laut (makanan pokok di sana) tiba-tiba meletus dan peluru menghujam dari mulut dan menembus bagian leher belakang. Penyerahan dan pengorbanan diri bagi orang lain ini dirasakan dan menyemangati anaknya yang dikandung saat itu yang tidak pernah melihat wajah ayahnya.
Lalu apakah selama ini aku hanya hidup dan memfokuskan diri hanya untuk kepentingan diriku dan keluargaku saja? ah betapa malunya kalau aku hanya mencurahkan pikiran dan mengisi hidupku untuk hal-hal sedemikian sempitnya. Dimanakah artinya hidupku kalau begitu.
Aku tidak mau hidupku hanya untuk mencari uang dan menumpuknya hanya demi kemapanan masa depanku dan keturunanku. Aku tidak ingin hanya jadi orang pintar dengan belajar berbagai ilmu supaya aku puas, dikagumi dan nyaman sendiri. Aku tidak berminat untuk membangun sebuah keluarga dimana istri/suami dan anak-anakku nyaman dan terpenuhi segala kebutuhan tanpa peduli dengan penderitaan orang lain.
Kelak aku tidak mau mati ketika muntah karena kekenyangan makan uang hasil korupsi meskipun kecil-kecilan. Aku tidak ingin mati ketika aku sedang selingkuh dan berzinah. Aku tidak mau mati ketika kedapatan sedang berfoya-foya dengan kemewahan, hiburan-hiburan duniawi dan sebagainya. Tapi aku mau mati ketika sedang memperjuangkan nasib orang lain.
Apa yang aku punya biarlah ini semua bisa dipakai untuk melayani orang lain. Apa yang bisa aku lakukan untuk orang lain biarlah itu yang memenuhi pikiran dan hari-hariku. Banyak orang yang menderita dan tertindas baik secara rohani maupun jasmani. Biarlah aku boleh menjadi pertolongan bagi mereka selagi masih ada waktu.