Jumat, 03 Februari 2012

Dinamika pernikahan (Renungan Batin - Suami & Istri - 10)


Sungguh tepat pernyataan sepasang pengantin yang diucapkan ketika mereka berada dihadapan Tuhan, hamba Tuhan dan jemaat untuk menyatakan bahwa mereka kini akan hidup sebagai suami istri.

Demikian juga dengan aku dan istriku pernah menyatakan hal tersebut beberapa tahun yang lalu. Pernyataan seperti itu bahwa kami akan saling mengasihi dalam keadaan susah dan senang, sakit atau sehat, miskin atau kaya sampai kematian memisahkan dan sebagainya. Itu semacam janji yang harus kami pegang dalam memasuki babak baru dalam pernikahan.

Di dalam perjalanan waktu dalam rumah tangga kami benar-benar teruji apakah pernyataan itu sungguh-sungguh dilakukan atau hanya sekedar ucapan kosong sebagai bagian dari liturgi saja. karena memang pada kenyataannya, pernikahan yang kami jalani ini tidak selalu mengalami keadaan yang baik, menyenangkan dan suasana canda ria. Adakalanya masalah-masalah yang sulit juga menerpa yang dapat menguras pikiran, emosi, harta dan air mata kami. Masalah tersebut bisa berupa hal-hal yang ringan tapi juga ada yang berat.

Persoalan bisa muncul dari hubungan suami istri. Kadang-kadang kami berselisih paham entah apapun persoalannya. Bila sudah begitu, hidup kami jadi tidak merasa nyaman. Ada pertengkaran yang membuat pasangan itu saling belajar namun juga ada yang justru membuat masalah itu berlarut-larut sehingga menimbulkan retaknya hubungan mereka. Kadang-kadang ada persoalan kecemburuan, masalah perbedaan cara mendidik anak-anak, pekerjaan dan sebagainya.

Kadangkala kesulitan timbul ketika anak-anak kami sakit. Itu juga sesuatu yang menyedihkan. Apalagi bila menanggung penyakit yang berbahaya dan harus dirawat di RS. Hari-hari akan terasa berat untuk dijalani. Bagi kami, ingin rasanya saat itu kami menggantikan rasa sakit yang diderita anak kami tersebut.

Masalah lain ketika kondisi keuangan kami memburuk. Pekerjaan tidak begitu bisa diharapkan banyak. Bahkan kami pernah mengalami kondisi deficit keuangan. Hal tersebut dapat memicu kepanikan. Anak-anak bisa makan atau tidak? Apakah kami masih bisa beli susu atau tidak untuk bayi kami? Bagaimana dengan uang SPP anak kami? Pertanyan demi pertanyaan muncul dan mendorong kami memikirkan apa yang harus kami perbuat.

Bila dalam kondisi seperti itu, masalah uang belanja dapat menimbulkan ketegangan diantara kami. Aku dapat mempertanyakan kenapa jumlah uang belanjanya meningkat, dipakai untuk beli apa saja. aku bisa berprasangka buruk pada istriku. Padahal dulu sebelum menikah, tiap minggu aku mengeluarkan uang untuk mengajaknya makan di rumah makan yang mahalpun aku senang-senang saja. Namun sekarang aku bisa ngomel-ngomel bila terlalu banyak pengeluaran, padahal mungkin memang harga-harga sudah mulai naik.

Keadaan yang sulit lainnya bila kami sedang sakit, entah salah satu di antara kami atau bersama-sama. Bila aku sakit, tentu saja kesibukan istriku ikut bertambah. Selain dia mengurusi anak-anak dan pekerjaan di rumah sehari-hari, dia juga harus merawat diriku. Mungkin aku butuh dipijit, dikeroki, dimandikan atau dibantu apa yang menjadi keperluanku saat itu. Keadaan ini akan sangat merepotkan dan melelahkan. Hal ini dapat membuat mudah untuk mengeluh, tertekan, marah-marah dan seterusnya.

Kondisi-kondisi seperti itu menyadarkan aku bahwa ada dinamika dalam penikahan. Ada keadaan yang membuat tertawa senang namun ada juga yang membuat menangis. Ada yang menimbulkan kelegaan tapi ada saat jantung berdebar-debar karena cemas. Ada saat sehat, ada kalanya sakit. Ada waktunya kelimpahan namun bisa jadi ada kesempatan untuk menikmati kondisi kekurangan.

Yang penting bagiku adalah menyiapkan diri dalam segala keadaan. Selalu mengembangkan ucapan syukur dalam segala keadaan dan belajar tidak mudah mengeluh. Mengingat semua ada dalam kendali Tuhan. Dan satu hal lagi yang aku ingat : pernyataan sepasang pengantin baru ketika diteguhkan di gereja adalah janji komitmen dan penerapannya dilakukan seumur hidup karena ada dinamikia dalam pernikahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar