Sabtu, 11 Februari 2012

Antara hidup dan mati (Renungan Batin – anak thd orangtua - 1)


Telah sekian lama aku memendam rasa ini. Meskipun tubuhku sudah lemah lunglai tak lagi bisa digerakkan seperti aku muda dulu. Pendengaranku sudah mulai berkurang, demikian juga dengan penglihatanku yang berangsur memudar. Tapi masih ada batin ini yang dapat merasakan dan mencerna semua yang ada di sekitarku dan apa yang kualami.
Di atas kursi roda ini kupasrahkan seluruh raga dan jiwaku kemanapun berputar.

Dengan didorong seorang perawat yang mengasuhku aku beranjak dari satu tempat ke tempat yang lain. Dia mendapat upah lumayan sehingga dia mau menyerahkan diri untuk merawatku seorang tua yang sudah tidak mampu mengurus dirinya sendiri. Praktis semua keperluanku dan keadaanku tergantung oleh dia. Sebab untuk memegang sendok yang berisi makanan dan membawanya ke mulutku saja aku tidak sanggup. Tanganku sudah seperti tak bertenaga lagi.

Ada saatnya dalam kelelahan atau mungkin juga kejenuhan, pengasuhku itu akan ngomel-ngomel atau membicarakan hal-hal yang negatif tentang diriku ke tetangga-tetangga di depan mataku. Hal itu terjadi kalau aku membuatnya jengkel. Bila sudah demikian aku hanya diam dan menatap dengan pandangan kosong, menyerah pada nasib, tidak berani berkata untuk membela diri.

Usiaku sudah di atas kepala Sembilan. Suatu kondisi yang langka bagi rata-rata umur manusia di jaman sekarang. Sudah banyak tahun kulewati namun banyak pula kejadian masa lalu yang sudah sulit kuingat. Entah mengapa aku harus begini dan disini di rumah ini tinggal hanya bersama pengasuhku?

Aku bukannya tak punya keluarga. Ada tiga anak-anakku yang masing-masing sudah berkeluarga bahkan mereka sudah menjadi orang-orang sukse. Justru dengan kekayaannya mereka sanggup memenuhi kebutuhanku sehari-hari, menyewakan rumah, menggaji perawat yang sanggup mengasuhku dua puluh empat jam. Sesekali mereka menjengukku barang seberapa jam, setelah itu mereka menghilang dalam kesibukan mereka lagi dan tiba-tiba muncul kembali pada saat yang tidak bisa diduga-duga.

Beginikah nasib seorang ibu yang telah melahirkan anak-anaknya? Dulu aku sebagai ibu mengasuh dan merawat anak-anakku penuh perjuangan. Dengan segala keterbatasan ekonomi, tenaga dan waktu aku tidak membiarkan mereka diasuh oleh orang lain, tak kutitipkan mereka ke saudara-saudaraku atau bahkan tak kujual mereka ke makelar bayi atau apapun. Tapi sejak kelahiran mereka sampai dewasa, akulah yang mengasuh mereka. Namun justru aku sendiri yang merasakan seperti dicampakkan.

Tentu saja aku akan banyak merepotkan mereka. Aku harus selalu dilayani. Bahkan kalau aku sedang bercerita perihal masa laluku selalu bersemangat namun sering mengulang-ulang sehingga membuat mereka bosan. Beginikah nasib seorang tua yang sudah renta dan jompo? Hidup dalam pengasingan jauh dari keluarga.

Anak-anakku, tahukah kalian..bukan kebutuhan materi, makanan, rumah yang sangat kubutuhkan tapi tinggal bersama kalian dan menikmati tumbuh kembangnya cucu-cucuku. Akupun ingin didengar meski menjemukan dan aku juga mau mendengar pengalamanmu seperti dulu ketika kamu masih anak-anak selalu berceloteh apa saja yang kalian alami. Bahkan kalau boleh kelak, seandainya Tuhan memanggilku pulang kepangkuanNya biarlah aku terbaring dalam kelegaan disamping kalian.

Anak-anakku, saat ini aku sudah tidak bisa lagi membedakan antara sepi atau ramai, antara sedih atau senang, antara menangis atau tertawa, antara mati atau hidup. Kalau dikatakan hidup tapi aku sudah tak lagi bisa menikmati hidup, namun kalau dikatakan aku mati tapi masih ada roh dan jiwa dalam raga ini. Memang kondisiku antara hidup dan mati.

Aku hanya menjalani hidup sampai batas waktuku. Kunikmati hari-hari dalam hening dan selalu berharap anak-anakku dan cucu-cucuku selalu dalam keadaan baik dimanapun. Bila malam tiba akankah kujumpai hari esok? Bila siang hari akankah malam menjelang? Semua hanya mengalir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar