Jumat, 23 Maret 2012

Mengasihi bantal yang kumal (Renungan Batin – relasi dengan orang lain - 1)

Ketika anak saya Marvel baru lahir. Ada kado dari seorang teman untuknya yaitu sebuah bantal kecil yang dipakainya ketika dia digendong. Maksudnya supaya kepalanya bisa nyaman dan terhindar dari sentuhan keringat si penggendong. Bantal itu bergambar tokoh kartun si beruang Pooh.

Sekarang usia Marvel sudah hampir 9 tahun, namun bantal itu masih setia menemani tidurnya. Bahkan ketika bantal itu tidak terlihat di kasur maka dia akan mencarinya hingga ketemu. Tentu saja pembungkus bantal kecil itu sudah berganti dan sekarang ini sudah terlihat kumal dan kotor. Rasanya sudah tidak layak lagi untuk disimpan apalagi sebagai teman tidur. Sebenarnya bisa saja diganti dengan bantal yang baru yang lebih bersih, namun Marvel tidakmau. Bahkan ketika kami mencoba membuang dan memegang bantal itu dengan rasa jijik, Marvel terlihat tidak suka dengan sikap kami. Justru dia memeluk bantal yang kotor itu dan terlelaplah tidurnya.

Mengapa Marvel sedemikian menyukai bantal yang sudah kumal itu? Ketika aku berpikir dari sudut pandangku maka aku tidak menemukan satu alasan untuk merawat dan menyimpan bantal itu karena penampilannya tidak menarik dan sebagainya, dia tidak layak disukai atau dikasihi. Namun ketika aku mencoba berpikir dari sudut pandang Marvel terhadap bantal itu, maka aku jadi melihat sisi yang berbeda. Aku jadi bisa menghargai, merawat dan menjagai serta memperlakukan bantal itu secara senang dan dengan penuh kasih sayang.

Pelajaran yang begitu dalam bisa aku dapatkan. Bagaimana aku bersikap kepada orang lain seharusnya tidak ditentukan dari sudut pandangku dan juga bukan karena kondisinya. Aku mengasihi, menghargai dan menerima orang lain bukan karena dia layak untuk dikasihi apalagi bukan karena dia sudah banyak berbuat baik kepadaku.

Tentu saja ada banyak alasan untuk sulit mengasihi orang lain apalagi bila orang lain tersebut sudah banyak merugikan dan manyakiti hatiku. Yang seringkali terjadi aku akan mudah membencinya dan menaruh dendam kepadanya. Atau minimal berharap atau mengangankan supaya orang yang telah membuatku menderita itu akan mendapat celaka dalam bentuk apapun. Maka aku tinggal merasa lega dan mensyukuri hal itu telah terjadi atasnya. Sebenarnya ini juga tidak lebih dari hati yang jahat. Banyak orang mengatakan adalah adil kalau kejahatan ya harus dibalas dengan kejahatan. Kalau orang memukul aku maka aku juga harus ganti memukulnya. Kalau diam saja, maka aku dikatakan “pengecut” dan “goblok” atau sejenisnya.

Jadi aku akan mengasihi dan menerima orang dengan baik bukan karena kondisinya pantas untuk aku perlakukan demikian, juga bukan karena dia kasihan sehingga aku belas kasihan padanya, juga bukan karena banyak jasanya padaku. Namun aku harus mengasihi orang bagaimanapun karena Tuhan yang menciptakan dan memiliki orang itu mengasihi orang itu.

Jadi hanya itu alasanku untuk mengasihi orang lain. Sehingga tidak ada alasan apapun buatku untuk tidak mengasihi orang lain bagaimanapun keberadaannya. Apalagi aku juga bukanlah orang yang sempurna. Kalau Sang Sempurna saja mengasihi dan menerima aku apa adanya maka tentu aku juga harus belajar demikian. Ternyata memang benar, Tuhan sudah membuktikan bagaimana Dia diperlakukan tidak adil, diludahi, ditampar, dikhianati, dicemooh, dicambuk,ditusuk, diejek bahkan disalibkan. Namun Dia masih bisa mengatakan “Bapa ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Apakah ada moral yang lebih tinggi dari ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar