Kamis, 14 Juni 2012

Menangis untuk tertawa (Renungan Batin – Orangtua & anak)

 Ketika pertama kali aku mengajakmu ke tempat itu kamu nyaman-nyaman saja.
Bahkan kamu tidak segan-segan untuk menjelajahi setiap ruang yang ada dan kamu memainkan semua alat permai...nan yang memang tersedia di sana. Kamu juga sering mengembangkan senyummu tanda bahwa suasana di situ aman dan terkendali. Aku juga senang dan tenang melihatmu.

Namun di lain hari ketika tiba saat kamu akan diterapi. Kamu kaget dan merasa terancam. Rasa amanmu seakan terenggut. Kamu jadi marasa tidak nyaman. Namun kamu tidak bisa kemana-mana karena pintu terkunci dan kamu seakan-akan menjadi obyek untuk mendapat perlakuan tertentu. Akhirnya pecahlah tangismu dan itu senjata yang bisa kamu lakukan. Tapi terapi terus dilakukan sampai satu jam berlalu.

Pada saat datang lagi sesuai jadwal yang ditentukan, di pinggir jalan wajahmu sudah mulai memucat. Keringat dingin menyelubungi tubuhmu dan beberapa saat kemudian muncul rasa mual serta pipis di celana. Itu semua pertanda kamu takut, tegang dan tentu ada trauma juga. Namun kamu tetap mau diajak masuk rumah terapi itu meski langkahmu diiringi irama tangis yang memelas.

Selama beberapa kali terapi, kamu menangis selama jam terapi itu. Namun aku bersyukur meski demikian kamu tetap patuh melakukan segala perintah dari terapis itu dan kamu bisa bekerja sama dengannya. Bahkan aku terharu sekali, tatkala saat datang kamu sambil menangis berjalan sendiri memasuki ruang terapi itu dan duduk di tempat yang biasa kamu pakai serta menunggu terapismu datang. Seakan ingin mengatakan “aku siap untuk di terapi meskipun aku takut dan sedih”. Dalam kelelahanmu karena menanggung ketegangan emosi, tangisan dan sekaligus memeras otak serta motorikmu untuk melakukan semua instruksi terapismu, ada kalanya kamu tertidur.

Kai..anak kami.

Ada perasaan sedih, kasihan dan tidak tega membiarkanku dalam kondisi demikian. Ingin rasanya kami (orangtuamu) membebaskan kamu dari keadaan itu dan mengajakmu ke tempat yang bisa membuatmu berlari-lari dan tertawa-tawa dengan bebas. Tanpa takut.

Namun kami tidak melakukan hal itu. Aku dan ibumu justru membiarkanmu berada di ruang itu bersama terapismu meskipun kami mendengar suara tangismu. Kamu sedang mendapat latihan untuk menolong supaya kamu bisa mengembangkan motorik, perilaku dan bicaramu dengan baik.

Saat ini mari kita berjuang menanggung rasa “sakit” itu. Rasa sakitmu ketika harus dipaksa untuk melakukan sesuatu sedangkan otot-ototmu sepertinya terasa kaku. Rasa sakit tatkala mulutmu harus dipijat-pijat dan digosok-gosok supaya otot rahangmu lentur. Sedangkan kami merasakan sakit karena kami memahami apa yang harus kamu tanggung dan keinginan kami sebenarnya kamu tidak harus mengalami kondisi ini.

Biarlah kita juga mengalahkan rasa takut kita sampai apa yang kita takuti itu ternyata tidak ada apa-apanya. Karena rasa takut kami justru lebih besar dari apa yang kamu rasakan sekarang. Takut kami adalah bila kamu kelak terlambat mengejar tahapan perkembanganmu karena sudah terlambat untuk diterapi.

Kai..anak kami

Ayahmu ini pernah mengalami mirip dengan apa yang kamu alami. Dulu ayahmu ini juga merasakan sakit dan menangis. Tapi syukur nenekmu dulu tidak putus asa untuk membawa ayahmu ini diterapi dan hasilnya sekarang ayahmu ini dapat mandiri bahkan sekarang berjuang untuk merawatmu.

Kita juga sama-sama berjuang melewati ini semua dengan pengharapan bahwa apa yang sedang kita upayakan ini akan membuahkan hasil yang baik. Kamu bisa konsentrasi, motorikmu juga berkembang, kamu bisa lancar berkomunikasi dan akhirnya kamu akan mandiri.

Kita harus bekerja sama untuk kebaikanmu. Kita harus yakin bahwa saat ini kamu memang menangis tapi kelak kamu akan tertawa. Menangis untuk tertawa. Ketika kamu berkembang dengan baik kelak maka kamu akan menyadari apa yang kamu jalani sekarang tidaklah sia-sia.

Kai anak kami..
Kami akan bersamamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar