Ketika pertama kali aku mengajakmu ke tempat itu kamu nyaman-nyaman saja.
Bahkan kamu tidak segan-segan untuk menjelajahi setiap ruang yang ada dan kamu memainkan semua alat permai...nan
yang memang tersedia di sana. Kamu juga sering mengembangkan senyummu
tanda bahwa suasana di situ aman dan terkendali. Aku juga senang dan
tenang melihatmu.
Namun di lain hari ketika tiba saat kamu
akan diterapi. Kamu kaget dan merasa terancam. Rasa amanmu seakan
terenggut. Kamu jadi marasa tidak nyaman. Namun kamu tidak bisa
kemana-mana karena pintu terkunci dan kamu seakan-akan menjadi obyek
untuk mendapat perlakuan tertentu. Akhirnya pecahlah tangismu dan itu
senjata yang bisa kamu lakukan. Tapi terapi terus dilakukan sampai satu
jam berlalu.
Pada saat datang lagi sesuai jadwal yang
ditentukan, di pinggir jalan wajahmu sudah mulai memucat. Keringat
dingin menyelubungi tubuhmu dan beberapa saat kemudian muncul rasa mual
serta pipis di celana. Itu semua pertanda kamu takut, tegang dan tentu
ada trauma juga. Namun kamu tetap mau diajak masuk rumah terapi itu
meski langkahmu diiringi irama tangis yang memelas.
Selama
beberapa kali terapi, kamu menangis selama jam terapi itu. Namun aku
bersyukur meski demikian kamu tetap patuh melakukan segala perintah
dari terapis itu dan kamu bisa bekerja sama dengannya. Bahkan aku
terharu sekali, tatkala saat datang kamu sambil menangis berjalan
sendiri memasuki ruang terapi itu dan duduk di tempat yang biasa kamu
pakai serta menunggu terapismu datang. Seakan ingin mengatakan “aku
siap untuk di terapi meskipun aku takut dan sedih”. Dalam kelelahanmu
karena menanggung ketegangan emosi, tangisan dan sekaligus memeras otak
serta motorikmu untuk melakukan semua instruksi terapismu, ada kalanya
kamu tertidur.
Kai..anak kami.
Ada perasaan sedih,
kasihan dan tidak tega membiarkanku dalam kondisi demikian. Ingin
rasanya kami (orangtuamu) membebaskan kamu dari keadaan itu dan
mengajakmu ke tempat yang bisa membuatmu berlari-lari dan tertawa-tawa
dengan bebas. Tanpa takut.
Namun kami tidak melakukan hal
itu. Aku dan ibumu justru membiarkanmu berada di ruang itu bersama
terapismu meskipun kami mendengar suara tangismu. Kamu sedang mendapat
latihan untuk menolong supaya kamu bisa mengembangkan motorik, perilaku
dan bicaramu dengan baik.
Saat ini mari kita berjuang
menanggung rasa “sakit” itu. Rasa sakitmu ketika harus dipaksa untuk
melakukan sesuatu sedangkan otot-ototmu sepertinya terasa kaku. Rasa
sakit tatkala mulutmu harus dipijat-pijat dan digosok-gosok supaya otot
rahangmu lentur. Sedangkan kami merasakan sakit karena kami memahami
apa yang harus kamu tanggung dan keinginan kami sebenarnya kamu tidak
harus mengalami kondisi ini.
Biarlah kita juga mengalahkan
rasa takut kita sampai apa yang kita takuti itu ternyata tidak ada
apa-apanya. Karena rasa takut kami justru lebih besar dari apa yang
kamu rasakan sekarang. Takut kami adalah bila kamu kelak terlambat
mengejar tahapan perkembanganmu karena sudah terlambat untuk diterapi.
Kai..anak kami
Ayahmu ini pernah mengalami mirip dengan apa yang kamu alami. Dulu
ayahmu ini juga merasakan sakit dan menangis. Tapi syukur nenekmu dulu
tidak putus asa untuk membawa ayahmu ini diterapi dan hasilnya sekarang
ayahmu ini dapat mandiri bahkan sekarang berjuang untuk merawatmu.
Kita juga sama-sama berjuang melewati ini semua dengan pengharapan
bahwa apa yang sedang kita upayakan ini akan membuahkan hasil yang
baik. Kamu bisa konsentrasi, motorikmu juga berkembang, kamu bisa
lancar berkomunikasi dan akhirnya kamu akan mandiri.
Kita
harus bekerja sama untuk kebaikanmu. Kita harus yakin bahwa saat ini
kamu memang menangis tapi kelak kamu akan tertawa. Menangis untuk
tertawa. Ketika kamu berkembang dengan baik kelak maka kamu akan
menyadari apa yang kamu jalani sekarang tidaklah sia-sia.
Kai anak kami..
Kami akan bersamamu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar