Seperti tidak ada beban saja dia mengeluarkan uang yang cukup lumayan
untuk hanya membelikan aku sebuah laptop. Pertamanya aku menolak dengan
berbagai alasan dan tentu saja aku sungkan juga dengannya. Aku...
takut dia akan berpikir negatif terhadapku. Meskipun kami sudah
berpacaran tapi tetap saja aku merasa tidak enak. Tapi akhirnya aku
menyerah juga dengan desakannya, maka aku sekarang memiliki laptop
baru. Di satu sisi aku memang merasa ingin memiliki laptop itu.
Pernah di hari ulang tahunku, cowokku itu memberiku kado yang istimewa.
Dia memesan seuntai kalung emas yang bertuliskan inisial namaku dan
namanya. Antara perasaan kaget dan senang, sungkan dan tersanjung, aku
menerima pemberiannya itu.
Kalau pemberian-pemberian kecil,
dia sering melakukannya. Membelikan makanan atau barang-barang yang
nilai rupiahnya tidak terlalu mahal. Untuk hal-hal seperti ini
pertamanya aku belum begitu sungkan tapi ketika pemberian yang nilai
nominalnya besar tentu saja membuatku agak tidak nyaman.
Apabila kutanya kenapa dia suka memberi hadiah-hadiah padaku. Jawabnya
ya karena aku membutuhkan itu dan ia sayang padaku. Katanya lagi
pemberiannya selama ini masih belum apa-apa dibandingkan dengan rasa
cintaku padanya.
Memang sebelum kami pacaran, cowokku itu
sering memberi atau membelikan sesuatu untukku. Ketika itu aku jadi
serba salah ketika dia akhirnya menyatakan rasa sukanya padaku. Aku
jadi bingung. Bila aku terima, aku masih belum yakin sepenuhnya apakah
dia orang yang tepat jadi suamiku kelak. Tapi kalau aku tolak cintanya,
aku sungkan dan merasa bersalah karena sudah terlanjur menerima
pemberian-pemberiannya. Dan jujur saja aku suka juga dengan
hadiah-hadiah pemberiannya itu, apalagi aku juga bukan dari keluarga
kaya yang dapat membeli ini dan itu seenaknya. Jadi aku akhirnya
menerima cintanya dan tentu saja berharap moga-moga dia akan baik
selamanya. Egois memang aku ini.
Namun semakin lama aku makin
menyadari bahwa hal-hal ini tidak bijaksana bila diteruskan. Aku harus
mengambil sikap dan memutuskan untuk kebaikan kami berdua. Dan aku siap
dengan segala konsekuensinya.
Bila kupikir-pikir apa yang
dilakukan cowokku itu ibarat seperti orang yang sedang memancing ikan.
Untuk mendapatkan ikan tersebut, orang tersebut harus memasang umpan di
mata kailnya. Bila si ikan memakan umpan itu maka ia juga menelan mata
pancing itu dan terjeratlah ia.
Jadi bisa jadi apa yang telah
dilakukannya merupakan umpan untuk mendapatkan aku. Buktinya dulu
memang aku sulit untuk mengatakan “tidak” meskipun aku masih ragu
ketika harus menjawab apakah aku mau menerima cintanya atau tidak. Aku
telah terjerat dengan “umpannya”.
Bila kurenungkan secara
mendalam maka aku kecewa dengan diriku sendiri dan aku juga marah
dengan pacarku itu. Sadar atau tidak, semua tindakannya meskipun
kelihatannya baik tapi bisa saja itu berarti untuk mendapatkan aku maka
dia harus membeli dengan harga barang-barang pemberiannya. Aku juga
bodoh sehingga menawarkan harga diriku sedemikian rendah senilai harga
laptop, kalung emas, BB, HP, Ipad, makanan, buku, baju dan sebagainya.
Padahal sebenarnya nilai hidupku melebihi harga seluruh isi dunia ini.
Selain itu bukankah cinta diantara kami didasari ketidaktulusan. Aku
mencintai dia bisa jadi karena perhatiannya dan karena pemberiannya.
Demikian juga dengannya, dia sendiri tidak jantan dengan menyatakan
siapa dirinya sebenarnya. Apakah kelak kalau menikah apakah aku bisa
menerimanya bila ternyata dia sudah tidak mampu memberiku barang-barang
yang kuinginkan lagi? Jangan-jangan selagi ada uang, abang sayang tapi
bila sudah bokek maka abang kebuang atau bahkan kutendang..
Apakah dia kelak juga tetap akan baik dengan membelikan apa yang aku
inginkan? Kalau maksud utamanya untuk mendapatkan aku dengan
pemberiannya itu maka itu bisa sementara karena kalau sudah menikah,
tiap hari sebagai kepala rumah tangga harus siap mengeluarkan uang
untuk kebutuhan sehari-hari.
aku harus membicarakan hal ini padanya, suka atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar