Kamis, 14 Juni 2012

Umpan (Renungan Batin – muda mudi)

 Seperti tidak ada beban saja dia mengeluarkan uang yang cukup lumayan untuk hanya membelikan aku sebuah laptop. Pertamanya aku menolak dengan berbagai alasan dan tentu saja aku sungkan juga dengannya. Aku... takut dia akan berpikir negatif terhadapku. Meskipun kami sudah berpacaran tapi tetap saja aku merasa tidak enak. Tapi akhirnya aku menyerah juga dengan desakannya, maka aku sekarang memiliki laptop baru. Di satu sisi aku memang merasa ingin memiliki laptop itu.

Pernah di hari ulang tahunku, cowokku itu memberiku kado yang istimewa. Dia memesan seuntai kalung emas yang bertuliskan inisial namaku dan namanya. Antara perasaan kaget dan senang, sungkan dan tersanjung, aku menerima pemberiannya itu.

Kalau pemberian-pemberian kecil, dia sering melakukannya. Membelikan makanan atau barang-barang yang nilai rupiahnya tidak terlalu mahal. Untuk hal-hal seperti ini pertamanya aku belum begitu sungkan tapi ketika pemberian yang nilai nominalnya besar tentu saja membuatku agak tidak nyaman.

Apabila kutanya kenapa dia suka memberi hadiah-hadiah padaku. Jawabnya ya karena aku membutuhkan itu dan ia sayang padaku. Katanya lagi pemberiannya selama ini masih belum apa-apa dibandingkan dengan rasa cintaku padanya.

Memang sebelum kami pacaran, cowokku itu sering memberi atau membelikan sesuatu untukku. Ketika itu aku jadi serba salah ketika dia akhirnya menyatakan rasa sukanya padaku. Aku jadi bingung. Bila aku terima, aku masih belum yakin sepenuhnya apakah dia orang yang tepat jadi suamiku kelak. Tapi kalau aku tolak cintanya, aku sungkan dan merasa bersalah karena sudah terlanjur menerima pemberian-pemberiannya. Dan jujur saja aku suka juga dengan hadiah-hadiah pemberiannya itu, apalagi aku juga bukan dari keluarga kaya yang dapat membeli ini dan itu seenaknya. Jadi aku akhirnya menerima cintanya dan tentu saja berharap moga-moga dia akan baik selamanya. Egois memang aku ini.

Namun semakin lama aku makin menyadari bahwa hal-hal ini tidak bijaksana bila diteruskan. Aku harus mengambil sikap dan memutuskan untuk kebaikan kami berdua. Dan aku siap dengan segala konsekuensinya.

Bila kupikir-pikir apa yang dilakukan cowokku itu ibarat seperti orang yang sedang memancing ikan. Untuk mendapatkan ikan tersebut, orang tersebut harus memasang umpan di mata kailnya. Bila si ikan memakan umpan itu maka ia juga menelan mata pancing itu dan terjeratlah ia.

Jadi bisa jadi apa yang telah dilakukannya merupakan umpan untuk mendapatkan aku. Buktinya dulu memang aku sulit untuk mengatakan “tidak” meskipun aku masih ragu ketika harus menjawab apakah aku mau menerima cintanya atau tidak. Aku telah terjerat dengan “umpannya”.

Bila kurenungkan secara mendalam maka aku kecewa dengan diriku sendiri dan aku juga marah dengan pacarku itu. Sadar atau tidak, semua tindakannya meskipun kelihatannya baik tapi bisa saja itu berarti untuk mendapatkan aku maka dia harus membeli dengan harga barang-barang pemberiannya. Aku juga bodoh sehingga menawarkan harga diriku sedemikian rendah senilai harga laptop, kalung emas, BB, HP, Ipad, makanan, buku, baju dan sebagainya. Padahal sebenarnya nilai hidupku melebihi harga seluruh isi dunia ini.

Selain itu bukankah cinta diantara kami didasari ketidaktulusan. Aku mencintai dia bisa jadi karena perhatiannya dan karena pemberiannya. Demikian juga dengannya, dia sendiri tidak jantan dengan menyatakan siapa dirinya sebenarnya. Apakah kelak kalau menikah apakah aku bisa menerimanya bila ternyata dia sudah tidak mampu memberiku barang-barang yang kuinginkan lagi? Jangan-jangan selagi ada uang, abang sayang tapi bila sudah bokek maka abang kebuang atau bahkan kutendang..

Apakah dia kelak juga tetap akan baik dengan membelikan apa yang aku inginkan? Kalau maksud utamanya untuk mendapatkan aku dengan pemberiannya itu maka itu bisa sementara karena kalau sudah menikah, tiap hari sebagai kepala rumah tangga harus siap mengeluarkan uang untuk kebutuhan sehari-hari.

aku harus membicarakan hal ini padanya, suka atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar