Kamis, 14 Juni 2012

Jodoh di tangan siapa? (Renungan Batin – Muda mudi)

 Masalah jodoh ini menjadi sesuatu yang penting untuk dipikirkan karena banyak orang yang sedang mencari jodoh atau sedang menunggu-nunggu datangnya jodoh. Ada pernyataan yang sering kuden...gar : “wah memang mereka jodoh sekali ya” atau “tenang saja mungkin belum jodohmu” atau “sabar ya kalau dia itu jodohmu maka tidak akan kemana” atau “ini jodoh dari Tuhan” dan sebagainya. Lalu Sebenarnya jodoh itu siapa yang menentukan? Di tangan Tuhankah? Ataukah di tangan masing-masing orang? Atau di tangan mak comblang?

Aku yang saat ini sedang mencari calon teman hidupku sering bingung aku harus bersikap dan bertindak seperti apa. Apakah aku harus menunggu saja sampai Tuhan mengirimkan seorang laki-laki padaku dan tinggal aku menyambutnya? Tapi kalau ternyata laki-laki yang dibawaNya kepadaku itu tidak aku sukai bagaimana? Apakah aku boleh menolaknya? Tapi kalau aku tolak bukankah katanya pilihan Tuhan itu pasti terbaik?

Apakah aku harus berusaha mencarinya sampai ketemu? Tapi siapa yang tepat atau cocok bagiku, bagaimana aku dapat mengetahuinya kalau laki-laki itu jodoh dari Tuhan?

Pertanyaan demi pertanyaan muncul bergantian mengisi pikiranku. Kadang aku lelah mencari dan sepertinya kok belum menemukan juga. Kalau sudah begitu, terkadang aku sempat berpikir dan berharap kalau seandainya Tuhan langsung berbicara kepadaku dan menyebutkan satu nama tertentu wah pasti aku langsung tahu dan tidak bingung lagi. Misalnya Tuhan berfirman kepadaku : “ eh jodohmu atau calon suamimu sudah kutetapkan…itu dia namanya X di kota Y dan dia begini dan begitu”

Tapi betulkah aku tidak bingung lagi kalau Tuhan langsung menetapkan dan memberitahu begitu? Ketika kurenungkan secara mendalam bisa jadi aku tetap akan bingung karena belum tentu aku cocok dengan pilihan Tuhan itu yang serta merta “turun dari langit” untuk menikah dengan aku. Padahal aku punya perasaan yang tentu saja membutuhkan proses untuk menjalani kedekatan.

Kalau jodoh di tangan Tuhan maka itu sepertinya memperlakukanku layaknya sebuah robot yang segala tindakannya hanya digerakkan oleh kontrol si penciptanya. Artinya dia tidak punya pikiran, perasaan dan kehendak. Tapi manusia tidaklah robot. Justru Tuhan menciptakan manusia sesuai gambarNya. Manusia diberi “free will” atau kehendak bebas.

Dengan “kehendak bebas” itu aku dapat memilih dan memutuskan sendiri apa yang tepat bagiku. Jadi aku bisa saja tidak menikah kalau aku menetapkan memang tidak menikah. Tuhan tidak akan mendatangkan halilintar untuk memaksaku menikah. Demikian juga aku akan menikah kalau aku memang berniat menikah.

Demikian juga aku tidak bisa hanya diam di kamar dan bila tiba usiaku sudah layak nikah maka Tuhan mempertemukan aku dengan laki-laki yang dijodohkan ke aku. Tidaklah demikian. Aku tetap harus bertindak sesuatu dengan memperhatikan pimpinan Tuhan.

Persoalannya semua manusia termasuk aku sudah jatuh ke dalam dosa sehingga “kehendak bebas” itu juga dipengaruhi oleh dosa. Maka bisa saja manusia dengan kehendak bebasnya itu salah memilih teman hidup dan akhirnya bubar atau bercerai. Karena bisa jadi ketika membuat keputusan untuk memilih teman hidup hanya didasari perasaan cinta, pembicaraannya “nyambung”, bentuk-bentuk perhatian pasangannya dan sebagainya.

Kalau misalnya aku menikah tapi kemudian bercerai karena sebenarnya aku salah pilih maka apakah aku akan mengatakan ini takdir Tuhan? Atau aku akan menyalahkan Tuhan kenapa memberikan suami yang tidak baik? Tentu saja tidak, karena aku ikut andil dalam membuat keputusan menikah dengannya itu.

Kadang orangtuapun juga bisa menentukan jodoh bagi anak-anaknya bahkan bisa dengan memaksakan kehendak mereka.

Tentu saja Tuhan memberikan kriteria orang yang baik yang bisa aku pilih jadi calon suamiku. Aku harus memperhatikan itu. Maka itu juga membuatku tidak bisa sembarangan menikah dengan siapapun asalkan manusia atau asal saling suka karena perasaan sukaku itu bisa tidak logis. Misalnya aku bisa suka dengan orang yang sudah beristri atau aku bisa suka dengan cowok lebih dari satu dalam satu waktu, lalu apakah aku harus menikah dengan semua cowok itu ?

Dan karena itu juga aku akan bergaul dengan lingkungan orang-orang yang memang ada dalam bingkai kriteria yang sudah Tuhan nyatakan. Dalam proses pergaulan itu, aku akan mengenali siapa cowok yang tepat bagiku dan kepadanya aku bisa menundukkan diri sebagai wanita. Dan tentu saja dia akan menjadi imam bagiku.

Selanjutnya kami akan terus belajar bertumbuh dan melakukan peran kami masing-masing dan semua proses itu bergantung pada pimpinan Tuhan dan ada orang dewasa yang netral yang dapat menjadi tempat untuk membimbing.

Jadi jodoh di tangan siapa?

Menangis untuk tertawa (Renungan Batin – Orangtua & anak)

 Ketika pertama kali aku mengajakmu ke tempat itu kamu nyaman-nyaman saja.
Bahkan kamu tidak segan-segan untuk menjelajahi setiap ruang yang ada dan kamu memainkan semua alat permai...nan yang memang tersedia di sana. Kamu juga sering mengembangkan senyummu tanda bahwa suasana di situ aman dan terkendali. Aku juga senang dan tenang melihatmu.

Namun di lain hari ketika tiba saat kamu akan diterapi. Kamu kaget dan merasa terancam. Rasa amanmu seakan terenggut. Kamu jadi marasa tidak nyaman. Namun kamu tidak bisa kemana-mana karena pintu terkunci dan kamu seakan-akan menjadi obyek untuk mendapat perlakuan tertentu. Akhirnya pecahlah tangismu dan itu senjata yang bisa kamu lakukan. Tapi terapi terus dilakukan sampai satu jam berlalu.

Pada saat datang lagi sesuai jadwal yang ditentukan, di pinggir jalan wajahmu sudah mulai memucat. Keringat dingin menyelubungi tubuhmu dan beberapa saat kemudian muncul rasa mual serta pipis di celana. Itu semua pertanda kamu takut, tegang dan tentu ada trauma juga. Namun kamu tetap mau diajak masuk rumah terapi itu meski langkahmu diiringi irama tangis yang memelas.

Selama beberapa kali terapi, kamu menangis selama jam terapi itu. Namun aku bersyukur meski demikian kamu tetap patuh melakukan segala perintah dari terapis itu dan kamu bisa bekerja sama dengannya. Bahkan aku terharu sekali, tatkala saat datang kamu sambil menangis berjalan sendiri memasuki ruang terapi itu dan duduk di tempat yang biasa kamu pakai serta menunggu terapismu datang. Seakan ingin mengatakan “aku siap untuk di terapi meskipun aku takut dan sedih”. Dalam kelelahanmu karena menanggung ketegangan emosi, tangisan dan sekaligus memeras otak serta motorikmu untuk melakukan semua instruksi terapismu, ada kalanya kamu tertidur.

Kai..anak kami.

Ada perasaan sedih, kasihan dan tidak tega membiarkanku dalam kondisi demikian. Ingin rasanya kami (orangtuamu) membebaskan kamu dari keadaan itu dan mengajakmu ke tempat yang bisa membuatmu berlari-lari dan tertawa-tawa dengan bebas. Tanpa takut.

Namun kami tidak melakukan hal itu. Aku dan ibumu justru membiarkanmu berada di ruang itu bersama terapismu meskipun kami mendengar suara tangismu. Kamu sedang mendapat latihan untuk menolong supaya kamu bisa mengembangkan motorik, perilaku dan bicaramu dengan baik.

Saat ini mari kita berjuang menanggung rasa “sakit” itu. Rasa sakitmu ketika harus dipaksa untuk melakukan sesuatu sedangkan otot-ototmu sepertinya terasa kaku. Rasa sakit tatkala mulutmu harus dipijat-pijat dan digosok-gosok supaya otot rahangmu lentur. Sedangkan kami merasakan sakit karena kami memahami apa yang harus kamu tanggung dan keinginan kami sebenarnya kamu tidak harus mengalami kondisi ini.

Biarlah kita juga mengalahkan rasa takut kita sampai apa yang kita takuti itu ternyata tidak ada apa-apanya. Karena rasa takut kami justru lebih besar dari apa yang kamu rasakan sekarang. Takut kami adalah bila kamu kelak terlambat mengejar tahapan perkembanganmu karena sudah terlambat untuk diterapi.

Kai..anak kami

Ayahmu ini pernah mengalami mirip dengan apa yang kamu alami. Dulu ayahmu ini juga merasakan sakit dan menangis. Tapi syukur nenekmu dulu tidak putus asa untuk membawa ayahmu ini diterapi dan hasilnya sekarang ayahmu ini dapat mandiri bahkan sekarang berjuang untuk merawatmu.

Kita juga sama-sama berjuang melewati ini semua dengan pengharapan bahwa apa yang sedang kita upayakan ini akan membuahkan hasil yang baik. Kamu bisa konsentrasi, motorikmu juga berkembang, kamu bisa lancar berkomunikasi dan akhirnya kamu akan mandiri.

Kita harus bekerja sama untuk kebaikanmu. Kita harus yakin bahwa saat ini kamu memang menangis tapi kelak kamu akan tertawa. Menangis untuk tertawa. Ketika kamu berkembang dengan baik kelak maka kamu akan menyadari apa yang kamu jalani sekarang tidaklah sia-sia.

Kai anak kami..
Kami akan bersamamu

Umpan (Renungan Batin – muda mudi)

 Seperti tidak ada beban saja dia mengeluarkan uang yang cukup lumayan untuk hanya membelikan aku sebuah laptop. Pertamanya aku menolak dengan berbagai alasan dan tentu saja aku sungkan juga dengannya. Aku... takut dia akan berpikir negatif terhadapku. Meskipun kami sudah berpacaran tapi tetap saja aku merasa tidak enak. Tapi akhirnya aku menyerah juga dengan desakannya, maka aku sekarang memiliki laptop baru. Di satu sisi aku memang merasa ingin memiliki laptop itu.

Pernah di hari ulang tahunku, cowokku itu memberiku kado yang istimewa. Dia memesan seuntai kalung emas yang bertuliskan inisial namaku dan namanya. Antara perasaan kaget dan senang, sungkan dan tersanjung, aku menerima pemberiannya itu.

Kalau pemberian-pemberian kecil, dia sering melakukannya. Membelikan makanan atau barang-barang yang nilai rupiahnya tidak terlalu mahal. Untuk hal-hal seperti ini pertamanya aku belum begitu sungkan tapi ketika pemberian yang nilai nominalnya besar tentu saja membuatku agak tidak nyaman.

Apabila kutanya kenapa dia suka memberi hadiah-hadiah padaku. Jawabnya ya karena aku membutuhkan itu dan ia sayang padaku. Katanya lagi pemberiannya selama ini masih belum apa-apa dibandingkan dengan rasa cintaku padanya.

Memang sebelum kami pacaran, cowokku itu sering memberi atau membelikan sesuatu untukku. Ketika itu aku jadi serba salah ketika dia akhirnya menyatakan rasa sukanya padaku. Aku jadi bingung. Bila aku terima, aku masih belum yakin sepenuhnya apakah dia orang yang tepat jadi suamiku kelak. Tapi kalau aku tolak cintanya, aku sungkan dan merasa bersalah karena sudah terlanjur menerima pemberian-pemberiannya. Dan jujur saja aku suka juga dengan hadiah-hadiah pemberiannya itu, apalagi aku juga bukan dari keluarga kaya yang dapat membeli ini dan itu seenaknya. Jadi aku akhirnya menerima cintanya dan tentu saja berharap moga-moga dia akan baik selamanya. Egois memang aku ini.

Namun semakin lama aku makin menyadari bahwa hal-hal ini tidak bijaksana bila diteruskan. Aku harus mengambil sikap dan memutuskan untuk kebaikan kami berdua. Dan aku siap dengan segala konsekuensinya.

Bila kupikir-pikir apa yang dilakukan cowokku itu ibarat seperti orang yang sedang memancing ikan. Untuk mendapatkan ikan tersebut, orang tersebut harus memasang umpan di mata kailnya. Bila si ikan memakan umpan itu maka ia juga menelan mata pancing itu dan terjeratlah ia.

Jadi bisa jadi apa yang telah dilakukannya merupakan umpan untuk mendapatkan aku. Buktinya dulu memang aku sulit untuk mengatakan “tidak” meskipun aku masih ragu ketika harus menjawab apakah aku mau menerima cintanya atau tidak. Aku telah terjerat dengan “umpannya”.

Bila kurenungkan secara mendalam maka aku kecewa dengan diriku sendiri dan aku juga marah dengan pacarku itu. Sadar atau tidak, semua tindakannya meskipun kelihatannya baik tapi bisa saja itu berarti untuk mendapatkan aku maka dia harus membeli dengan harga barang-barang pemberiannya. Aku juga bodoh sehingga menawarkan harga diriku sedemikian rendah senilai harga laptop, kalung emas, BB, HP, Ipad, makanan, buku, baju dan sebagainya. Padahal sebenarnya nilai hidupku melebihi harga seluruh isi dunia ini.

Selain itu bukankah cinta diantara kami didasari ketidaktulusan. Aku mencintai dia bisa jadi karena perhatiannya dan karena pemberiannya. Demikian juga dengannya, dia sendiri tidak jantan dengan menyatakan siapa dirinya sebenarnya. Apakah kelak kalau menikah apakah aku bisa menerimanya bila ternyata dia sudah tidak mampu memberiku barang-barang yang kuinginkan lagi? Jangan-jangan selagi ada uang, abang sayang tapi bila sudah bokek maka abang kebuang atau bahkan kutendang..

Apakah dia kelak juga tetap akan baik dengan membelikan apa yang aku inginkan? Kalau maksud utamanya untuk mendapatkan aku dengan pemberiannya itu maka itu bisa sementara karena kalau sudah menikah, tiap hari sebagai kepala rumah tangga harus siap mengeluarkan uang untuk kebutuhan sehari-hari.

aku harus membicarakan hal ini padanya, suka atau tidak.

Rabu, 06 Juni 2012

Aku membutuhkanmu (Renungan Batin – pernikahan)


 Gadis itu seperti diutus Tuhan untuk menjadi penolongku. Bak bidadari yang turun dari khayangan dengan satu maksud untuk menjadi penyelamatku. Bukankah selama ini aku sendirian dalam sepi dan tidak ada orang yang mau peduli denganku. Seringkali malam-malam kulewati hanya dengan bermain bersama bulan dan bintang. Itupun hanya dalam khayalku saja. Apabila mendung atau hujan deras, merataplah hatiku menjerit bagai binatang kesakitan.
Selama ini aku ingin sekali memiliki pacar. Pikirku bila demikian hidupku akan terisi dan terhapuslah semua rasa sepi itu. Namun aku sudah mengusahakannya tapi rasa-rasanya gadis-gadis yang aku sukai seperti sengaja menghindariku.  Padahal menurut penilaianku wajahku juga tidak jelek-jelek amat, aku juga termasuk pandai bergaul. Aku sudah bekerja dan penghasilanku juga lumayan, cukuplah bila untuk menikah. Atau aku belum mendapatkan yang cocok atau aku terlalu pilih-pilih, entahlah.
Tapi semenjak bertemu gadis itu aku jadi merasa mendapatkan apa yang aku inginkan selama ini. Dan untungnya diapun menyambut rasa cintaku dengan senang. Klop sudah..! Maka resmilah kami pacaran.  sejak itu aku selalu melewatkan hari-hariku bersamanya. Aku selalu ingin membuatnya senang dengan segala perhatianku baik melalui pemberian-pemberian barang atau makanan atau perlakuan-perlakuanku padanya bak melayani putri raja. Membukakan pintu mobil untuknya, mengangkatkan barang, mengelap keringatnya bahkan kalau perlu aku mau menjadi alas kakinya supaya kakinya tidak terkotori oleh debu.
Gadisku ternyata juga perhatian padaku. Bila aku main ke rumahnya, dia selalu menyediakan minuman kesayanganku dan dia membuatnya sendiri. Selain itu bila sudah dihidangkan, dia akan mengaduk gulanya bagiku. Wah romantis banget…
Tak terasa hubungan kami sudah semakin dalam dan kami sepakat untuk menikah. Apalagi yang ditunggu, toh kedua orangtua kami sudah setuju.  Maka menikahlah kami dengan rasa gembira karena didasari rasa cinta.
Tahun demi tahun berlalu dan kami sangat mengharapkan adanya anak dari buah cinta kami, tapi saat itu tak kunjung datang. Sudah banyak usaha kami lakukan tapi tetap hasilnya nihil. Kami cemas kalau-kalau Tuhan tidak memberikan kami anak. Dan akhirnya kami pasrah.
Kondisi ini membuat istriku sangat tegang dan nampak sekali kalau dia mengalami ketakutan. Dia menjadi pendiam dan mudah uring-uringan. Aku jadi merasa tidak nyaman.  Di satu sisi aku kasihan dengan istriku tapi di sisi yang lain aku sendiri menginginkan anak. Itu juga membuatku malu bila orang menilai yang negatif terhadap kami.
Hubungan kami jadi renggang. Saya jadi tidak betah di rumah. Istriku juga makin merasa cemburu dan sering menuduhku berbuat macam-macam. Hal ini membuatku marah. Maka rasanya aku sudah tidak sanggup hidup bersamanya lagi.
Dan entah salah siapa, seperti ada angin segar yang melonggarkan pernafasanku yang selama ini begitu sesak di dada. Ada karyawati baru yang membuat hatiku terpikat. Dan bisa ditebak ceritanya…yah aku selingkuh dengannya. Tidak ada orang yang tahu.  Tapi hatiku selalu resah…
Kusadari bahwa pernikahan tidak sekedar ada romantisme seperti di masa pacaran. Ada keadaan pelik dan ternyata rasa cinta tidak selalu cukup untuk menopang kesatuan pernikahan kami, meski rasa cinta itu perlu.
Ketika kami pacaran dulu, belum ada tanggungjawab dan belum hidup bersama. Jadi rasanya lebih banyak senangnya. Namun yang sangat kusadari adalah bahwa ketika kami saling mencinta dan menunjukkan perhatian di antara kami dulu, itu lebih banyak didasari karena kami saling takut kehilangan dan bisa jadi itu untuk mengikat kami.
Ternyata ketika kami dulu menyatakan sikap bahwa “aku membutuhkanmu” lebih semata-mata karena egois kami. Kami adalah orang-orang yang kesepian dan terluka maka kami jadi saling menuntut. Saat itu aku berpikir bahwa dia akan dapat mengisi hidupku ternyata tidak dan iapun juga berpikir demikian.
Ternyata kesepian dan perasaan terluka tidak cukup hanya dengan mendapatkan teman hidup. Ada hal yang lebih besar untuk mengisinya. Dan perasaan “aku membutuhkanmu” tidaklah sama dengan aku akan selalu ada untukmu.