Hampir tiap malam kuhampiri kamarmu dan kubiarkan
diriku sejenak menatapmu yang tengah berbaring dalam tidur. Entah kadang aku
sebelumnya sudah tertidur tatkala menemanimu memasuki saat istirahat malam, aku
terjaga dan sempat memandangi wajahmu yang telah lelap. Namun juga kadang dalam
kesibukanku mengerjakan sesuatu hal, kamu tidur sendiri tanpa aku disampingmu. Tapi
setelah itu aku pasti menengokmu menjelang aku juga akan mengistirahatkan
ragaku ini.
Saat kamu terlelap, banyak sekali
wajahmu itu berbicara kepadaku dalam diam. Banyak pesan yang kamu sampaikan
masuk dalam sanubariku dalam hening. Aku bisa menangkap sinyal-sinyal kehidupan
yang kamu pancarkan saat kamu terbaring dalam ketenangan.
Wajah dalam lelap itu menyatakan
kepasrahan. Seharian kamu melewati semua aktivitas dan kepenatan, dan saatnya
tiba kamu kembalikan hidupmu pada panggilan alam. Menyerahkan seluruh hidupmu
kembali pada pengaturan Tuhanmu. Saatnya kamu tidur, mengakui keterbatasanmu,
menyadari kamu membutuhkan istirahat, bukankah esok masih ada waktu dan
kepasrahan hari esok ditanganNya.
Ketenangan lelapmu itu juga
menyatakan rasa bersalahku. Berapa banyak aku sering tidak sabar dalam
menghadapi tingkah polahmu. Berapa kali aku menuntutmu untuk melakukan sesuatu
yang sebenarnya belum waktunya kamu memahami. Ada kesedihan, kekecewaan, rasa bersalah
dan penyesalan atas apa saja yang telah aku lakukan padamu. Aku sebagai
orangtua belum sempurna melakukan peranku, justru kadang masih diiringi dengan
kesalahan yang aku perbuat padamu. Aku membasuh jiwaku dan diriku dalam
genangan wajah lelapmu itu.
Tergolek dengan pancaran wajah
yang berseru “akulah anakmu, seluruh hidupku ada dalam perlindunganmu”. Tak bisa
dipungkiri akulah orangtuamu. Menatapmu memberiku tenaga untuk bersemangat
menjalani hidup meski banyak terjangan badai. Aku ingin hidup menemanimu lebih
lama dan menjadi teman sampai menghantarmu masuk dalam kedewasaan yang mandiri.
Aku juga merasa tertantang untuk memberi apa yang kamu butuhkan sekaligus
menjagamu dari apapun yang akan menghancurkan hidupmu.
Dalam lelapmu, wajah itu tidak
bisa menipu. Aku menemukan diriku juga rapuh. Tak bisa aku hidup sendiri. Aku juga
ingin kamu disampingku, memelukku, menemaniku….
Helaan nafas yang mengalir
melalui luasnya wajahmu itu juga menyiratkan berapa guratan tempaan hidup yang
telah kutanamkan dalam hidupmu. Kiranya helaan nafas itu panjang tanda
kelegaan. Aku harap bukan helaan pendek yang membuktikan keputusasaan. Biarlah semua
itu tertanam dalam keabadian melewati batas-batas waktu.
Namun bila lelap wajahmu terusik
dengan rintihan, erangan dan desahan kesakitan oleh apapun. Betapa sedihnya
juga hatiku. Tak tega aku melihatnya. Kadang tak terucap dalam bingkai
kata-kata apa yang kamu rasakan. Tak juga aku memahami isyarat itu tapi kamu
mengalaminya. Namun aku hanya memeluk dan menemani sampai kamu terlelap
kembali.
Anakku..
Biarlah aku berkaca dari wajahmu.
Aku justru menemukan pelajaran kehidupan saat kamu terlelap dalam tidurmu. Aku menemukan
keteduhan dalam lelapmu. Tak kuusik lelapmu. Bagiku keheningan tak selalu diam,
tapi keheningan menyeruak kesepian menyuarakan bunyi tanpa kata-kata.
Selamat tidur anakku…aku sayang
padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar