Senin, 07 Mei 2012

Dihitung mundur (Renungan Batin – manusia & Tuhan)



Berita meninggalnya wakil menteri ESDM bapak (alm) Widjajono  P ketika melakukan pendakian di gunung Tambora NTB cukup mengejutkan semua pihak baru-baru ini. Padahal beliau, kata istrinya, tidak pernah punya riwayat sakit jantung atau stroke. Apalagi beliau rajin berolahraga tiap pagi dan sudah biasa mendaki gunung sekitar 50 gunung bahkan telah menjelajah sampai gunung Himalaya.
Hal ini menyadarkanku bahwa tibanya ajal itu tidak bisa diketahui atau diduga-duga. Kapanpun dan dimanapun serta melalui cara apapun, maut itu bisa menjemput siapapun bila sudah saatnya tiba. Kematian juga tidak mengenal urutan usia, belum tentu orang yang usianya lanjut meninggal terlebih dulu dibanding dengan orang yang umurnya lebih muda. Demikian juga tutup usia tidak mengenal status sosial seseorang, baik gelandangan atau profesor, orang bodoh atau pintar, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, suku apapun, rohaniawan atau umat, preman atau saleh dan sebagainya tetap sama akan mengalaminya. Entah orang percaya atau tidak, mau atau tidak, tetap tidak dapat menghindar ketika namanya sudah dipanggil. Memang ada orang-orang tertentu yang tidak mengalami kematian jasmani ini, itu karena kehendak Tuhan semata namun sebagian besar manusia di dunia ini akan menjalani kematian.
Aku tidak membicarakan kenapa ada maut. Yang aku renungkan bagaimana aku menghadapi saatku nanti. Aku berpikir kematian adalah realita hidup sebagaimana makan, tidur, kerja, nikah, lahir dan tentu juga mati. Tentu saja aku juga takut bila tiba-tiba mengalami kematian, aku takut karena kematian itu misteri, bayanganku disana akan sepi dan gelap apalagi dimasukkan ke dalam peti mati lalu dipaku dan dikubur dan ditanam dalam tanah. Hujan dan panas menerpa. Aku juga takut mati kalau prosesnya menyakitkan sebelumnya misalnya sakit tertentu yang lama dan menyusahkan orang lain. Aku juga takut kalau cara aku mati juga menyakitkan. Kalau aku ditanya apakah aku siap menghadapi maut saat ini, jawabku tegas dan lugas “TIDAK SIAP !” karena anak-anakku masih kecil dan kasihan istriku yang akan merawat sendiri bila aku mati sekarang. Lalu bagaimana dengan kehidupan setelah mati, apakah aku takut menghadapinya? Nampaknya aku berani mengatakan “aku berani” karena aku menuju kesana tidak dengan tiket yang dicap dengan segala kesalehan dan kebaikanku sendiri, tapi dicap dengan darah dari Pribadi yang kudus dan tak bernoda oleh dosa apapun. Dia mengorbankan nyawa dan darahNya karena kasihNya kepada semua orang berdosa. Dialah pula yang menjadi Pembelaku disana. Jadi aku yakin saja.
Tentu saja sebagian besar orang tidak siap bila tiba-tiba peluit panggilan itu ditujukan pada dirinya, maunya ya nanti-nanti saja. Demikian juga dengan orang-orang yang ditinggalkannya juga tidak akan siap. Karena ada keterpisahan di dunia, tidak bisa berkomunikasi lagi, dan sebagainya.
Namun dalam kewarasanku sekarang aku justru sedang mengajukan proses pendamaian dengan maut itu. Artinya apakah aku takut, tidak mau tahu dan berusaha menghindar dari kematian tidak juga menjamin aku tidak mati kelak. Tentu saja maut tidak akan bertanya kepadaku “ kamu takut kalau mati sekarang?” Kalau takut ya sudah nanti saja menunggu kalau kamu berani. Pastilah tidak demikian. Oleh karena itu, kalau pasti mati dan tidak tahu kapan mengapa aku harus ditekan dengan perasaanku sendiri yang justru membuatku menderita.
Maka saat ini dengan menyadari kematian itu ada dan bisa menimpaku kapanpun maka aku akan menghitung hari-hariku selagi masih ada waktu. Dulu ketika aku anak-anak, umurku dihitung maju namun saat usiaku menjelang setengah abad maka usiaku dihitung mundur. Ketika berulang tahun justru menjadi pengingat bahwa jatah usiaku sudah berkurang satu tahun. Jadi seharusnya sukacita ulangtahunku tidak lagi karena ada orang yang memberi ucapan selamat atau merayakan aku atau bukan karena “make a wish” supaya panjang umur, namun sukacita ultahku seharusnya karena menyadari bahwa waktuku mesti dipakai dengan hati-hati.
Dalam kesadaranku yang lain, maka aku harus mempertanyakan keyakinan pribadiku : apakah aku percaya ada kehidupan kekal setelah mati? Apakah aku meyakini bahwa kehidupan yang sejati justru setelah kematian itu? Apakah aku meyakini bahwa kematian adalah kesempatan untuk mempercepat bertemu dengan sang Penebus? Apakah aku yakin bahwa kelak ada kebangkitan yang membawa pada kemuliaan dan sukacita abadi? Mungkin ada benarnya kata Ebiet G Ade “kematian adalah tidur panjang” kerena kelak ada saatnya bangun. Bila jawabanku semuanya “AKU YAKIN”. Maka kesempatanku masih hidup di dunia ini akan kumanfaatkan sebaik-baiknya.
Aku belajar untuk membicarakan, mensharingkan dan menuliskan realita kematian ini secara wajar, bukan sesuatu yang tabu atau mengerikan untuk dibicarakan. Aku juga belajar untuk melepaskan dari keterikatan dengan benda-benda, keinginan-keinginan, kesukaan-kesukaan dan orang-orang. Selain itu bila memiliki sesuatu, tidak merasa itu akan dipegangnya selamanya.
Namun yang penting adalah bagaimana aku mempersiapkan kemana aku hidup setelah mati dan apa yang aku wariskan kepada orang-orang yang kelak aku tinggalkan. Akan dikenang sebagai apakah aku kelak?
Aku ingin dikenang sebagai orang yang dikasihi Tuhan dan bergaul denganNya. Dan karena pergaulan itu mempengaruhiku bagaimana aku berhubungan dengan orang lain, benda-benda, keinginan-keinginan, diriku sendiri dan alam. Selain itu aku ingin menjadi ayah dan suami yang baik. Dan juga menjadi hamba bagi Tuhan dan orang lain yang baik.
Tapi kalau aku ditanya apakah sekarang aku berani mati? Kalau boleh aku memilih aku mau untuk hidup lebih lama lagi supaya lebih banyak waktu untuk mengerjakan sesuatu yang penting karena perspektifku yang sudah berubah. Namun kalau tidak, minimal aku sudah menyiapkan diri.  
Jadi karena aku masih takut dan sedang menjalani proses berdamai dengan adanya realita kematian itu maka aku menuliskan dan membagikan perenunganku ini.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar