Berita meninggalnya wakil menteri
ESDM bapak (alm) Widjajono P ketika
melakukan pendakian di gunung Tambora NTB cukup mengejutkan semua pihak
baru-baru ini. Padahal beliau, kata istrinya, tidak pernah punya riwayat sakit
jantung atau stroke. Apalagi beliau rajin berolahraga tiap pagi dan sudah biasa
mendaki gunung sekitar 50 gunung bahkan telah menjelajah sampai gunung
Himalaya.
Hal ini menyadarkanku bahwa
tibanya ajal itu tidak bisa diketahui atau diduga-duga. Kapanpun dan dimanapun
serta melalui cara apapun, maut itu bisa menjemput siapapun bila sudah saatnya
tiba. Kematian juga tidak mengenal urutan usia, belum tentu orang yang usianya
lanjut meninggal terlebih dulu dibanding dengan orang yang umurnya lebih muda.
Demikian juga tutup usia tidak mengenal status sosial seseorang, baik
gelandangan atau profesor, orang bodoh atau pintar, kaya atau miskin, laki-laki
atau perempuan, suku apapun, rohaniawan atau umat, preman atau saleh dan
sebagainya tetap sama akan mengalaminya. Entah orang percaya atau tidak, mau
atau tidak, tetap tidak dapat menghindar ketika namanya sudah dipanggil. Memang
ada orang-orang tertentu yang tidak mengalami kematian jasmani ini, itu karena
kehendak Tuhan semata namun sebagian besar manusia di dunia ini akan menjalani
kematian.
Aku tidak membicarakan kenapa ada
maut. Yang aku renungkan bagaimana aku menghadapi saatku nanti. Aku berpikir
kematian adalah realita hidup sebagaimana makan, tidur, kerja, nikah, lahir dan
tentu juga mati. Tentu saja aku juga takut bila tiba-tiba mengalami kematian,
aku takut karena kematian itu misteri, bayanganku disana akan sepi dan gelap
apalagi dimasukkan ke dalam peti mati lalu dipaku dan dikubur dan ditanam dalam
tanah. Hujan dan panas menerpa. Aku juga takut mati kalau prosesnya menyakitkan
sebelumnya misalnya sakit tertentu yang lama dan menyusahkan orang lain. Aku
juga takut kalau cara aku mati juga menyakitkan. Kalau aku ditanya apakah aku
siap menghadapi maut saat ini, jawabku tegas dan lugas “TIDAK SIAP !” karena
anak-anakku masih kecil dan kasihan istriku yang akan merawat sendiri bila aku
mati sekarang. Lalu bagaimana dengan kehidupan setelah mati, apakah aku takut
menghadapinya? Nampaknya aku berani mengatakan “aku berani” karena aku menuju kesana
tidak dengan tiket yang dicap dengan segala kesalehan dan kebaikanku sendiri,
tapi dicap dengan darah dari Pribadi yang kudus dan tak bernoda oleh dosa
apapun. Dia mengorbankan nyawa dan darahNya karena kasihNya kepada semua orang
berdosa. Dialah pula yang menjadi Pembelaku disana. Jadi aku yakin saja.
Tentu saja sebagian besar orang
tidak siap bila tiba-tiba peluit panggilan itu ditujukan pada dirinya, maunya
ya nanti-nanti saja. Demikian juga dengan orang-orang yang ditinggalkannya juga
tidak akan siap. Karena ada keterpisahan di dunia, tidak bisa berkomunikasi
lagi, dan sebagainya.
Namun dalam kewarasanku sekarang
aku justru sedang mengajukan proses pendamaian dengan maut itu. Artinya apakah
aku takut, tidak mau tahu dan berusaha menghindar dari kematian tidak juga
menjamin aku tidak mati kelak. Tentu saja maut tidak akan bertanya kepadaku “
kamu takut kalau mati sekarang?” Kalau takut ya sudah nanti saja menunggu kalau
kamu berani. Pastilah tidak demikian. Oleh karena itu, kalau pasti mati dan
tidak tahu kapan mengapa aku harus ditekan dengan perasaanku sendiri yang
justru membuatku menderita.
Maka saat ini dengan menyadari
kematian itu ada dan bisa menimpaku kapanpun maka aku akan menghitung
hari-hariku selagi masih ada waktu. Dulu ketika aku anak-anak, umurku dihitung
maju namun saat usiaku menjelang setengah abad maka usiaku dihitung mundur.
Ketika berulang tahun justru menjadi pengingat bahwa jatah usiaku sudah
berkurang satu tahun. Jadi seharusnya sukacita ulangtahunku tidak lagi karena
ada orang yang memberi ucapan selamat atau merayakan aku atau bukan karena
“make a wish” supaya panjang umur, namun sukacita ultahku seharusnya karena
menyadari bahwa waktuku mesti dipakai dengan hati-hati.
Dalam kesadaranku yang lain, maka
aku harus mempertanyakan keyakinan pribadiku : apakah aku percaya ada kehidupan
kekal setelah mati? Apakah aku meyakini bahwa kehidupan yang sejati justru
setelah kematian itu? Apakah aku meyakini bahwa kematian adalah kesempatan
untuk mempercepat bertemu dengan sang Penebus? Apakah aku yakin bahwa kelak ada
kebangkitan yang membawa pada kemuliaan dan sukacita abadi? Mungkin ada
benarnya kata Ebiet G Ade “kematian adalah tidur panjang” kerena kelak ada
saatnya bangun. Bila jawabanku semuanya “AKU YAKIN”. Maka kesempatanku masih
hidup di dunia ini akan kumanfaatkan sebaik-baiknya.
Aku belajar untuk membicarakan,
mensharingkan dan menuliskan realita kematian ini secara wajar, bukan sesuatu
yang tabu atau mengerikan untuk dibicarakan. Aku juga belajar untuk melepaskan
dari keterikatan dengan benda-benda, keinginan-keinginan, kesukaan-kesukaan dan
orang-orang. Selain itu bila memiliki sesuatu, tidak merasa itu akan
dipegangnya selamanya.
Namun yang penting adalah
bagaimana aku mempersiapkan kemana aku hidup setelah mati dan apa yang aku wariskan
kepada orang-orang yang kelak aku tinggalkan. Akan dikenang sebagai apakah aku
kelak?
Aku ingin dikenang sebagai orang
yang dikasihi Tuhan dan bergaul denganNya. Dan karena pergaulan itu
mempengaruhiku bagaimana aku berhubungan dengan orang lain, benda-benda,
keinginan-keinginan, diriku sendiri dan alam. Selain itu aku ingin menjadi ayah
dan suami yang baik. Dan juga menjadi hamba bagi Tuhan dan orang lain yang
baik.
Tapi kalau aku ditanya apakah
sekarang aku berani mati? Kalau boleh aku memilih aku mau untuk hidup lebih
lama lagi supaya lebih banyak waktu untuk mengerjakan sesuatu yang penting
karena perspektifku yang sudah berubah. Namun kalau tidak, minimal aku sudah
menyiapkan diri.
Jadi karena aku masih takut dan
sedang menjalani proses berdamai dengan adanya realita kematian itu maka aku
menuliskan dan membagikan perenunganku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar