Senin, 26 Desember 2011

Damai Natal, damainya aku dengan ayahku


Aku tidak pernah merasakan bagaimana memiliki seorang ayah yang mendampingi, memilihara dan mendidik hidupku secara terus menerus. Karena sejak aku masih di dalam kandungan ibuku, ayahku sudah meninggalkan kami dengan alasan untuk bekerja di Jakarta. Namun semenjak kepergiannya, dia jarang mengunjungi kami dan membiayai hidup kami.

Oleh karena itu, ibuku mau tidak mau harus membanting tulang demi mencukupi kebutuhan kami. Dia bekerja tiap hari dari pagi hingga sore untuk berjualan makanan yang dijajakannya dengan menaiki sepeda meskipun sampai jarak yang sangat jauh.

Jadi hampir jarang sekali aku melihat ayahku. Mungkin sepanjang usiaku hanya beberapa kali kami bertemu, demikian juga dengan pemberian uang kepadaku tidak terlalu banyak. Hadiah dari ayahku yang aku ingat sampai sekarang adalah sebuah radio yang tatkala itu selalu menemaniku menjelang tdur malam dengan musik-musik kegemaranku. Kamipun jarang berkomunikasi. Jadi aku merasa asing dengannya. Mungkin juga ayahku terhadapku.

Setelah aku remaja baru aku mengetahui kalau ayahku ternyata menikah lagi ketika usiaku masih kanak-kanak dan memiliki anak-anak lagi. Hal tersebut memang pernah diberitahukan kepadaku oleh ibu, namun kemudian ayahku juga mengatakannya sendiri kepadaku. Memang jujur, itu sungguh tidak nyaman untuk didengarkan. Tapi aku belajar menerima hal tersebut sebagai kenyataan yang sudah terjadi, termasuk aku harus menyadari kalau ayahku jarang menemuiku dan jarang memberi apa yang aku butuhkan.

Sebenarnya perlakuan ayahku terhadap ibuku dan aku sudah menyakitkan hatiku. Namun ada satu peristiwa yang sangat membuat aku terpukul dan sangat marah kepada ayahku hingga menimbulkan rasa pahit dihatiku.

Saat itu aku lulus SMA dan berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, namun ibu sudah menyatakan ketidaksanggupannya untuk membiaya apabila aku kuliah. Maka aku berusaha berharap siapa tahu ayahku akan mau menerima dan membiayai aku kuliah di Jakarta. Tanpa sepengetahuan ayah, aku pergi dengan ibu ke Jakarta. Seperti sudah yakin ayah akan menerimaku maka aku juga berpamitan dengan teman-teman dan para tetangga untuk tinggal bersama ayahku.

Namun saat bertemu ayah, kami dibuat kelu tidak bisa berkata-kata banyak dan hanya menerima kondisi yang tidak nyaman. Dia berkata kalau di Jakarta tidak enak dan segala macam alasannya, yang intinya dia tidak mau menerimaku dan menyarankan aku supaya kembali pulang saja.

Sungguh tak terbayang betapa malu ketika menjumpai lagi teman-teman dan para tetangga yang bertanya kenapa aku tidak jadi tinggal di Jakarta. Aku kecewa, marah dan merasa tertolak dengan tindakan ayahku sendiri. Timbul perasaan makin benci dengannya. Hal tersebut makin membuat aku tidak ingin bertemunya lagi.

Waktu terus berjalan, hingga saat menjelang Natal. Seperti biasa aku sangat menikmati suasana Natal. Mendengar lagu-lagu Natal dan perayaan-perayaan yang diadakan. Namun kala itu, aku merasakan suatu Natal yang berbeda.
Dari uraian kotbah yang disampaikan, aku menyadari bahwa Natal adalah kelahiran Sang Juruselamat ke dalam dunia ini. Dia datang untuk membawa damai, dimana manusia yang memusuhi Tuhan dengan perkataan, pikiran dan tindakannya yang jahat. Dia mendamaikan manusia dengan Tuhan. Bila sudah demikian maka dia akan dimampukan berdamai dengan dirinya sendiri dan orang lain.

Saat itu aku datang bersujud mengakui segala dosa dihadapan Tuhan dan mengakui kebencian yang telah lama tertimbun dalam hatiku terhadap ayah. Atas pertolonganNya, aku dipulihkan dan dikuatkan kemudian untuk berdamai dengan ayahku. Aku belajar mengampuninya. Meski kadang jatuh bangun perasaanku untuk bisa mengampuni dengan tulus. Namun aku makin merasakan kasih sayang itu tumbuh dihatiku terhadap ayah. Aku juga bersyukur bagaimanapun beliau adalah alat untuk menghadirkan aku di dunia ini terlepas apapun perbuatannya padaku.

Hingga saatnya ayahku meninggal, aku hadir dipemakaman beliau. Dan saat itu juga aku dengan ibu tiri dan adik-adik tiriku bisa bertemu dan kami jadi saling mengenal. Terkuaklah semuanya. Namun karena anugrahNya dalam Natal itu membuat aku bisa berdamai denganNya dan sekaligus berdamai dengan ayahku. Damai Natal, damainya aku dengan ayahku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar