Senin, 26 Desember 2011

Di Natal-Mu, saya bersimpuh


Setelah sekian lama melewati suasana Natal dari tahun ke tahun, saya bisa merasakan pengalaman yang berbeda pada saat Natal di tahun itu. Dulunya saya hanya menikmati keceriaan Natal sebatas lagu-lagu Natal yang diperdengarkan atau dari perayaan-perayaan Natal yang diadakan yang biasanya sangat menggembirakan : ada drama Natal, puji-pujian, foto-foto dengan Santa Claus demikian juga ada makanan dan kado yang dibagikan, dua terakhir itu yang paling saya tunggu-tunggu.

Namun pada saat Natal istimewa itu, saya menemukan sesuatu yang esensi yang lebih dari sekedar kegembiraan tradisi Natal. Itu sesuatu yang berarti bagi hidup saya dan peristiwa bersejarah yang tak mungkin saya lupakan. Hal tersebut juga membuat hidup saya berubah yang mempengaruhi seluruh aspek hidup saya.

Pada saat itu, saya baru menyadari apa makna Natal yang sesungguhnya. Natal bukan hanya merayakan kelahiran seorang bayi. Natal juga tidak identik dengan pohon terang (pohon Natal) yang biasanya dihiasi dengan penuh warna dan cahaya, tidak juga sama dengan Santa Claus yang berpakaian khas dengan kadonya. Natal juga bukan semata-mata tradisi.

Tapi Natal adalah kelahiran seorang Juruselamat. Karena sedemikian kasihNya yang begitu besar, Dia datang untuk menyelamatkan umat manusia dari belenggu dosa dan yang terancam hukuman kekal. Jadi ini adalah persoalan antara manusia dengan Tuhan yang terpisah karena dosa-dosa manusia itu sendiri. Dimana kelahiran Sang Juruselamat itu untuk mendamaikan relasi antara Tuhan dan manusia tersebut.

Dengan kesadaran itu, saya merasakan betapa diri ini sangat buruk dan betapa compang-campingnya hidup saya. Saya sudah begitu melukai hati ibu saya dengan kelakuan dosa saya. Saya teringat pertanyaan ibu kepada saya ketika saya pulang mabuk di saat dini hari ketika beliau justru sedang terlelap dalam tidurnya setelah seharian dia bekerja untuk mencukupi kebutuhan kami semenjak ayah meninggalkan kami karena menikah dengan wanita lain. Ibu bertanya “ kowe mendem ya?- bahasa jawa (kamu mabuk ya?). Biasanya saya tidak menjawab, namun saya segera masuk ke rumah setelah ibu membukakan pintu. Saya tidak berubah meskipun ibu pernah menangis di bawah kaki saya sambil membawa pisau supaya saya membunuhnya saja. Hal itu dia lakukan karena sudah tidak tahan lagi menanggung penderitaan melihat tingkah laku anaknya yang durhaka ini.

Pada malam itu, saya dalam keberdosaan saya datang kepada Sang Juruselamat. Saya membawa ketidaklayakan, kenajisan dan segala kebejatan hidup saya dihadapanNya. Saya mengakui segala dosa saya dengan perasaan menyesal, apalagi mengingat dosa-dosa saya pada ibu. Tuhan, di hari yang istimewa ini saya datang kepadaMu. Saya bersyukur Engkau mau menerima saya, orang berdosa ini. Di Natal-mu ini, saya bersimpuh. Pulihkan saya.

Dan memang benar, setelah itu hidup saya berubah. Dia memulihkan hidup saya. Setelah saya bersimpuh dihadapan Tuhan maka kemudian saya bersimpuh di depan ibu untuk meminta maaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar