Kamis, 15 Desember 2011

Derita Anak Sulung (Renungan Batin – Orangtua & Anak - 5)


Ada banyak kisah yang bisa diceritakan tentang keberadaan anak sulung. Seperti dua sisi mata uang. Ada sisi menyenangkan namun juga ada dukanya. Kadang keadaan yang tidak mengenakkan bisa terjadi sejak masih kanak-kanak hingga dewasa.

Tentu tidak semuanya (anak sulung) merasakan hal yang sama. Ini bagian contoh dari beberapa kondisi yang dialami oleh anak yang dilahirkan pertama dalam salah satu keluarga. Seringkali persoalan ini hanya menjadi bagian yang harus ditanggung oleh anak sulung meski kadang tidak tahu kenapa harus begitu. Bahkan sering pula tanpa pembicaraan lebih lanjut. Ulasan ini mencoba melihat apa yang dirasakan dan dialami dari “kacamata” si anak sulung.

Ketika aku dilahirkan sebagai anak sulung, wah aku berpikir aku ini akan menjadi anak kesayangan. Aku satu-satunya anak dari orangtuaku. Rasanya semua perhatian tercurah padaku. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Ketika aku baru menginjak usia satu tahun, ternyata ibuku hamil lagi. Tentu saja itu bukan karena direncanakan.

Menyadari kehamilan itu, ayah ibuku harus membuat keputusan dengan berat hati. Di saat aku masih membutuhkan kemanjaan dengan mereka dan asupan ASI dari ibu yang aku butuhkan. Maka dengan “terpaksa” terputuslah semua itu. Aku merasa kehilangan kedekatan dengan ibu. Digantinya “rasa aman” ku dengan sebuah dot karet. Sepertinya aku harus “dikalahkan” demi adikku. Betapa beratnya saat itu perasaanku, aku menangis di kamarku mencari ibu seperti biasa meminum ASI sebelum tidur tapi di kamar yang lain ibuku juga menangis karena tidak tega melihatku yang sedang “disapih”(putus ASI).

Ketika aku mulai kanak-kanak, adikku juga sudah mulai bertumbuh. Kadangkala kami bermain bersama. Sebagai anak-anak, tidak jarang kami berebut mainan dan merasa memiliki hak untuk memakai mainan sesuka kami. Kalau sudah begitu terjadilah pertengkaran karena tidak ada yang mau mengalah. Namun yang membuat aku sedih, orangtuaku memintaku supaya menyerahkan mainan itu kepada adikku. Alasan mereka karena aku sudah besar dan harusnya bisa mengalah kepada adik yang masih kecil.
Tentu saja aku tidak bisa protes. Bukankah aku juga punya hak untuk bermain? Bukankah adikku juga harus belajar menghargai hak milik orang lain? Apakah sebagai anak sulung harus selalu mengalah?

Ketika aku bertambah usia. Orangtuaku ternyata juga menambah jumlah anak. Entah direncanakan atau tidak. Tapi yang terjadi, aku sekarang memiliki empat adik. Padahal sebenarnya kemampuan ekonomi keluarga kami hanya pas-pasan. Kedua orangtuaku harus bekerja demi mencukupi kebutuhan kami sekeluarga. Itupun kadang masih harus ngutang sana sini.

Sebagai anak sulung, mau tidak mau, aku harus menerima tanggungjawab menjaga adik-adikku selagi orangtuaku bekerja. Kadang aku tidak bisa bebas pergi bermain dengan teman-temanku karena adik-adikku selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Bila ada sesuatu yang buruk menimpa salah satu adikku, maka aku yang akan terkena amarah orangtuaku. Dikatakan aku tidak becus mengurusi adik-adik.

Dengan susah payah orangtuaku berusaha untuk membiayai aku sampai aku bisa kuliah. Dan memang benar aku bisa diterima di PTN dan kuliah. Namun yang sering membuatku risih, orangtuaku selalu berpesan supaya kelak bila aku sudah bekerja maka aku dimintanya untuk membiayai adik-adikku. kata mereka “supaya bisa membalas budi orangtua”.

Akhirnya satu demi satu aku membiayai sekolah adik-adikku. Memang ini sesuatu yang wajar apabila kakak membantu adik termasuk anak membatu orangtua. Ini sesuatu yang baik pula. Pasti ini juga bisa menjadi teladan bagi orang lain.

Namun yang membuat aku merasa tidak nyaman. Apakah sebagai anak sulung harus menerima semua beban orangtua? Bukankah hidup dan sekolah adik-adikku tetap harus menjadi tanggungjawab orangtuaku? Kalau itu dibebankan kepadaku, maka aku akan terbebani dengan dua tanggungjawab : yang pertama, untuk adik-adikku. yang kedua, untuk anak-anakku sendiri kelak. Bukankah itu sesuatu yang berat. Bukankah aku juga tidak merencanakan atau meminta untuk dilahirkan sebagai anak sulung?

Sebenarnya akan sangat baik bila orangtua tidak memerintahkan atau membebankan tanggungjawabnya ke anak sulung. Kalau toh si anak sulung akhirnya membantu, biarlah itu bukan karena balas budi dan kewajiban. Kewajiban dan tanggungjawab anak adalah kepada anak-anaknya kelak. Dan tentu saja, anak yang baik, pastilah akan memahami kondisi keluarganya.

*) tokoh “aku” hanyalah rekaan saja

6 komentar:

  1. Ini yg saya alami. Saya dituntut untuk sukses dan membiayai adik2 saya. Kini saya tertekan dan rasanya ingin bunuh diri. Saya yg baru lulus kuliah blum bekerja, saat di rumah sllu mnjadi pusat amarah orang tua. Tolong bantu hamba ya Allah

    BalasHapus
  2. Kalo aku dari kecil sampai sudah menikah bila ketiga adikku melakukan lesalahan atau suuzon ke aku, Aku sllu di marahi. Tapi bila sebaliknya tetap aku yg salah. Bila papih beli barang untuk aku, itu cuman pinjaman tetapi bila beli barang untuk adik2ku itu hak mereka. Rasanya pingin dilahirkan kembali tetapi bukan anak sulung. Atau tidak mau di lahirkan

    BalasHapus
  3. saya juga begitu.jadi anak sulung..setelah kerja pun sering dimarahi dan dihina "tidak becuslah" dll...bahkan hidup saya pun di atur...hanya sekali ini saja saya memilih jln sendiri dgn alasan "katanya pengen punya anak yg PNS" ortu memperbolehkan saya kerja di luar jawa sbg ASN di program pemerintah.padahl dari kecil saya ingin jd interpreneur. sehingga saya pun bertekat suatu saat ketika saya menikah dan mempunyai anak, jangan sampai seperti saya sewaktu kecil..saya pun juga tidak akan memanjakan anak2 saya..karena masa lalu saya merupakan pelajaran saya.

    BalasHapus
  4. saya merasakan yg sama. dr kecil sering disalahkan setiap ada prtengkaran dg adik. selalu saya yg disuruh melakukan pekerjaan rumah tangga, semantara adik tdk. bahkan jika itu pekerjaan yg sewajarnya dilakukan anak laki2 (saya perempuan). tamat kuliah ditekan untuk mencari pekerjaan segera sesuai yg mereka inginkan, agar bisa membalas jasa ortu. dan itu terus2an di ungkit2. seolah2 saya berhutang dilahirkan ke dunia ini. ketika ingin resign,ditentang bahkan dihadang habis2an. pdhl saya sgt tdk nyaman dg pekerjaan saya. dan pertimbangan saya resign secepatnya, agar bisa cari kerja lg. sementara adik2 saya bisa memilih2 pekerjaan yg dia inginkan. bahkan smpai nganggur 2 thn. dan ortu saya memahami sekali, bahkan sperti kasihan. pdhl adik saya sdh diterima di bbrp perusahaan, tp dia tdk suka. adik saya yg lain jg lama. tamat D3 santai2, cari kerja untuk pengalaman. giliran diterima tdk di ambil. ujung2nya lanjut S1. ortu jg memahami aja tuh. pdhl kan seharusnya bisa estafet membantu beban ortu.
    saya berjodoh dg suami saya yg jg anak pertama. tp keadaan dia sgt jauh berbeda. pdhl kami di strata ekonomi yg sama. saya sprti mendapat ganti kasih sayang dan perhatian dr merrua saya. Alhamdulillah.
    namun, trauma ttp trauma. saya sampai brpikir untuk hanya memiliki 1 anak. krn saya tdk mau anak sulung saya merasakan hal yg sama.
    smoga Allah slalu menjaga langkah kami dlm menjaga amanah2 nya.
    smoga siapapun yg merasakan hal yg sama, dpt memahami bhwa hal ini adalahbtakdir dr Allah dan untuk dpt membuat kita dekat dgn nya. InshaaAllah.

    BalasHapus
  5. ketika aku salah, aku bkl di marahi habis habisan. ketika adik adikku yang salah, amarah sprti tetap harus ditujukan ke aku. andai bisa memilih, aku ingin dilahirkan sebagai anak tunggal, jika tidak aku memilih tidak ada

    BalasHapus
  6. Dari aku, tetap semangat ya buat anak sulung:), aku anak sulung juga kok, aku sama seperti kalian, selalu salah, selalu dimarahi, diperlakukan tidak adil, tapi jgn sampe kalian bunuh diri ya:), tetap semangat untuk anak sulung:)

    #rfrdhlnd.

    BalasHapus