Senin, 05 Desember 2011

Sampai Disini (Renungan Batin – 12)


Bila aku mengenangnya. Aku sering menangis sendiri. Apalagi saat aku melamun, maka tiba-tiba ingatanku melayang ke sana. Aku sudah mencoba untuk tetap tegar tapi toh kadang aku tidak bisa menghindar dari perasaan sedihku. Memang kesibukan study dan dengan bergaul dengan teman-teman sedikit mengalihkan perhatianku padanya.

Hubungan kami sudah cukup lama, sekitar 2 tahun. Selama itu kami menikmati banyak hal, suka dan duka bersama. Tawa canda dan tangis air mata mewarnai perjalanan percintaan kami. Pergi bersama dan berdiskusi tentang berbagai isu dengannya sungguh menyenangkan dan sulit untuk dilupakan. Memang kadang kami bertengkar, saling cemburu,lalu diam-diam an hingga akhirnya rujuk kembali.

Kami saling mengenal dan bersahabat lalu berpacaran ketika kami bersama-sama ikut dalam komunitas yang membangun pertumbuhan iman kami. Kami sering melakukan kegiatan bersama, berdoa, belajar firman Tuhan dan melayani bersama. Rasanya senang bisa mendapatkan pasangan yang seiman. Dan aku berpikir bahwa hubungan kami akan langgeng sampai ke jenjang pernikahan, namun nyatanya tidak demikian. Kami putus.

Memang sangat disayangkan keadaan ini, namun mungkin lebih baik terjadi sekarang ini ketika kami masih berpacaran dan belum masuk pernikahan. Persoalannya karena ketidakdewasaan kami. Pacarku tidak mau terikat. Dia maunya bisa bebas bergaul dengan siapapun dan lebih mementingkan waktu bersama teman-temannya daripada dengan aku. Padahal aku ingin dia lebih banyak waktu bersamaku. Memang dia sering mengatakan kalau aku ini banyak menuntut. Nggak boleh ini nggak boleh itu. sering dia jengkel dan aku juga kesal. Karena sering bertengkar untuk masalah ini, akhirnya kami menyudahi hubungan kami.

Harus aku akui ternyata aku termasuk orang yang “possesive”. Apabila aku berhubungan dekat dengan seseorang maka aku cenderung ingin menguasainya. Dalam pikiranku, dia adalah milikku. Maka segala sesuatu harus terkait dengan diriku. Bila ada orang atau apapun yang lebih dekat dengannya maka aku akan cemburu dan berusaha untuk menarik perhatiannya lagi ke aku. Bahkan dengan orangtuanya, aku juga sering iri hati bila pacarku itu terlalu dekat dan bermanja-manja dengan mereka. Apalagi bila dia sering curhat dengan orangtuanya tapi dia tidak cerita kepadaku, pasti aku akan marah sekali. Padahal sebenarnya dia memang masih menjadi tanggungjawab orangtuanya, sudah tentu dia baik kalau ada apa-apa cerita kepada orangtuanya.

Bahkan aku sering memaksanya untuk memperlihatkan kepadaku setiap SMS yang masuk ke HP nya, karena pikirku siapa tahu ada orang lain yang suka ke mantan pacarku itu. Kadang dia santai saja menanggapinya, namun kalau dia sedang tidak enak hati maka dia sering marah-marah karena desakanku itu.

Aku memang terlalu banyak mengatur mantan pacarku dulu. Seharusnya aku menyadari bahwa diri kami ini belum terikat secara formal dalam pernikahan. Kalau sekarang saja sudah banyak mengatur, apalagi besuk kalau menikah. Pasti pasanganku tidak akan tahan bila sikapku demikian.

Aku juga harus mewaspadai kelemahanku ini karena bila aku tidak berubah maka pasti aku akan bermasalah bila berhubungan dengan siapapun juga.

Sekarang harus bagaimana setelah putus?

Aku tahu ternyata meskipun kami dulu saling mendoakan sebelum kami memutuskan untuk berpacaran, kami bisa putus. Itu artinya bisa jadi kami dulu salah menangkap kehendak Tuhan bagi kami. Bisa jadi perasaan kami yang lebih banyak mendominasinya dalam membuat keputusan. Atau dalam perjalanan pacaran, kami menemukan karakter kami yang tidak baik, oleh karena itu kami harus mengevaluasi diri.

Yang penting aku harus membenahi sifat burukku ini. Dan aku tetap bersikap terbuka dengan siapapun kelak Tuhan akan memberi teman hidup bagi aku. Bila dengan mantan pacarku bisa rujuk, biarlah kami sudah dipersiapkan dalam karakter yang dewasa. Namun aku tidak boleh terlalu berharap supaya tidak kecewa bila tidak terjadi. Namun bila dengan orang lain, aku juga akan membangun hubungan dengan baik untuk saling menghargai dan tahu batas-batas dalam berpacaran.

Aku tidak boleh terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Hidupku harus berjalan. Bukankah masalah teman hidup bukan segala-galanya dalam hidupku. Aku harus terus bertumbuh dan melayani Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar