Jumat, 27 Januari 2012

Gaya Hidup (Renungan Batin – Suami & Istri - 7)


Bersyukur sekali pernikahanku dapat berjalan dengan baik dan aku sangat menikmatinya. Seiring dengan itu karierku di sebuah perusahaan swasta juga menanjak dengan relatif cepat. Maka itu otomatis mempengaruhi penghasilanku sehingga kehidupan keluarga kamipun tercukupi bahkan berlimpah. Apalagi ditambah dengan pemasukan dari bisnisku yang lain.

Rasanya makanan apapun bisa kami nikmati. Pakaian mewah model rancangan siapapun bisa kami kenakan. Mobil jenis apapun juga bisa kami tumpangi. Rumah dengan gaya arsitektur apapun juga dapat kami tinggali. Termasuk tempat-tempat wisata manapun juga bisa kami singgahi. Semuanya itu bisa kami miliki dan nikmati dengan kekayaan yang kami punya.

Apalagi simpanan kami berupa deposito, tanah, emas, obligasi, saham dan sebagainya juga tersebar di sana sini. Aku rasa aku sudah bisa mendapatkan semua yang aku impikan selama ini. Aku juga dapat mengecap rasanya menjadi orang kaya yang dihormati dimana-mana, berpakaian necis, kemana-mana tak lupa menenteng BB, Ipad, Laptop atau apapun peralatan komunikasi canggih lainnya, HP selalu berdering tanda selalu dibutuhkan orang, dan sebagainya. Bukankah ini yang dicari semua orang?

Aku ingat dulu di waktu masih kanak-kanak. Aku hidup dari keluarga yang sangat melarat. Aku sudah merasakan pahitnya menjadi orang miskin. Bahkan kadang karena tidak ada makanan di rumah, kami sering meminta belas kasihan ke tetangga supaya dapat menyambung hidup. Meski sering kami mendapat cibiran bibir bahkan omelan karena mereka merasa terganggu sebab kami bukan sekali dua kali merepotkan mereka. Namun ada juga beberapa tetangga yang baik hati mau memberi makan kepada kami walaupun itu hanya nasi dan sayur olahan kemarin yang dihangatkan lagi.

Tidak jarang aku juga makan nasi hanya dengan garam atau sambal. Hmm…saat itu bagiku rasanya sangat nikmat sekali. Untuk makan daging ayam kami harus menunggu pemberian orang lain atau kalau ada hajatan dari tetangga. Demikian juga dengan pakaian, sangat minim sekali. Namun semua itu justru membuatku terpacu untuk belajar dengan sungguh-sungguh.

lambat laun kondisi ekonomi kami mulai membaik. Beruntung kedua orangtuaku sangat memperjuangkan aku supaya dapat terus sekolah. Aku menjadi siswa yang berprestasi dan sering mendapat beasiswa bahkan sampai aku lulus kuliah.

Nampaknya “luka” masa lalu karena kemiskinan itu sangat mempengaruhi aku pada awal-awal aku bekerja dan menikah. Apa yang aku dulu tidak dapat menikmatinya, maka setelah punya uang semua itu aku lampiaskan untuk menikmatinya. Sepertinya gaya hidupku seperti OBK atau “orang baru kaya”.

Sekarang aku mulai merenungkan semua ini. Apa sebenarnya arti hidup dan apa tujuan hidupku. Apakah aku akan hidup berfoya-foya dengan segala kegelimangan harta benda? Apakah semua ini membuatku puas? Apakah aku haus penerimaan atau penghargaan orang dengan kekayaanku ini? Ataukah sebenarnya aku ini orang yang mengalami kepahitan hidup?

Aku menyadari masih banyak orang yang mengalami keadaan seperti aku pada masa kecil. Hidup serba kekurangan, bukankah mereka juga membutuhkan uluran bantuan? Bukankah dulu juga ada orang yang rela memberikan nasi dan sayur kepadaku sehingga aku bisa hidup sampai sekarang? Bagaimana kalau tidak ada orang yang mau memberiku makan saat itu? Mungkin aku sudah mati.

Aku mulai membicarakan dengan istriku. Aku harus mengakhiri semua gaya hidup yang tidak sehat ini. Aku harus menetapkan seberapa besar gaya hidupku dan keluargaku untuk batas “cukup”. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan pakaian? Bukankah cukup bila memiliki pangan, sandang dan papan. Tentu saja pendidikan. Oleh karena tidak semua orang memiliki hal itu.

Aku dan istriku mulai berhitung seberapa kebutuhan kami per bulan dan untuk tabungan. Bila kami mempunyai uang lebih, biarlah itu diberikan kepada orang lain yang membutuhkan dan untuk hamba Tuhan dan pekerjaanNya. Aku harus komitmen untuk mengatakan bahwa kelebihan uang itu adalah rejeki bagi orang lain. Barang-barang yang baik dan tidak lagi dipakai, diberikan kepada orang lain. Tidak ada penumpukan benda atau harta yang tidak digunakan. Siapa tahu ada yang membutuhkan. Membeli dan menggunakan barang yang dibutuhkan dan bukan yang diinginkan.

Gaya hidupku haruslah sederhana. Bahkan aku ingin supaya hal ini tidak dilihat orang lain. Pernikahan menjadi berarti ketika hidup kami bisa menjadi pertolongan bagi orang lain dalam hal apapun juga.

1 komentar:

  1. Hi, cool post. I have been thinking about this topic,so thanks for sharing. I will probably be subscribing to your blog. Keep up great writing!!!
    Plymouth Prowler AC Compressor

    BalasHapus