Minggu, 15 Januari 2012

Petualangan Baru Dimulai (Renungan Batin – Suami & Istri - 3)


Betapa senang hatiku karena perjalananku dalam kesendirian sudah berakhir. Ketika aku dan kekasihku sudah secara sah menjadi suami istri pada saat pemberkatan di gereja. Rasanya lega dan ingin segera menikmati mimpi-mimpiku dulu menjadi kenyataan dalam pernikahanku bersama pasanganku.

Dulu aku sudah berpacaran dengannya lebih dari dua tahun, cukup lama memang. Aku berharap dengan waktu pacaran itu kami bisa mempersiapkan diri masuk dalam rumah tangga secara matang. Ketika kami merasa telah cukup, maka kami memutuskan menikah.

Dalam pikiranku,usai sudah segala usahaku dalam masa pengenalan itu. Tentunya aku merasa sudah sedemikian mengenalnya, begitu juga dengan pasanganku itu terhadap aku. Kami masing-masing membawa segala harapan dalam pernikahan kami. Apalagi dulu aku sering membaca dan melihat gambar-gambar pakaian pengantin, pesta-pesta perkawinan atau apapun yang terkait dengan pernikahan yang terlihat begitu anggun dan bahagianya. Maka pikiranku langsung melayang membayangkan seandainya aku yang menjadi pasangan itu.

Di masa-masa awal pernikahan banyak hal-hal indah dan menyenangkan yang bisa kami nikmati bersama, karena masih dalam suasana bulan atau tahun madu. Banyak kesalahan masih bisa dikompromikan karena topangan modal rasa senang dan daya tarik seksual masih ada, meski kadang juga ada ribut-ribut kecil.

Namun lambat laun aku sudah merasa mulai “mendarat”. Aku sudah mulai melihat realita apa yang terjadi dalam pernikahan kami. Aku mulai menemukan kebiasaan-kebiasaan dan cara hidup dari pasanganku yang aku tidak bisa terima. Demikian juga dia sering marah dan menegurku karena perilaku yang baginya tidak baik. Akhirnya kami jadi sering bertengkar dan beberapa hari sempat diam-diaman, saling gengsi tidak ada yang mau mengalah dan mendahului untuk mengajak bicara. Namun akhirnya kami bisa akur lagi.

Memasuki babak baru setelah lahir anak kami yang pertama. Kesibukan bertambah dan fokus menjadi terarah bagaimana merawat bayi kami sebaik-baiknya. Memang dengan hadirnya si kecil dalam keluarga kami member suasana riang dan kehangatan tersendiri. Sejenak bisa terhibur di kala kelelahan kami berdua menjalani aktivitas sehari-hari. Apalagi memang kami kami juga sama-sama merindukan segera memiliki momongan. Tapi tak dapat dipungkiri juga, masalah anak juga dapat menjadi bahan pertengkaran kami.

Awalnya ketika aku merasa lelah seharian mengurus pekerjaan dan malam itu aku ingin sejenak tidur tanpa terganggu oleh urusan apapun. Lalu aku memberitahu pasanganku itu supaya nanti membuatkan susu atau mengganti celana bayi kami bila pipis. Dia meng-iya-kan sembari terus mengarahkan matanya ke layar computer, asyik bermain game. Namun, ternyata aku kaget dan terbangun karena mendengar tangisan anak kami yang sepertinya sudah beberapa saat dibiarkan dalam keadaan baju dan celananya basah karena pipis. Aku jadi jengkel dan marah kepada pasanganku karena dia masih duduk tak beranjak dari game-nya. Ketika kutegur, dia beralasan dengan tanpa merasa besalah “sayang kalau ditinggalkan karena sedang online. Aku tidak terima dan kami bertengkar.

Kebiasaannya main game online ini sebenarnya sudah cukup lama sebelum kami menikah dan dulunya aku tidak begitu mempersoalkannya karena aku berpikir kelak siapa tahu kebiasaan ini akan berubah dengan sendirinya setelah menikah. Namun kenyataannya “tidak”. Dan hal ini sekarang menjadi persoalan kami. Yang menjengkelkan aku, dia merasa hal tersebut bukan sesuatu masalah yang besar.

Sekarang aku menyadari bahwa ternyata pernikahan bukan otomatis membuat orang berubah atau menjadi baru. Bisa jadi kebiasaan dan perilaku yang buruk dari pasangan yang menikah akan terbawa terus setelah berumah tangga.

Pernikahan juga bukan tempat untuk terjadinya realisasi mimpi-mimpi. Yang kemungkinan malah terjadi sebaliknya. Bisa terjadi antara mimpi dan realita dalam pernikahan seperti ada jurang yang lebar memisahkan.

Pernikahan juga bukan tempat untuk berharap ada pemulihan dari luka-luka karena bisa saja pasangan itu membawa luka-luka masa lalunya masing-masing dan kemudian saling melukai dalam pernikahan mereka dan menimbulkan luka baru.

Masa pacaran yang cukup tidak juga menjadi jaminan seratus persen untuk membuat pernikahan baik karena di dalam pernikahan itu sendiri pasangan tetap harus mengerjakan bagiannya masing-masing untuk mengelola pernikahan tersebut sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.

Jadi sebenarnya pernikahan bukanlah tempat berakhirnya semua pengalaman hidupku dan juga bukan tujuan akhir. Namun dalam pernikahan itu, perjalanan petualangan baru hidupku justru baru dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar