Minggu, 29 Januari 2012

Sentuhanmu menghangatkanku (Renungan Batin – Suami & istri - 8)


Malam itu aku tidak bisa melupakan dan selalu kukenang. Itu bukan yang pertama dan yang terakhir. Hari-hari selanjutnya istriku melakukannya lagi padaku. Dulunya aku yang memintanya namun sekarang tanpa kumintapun dia berinisiatif melakukannya. Bahkan dia melakukan dengan senang hati dan penuh kasih sayang.

Dia tahu bagian mana dari tubuhku yang sensitive untuk dipegangnya. Dia selalu menyentuh dan membelai kening dan kepalaku. Itu bagian yang peka sekali bila disentuh istriku. Seperti anak kecil yang dibelai ibunya aku meringkuk dalam pelukan istriku.

Bila terjadi proses “penyentuhan’ ini, maka terasa tenang, lega dan hangat mengalir dari atas kepala menyelinap ke dasar hati dan jiwaku. Semua beban terasa terangkat. Dia tidak usah mengurai kata-kata penghiburan padaku. Sentuhannya sudah menyatakan komunikasi di antara kami berdua.

Kehausan sentuhan dan belaian ini kurasakan begitu lama sedari aku kecil. Betapa sedikitnya aku mengecap prosesi penting ini yang seharusnya aku bisa nikmati dulu dari ke dua orangtuaku. Namun ayahku justru sama sekali tidak peduli dengan keberadaanku dan ibuku menjadi “keras” dan berkurang kelembutannya karena tempaan hidup yang tercipta karena ayahku. Maka aku bertumbuh hingga dewasa menjadi orang yang keras juga namun sebenarnya jiwaku rapuh dan nyaliku kecil. Itu semua karena minimnya sentuhan yang kudapatkan.

Tapi syukur sekarang kudapatkan dari istriku. Memang itu terjadi pada mulanya ketika ada “badai” kehidupan yang menerpaku. Aku tidak mampu menghadapinya dan aku merasakan kerapuhan jiwaku. Di saat-saat seperti itu, Tuhan mengingatkan bahwa aku lemah, tak berdaya, tak mampu sendiri dan aku membutuhkan istriku. Dalam belaian tangannya, kubiarkan dia merasuki seluruh sanubariku dan kutenggelamkan tangisku dalam dekapan hangatnya. Seakan terucap : “ aku di sini bersamamu”, “kamu tidak sendirian”, kamu aman”, “jangan takut”, “bebaslah kamu menangis”.

Sering juga kuupayakan diriku membelai dan menyentuh tubuh istriku, tidak dalam aktivitas dan motivasi seksual. Namun dorongan kasih sayang dan kelembutan. Demikian juga aku dan istriku membiasakan selalu membelai, memeluk dan memegang anak-anak. Itu bahasa komunikasi sentuhan.

Aku menyadari betapa besarnya pengaruh sentuhan itu. Setiap orang membutuhkannya semenjak bayi hingga dewasa sekalipun. Itu akan menyalurkan semangat dan perasaan-perasaan yang positif. Bisa juga menenangkan detak jantung yang cepat, mengurangi rasa sakit dan sebagainya.

Bukankah dalam kulit manusia penuh dengan jutaan ujung saraf yang disebut reseptor sentuhan. Bila kita disentuh maka reseptor-reseptor itu akan mengirim pesan ke otak dan kemudian otak akan mengeluarkan zat-zat kimia yang dibutuhkan dalam situasi itu.
Sentuhan yang dikenal dengan “ibu segala perasaan” ini dapat mengomunikasikan bermacam-macam pesan : “ aku cinta kamu”, “percayalah”, “aku disampingmu” dan sebagainya tergantung situasi yang terjadi saat itu.

Yang jadi masalah adalah pasangan-pasangan yang belum menikah berusaha aktif melakukan aktivitas sentuhan fisik ini, sedangkan pasangan-pasangan yang sudah menikah malah jarang melakukannya kecuali saat aktivitas seksual atau sentuhan ala kadarnya cium pipi sebelum pergi dan sebagainya. Ini sama-sama salah. Sentuhan fisik yang intim ini justru perlu dilakukan dalam pernikahan.

Istriku, aku tahu bahwa sentuhanmu menghangatkanku. Jiwaku ditegarkan karena belaianmu. pertolonganNya mengalir melalui usapanmu. Selalu kurindu saat ku masuk dalam dekapanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar